Nasib Umat di Tangan Ustad yang Malas Membaca dan Minim Literasi

Other

by Kharis Hadirin

Beberapa tahun belakangan, kita merasakan bagaimana gegap gempita masyarakat dalam mengekspresikan semangat keberagamaan. Tentu, ini menjadi hal positif yang patut untuk diapresiasi bersama. Paling tidak, semangat ini sedikit bisa menjadi harapan untuk menghindarkan generasi umat pada pergaulan yang merusak sendi-sendi kehidupan.

Jika ditelisik lagi, kondisi ini sejatinya berawal dari kasus penodaan agama yang dilakukan oleh mantan gubernur DKI, Basuki Tjahaya Purnama, yang kemudian berujung pada aksi demonstrasi berjilid-jilid.

Dan tentunya, yang menarik dari aksi ini adalah intensitas masyarakat yang begitu besar sehingga memaksa mereka untuk berbondong-bondong menuju ibu kota. Pada akhirnya, momen ini berhasil mencetak sejarah dengan jumlah massa yang barangkali belum pernah terjadi sebelumnya sejak era kemerdekaan bangsa Indonesia.

Ada sekitar 7-9 juta massa yang hadir dalam aksi damai di Jakarta, begitu kata panitia penyelenggara. Meski angka ini oleh banyak kalangan dianggap sebagai klaim sepihak.

Terlepas dari persoalan di atas, kondisi ini tentu tidak bisa dipungkiri bahwa ada semangat besar yang lahir melalui sebuah gerakan untuk membangun budaya  bangsa yang lebih religi.

Namun terkadang, semangat ekspresi keberagamaan saja tidak cukup tanpa diimbangi dengan budaya membaca dan kritis secara baik. Cukup ironis memang! Kurangnya sikap kehati-hatian dalam menerima berbagai informasi yang ada dan minimnya budaya kritis pada masyarakat kita, justru berbanding terbalik dengan semangat mulia dalam merealisasikan prinsip keagamaan kita.

Dan menyedihkannya lagi, sikap seperti ini justru muncul dari orang-orang yang terlanjur dijadikan sebagai panutan dan teladan bagi umat lainnya.

Satu misal, beberapa waktu lalu jagat media sempat diramaikan oleh isu iluminati yang dituding telah mencengkeram negeri ini. Tak hanya merambah dalam persoalan politik, namun juga menyentuh pada ruang lingkup ibadah. Lebih jauh, soal isu adanya aksi pembunuhan berencana terhadap ratusan petugas yang terlibat dalam acara pemilu serentak pada April 2019 lalu.

Informasi ini semua disampaikan oleh Rahmat Baequni, yang dianggap sebagai tokoh agama selaku pengamat teori konspirasi.

Lalu bagaimana nasib umatnya? Minat baca yang lemah ditambah buruknya budaya literasi, maka apapun yang terucap dari seseorang yang dianggap sebagai teladan dan pakar segala ilmu akan menjadi sesuatu yang benar untuk diikuti dan ditaati. Walhasil, lahirlah masyarakat yang teriak dulu mikir belakangan.

Kondisi ini tentu mengkhawatirkan. Sebab jika tidak segera dibereskan, maka umat ini akan menjadi masyarakat lucu-lucuan.

Dan tentu, barangkali ini juga bisa menjadi catatan bagi para pemuka agama atau tenaga didik di berbagai lembaga pendidikan agar tak gampang ‘menguap’ sesuka hati hanya untuk sekedar ingin terlihat mempesona di depan jama’ah dan pada pendengar.

Sebab sekali orang menebar jala, berikutnya akan menjadi perilaku yang biasa. Tak peduli kolam milik siapa dan dimana tempatnya, asal dapat ikan, ya jala aja terus sepuas-puasnya.

Cukup ironis memang! Sebab tokoh agama model seperti di atas sejujurnya tidak sedikit jumlahnya, layaknya wabah ada dimana-mana. Dan sedihnya, ketika orang lain mencoba menyela dan menjelaskan hal yang sebenarnya, justru malah tidak diterima. Sudah minim literasi, anti kritik pula.

Jenis masyarakat seperti ini terkadang memang lucu. Pandai memelintir kata, ahli mengjungkir balikkan logika, mempermainkan nalar manusia dan merayakan ketololan secara berjama’ah.

Pada titik ini, anda atau siapapun yang mengaku akademisi, tholabul ‘ilmi, penggila baca buku, memiliki pendidikan yang tinggi, saya yakin akan merasa diri sebagai makhluk terhina.

Maka betullah sabda Nabi. Suatu kali, beliau pernah berpesan kepada para sahabatnya. “Akan terjadi suatu masa dimana bangsa-bangsa di dunia saling bersatu untuk menyerbu kalian, seperti sekelompok orang kelaparan menyerbu makanan,” sabda baginda mulia.

Salah seorang sahabat kemudian bertanya, “Apakah karena jumlah kami di masa itu sedikit?” Lalu dijawab, “Jumlah kalian banyak, tapi seperti buih di lautan”.

Petuah Nabi di atas diucapkan lebih dari 14 abad silam, saat dimana umat ini populasinya masih seukuran keciput. Dan kini, memasuki era 212, populasinya sudah mengisi hampir separuh penduduk dunia. Tak terkira bagaimana bahagianya para pendakwah zaman dahulu jika melihat Islam yang kini umatnya membludak dimana-mana.

Namun menjadi ironis, ketika umat yang besar justru mengalami krisis untuk berani bersikap kritis. Padahal agama tegas menjelaskan, hendaklah segala informasi dan berita yang datang untuk selalu dipertanyakan. Wallahu’alam...

 

Link gambar: https://eksekutif.id/ustadz-abdul-somad-kapolri-tito-akrab/

 

Komentar

Tulis Komentar