Tinjauan Hukum Dalam Repatriasi WNI Eks ISIS (6)

Analisa

by Arif Budi Setyawan Editor by Arif Budi Setyawan

Kasus pembakaran paspor hijau Indonesia juga menuai pro dan kontra apakah pembakaran paspor menjadi salah satu alasan WNI eks ISIS ini tidak bisa kembali ke Indonesia (cnbcindonesia.com). Konsekuensi keimigrasian akibat menjadi anggota ISIS juga berpengaruh terhadap hak-hak keimigrasiannya, hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian mengatur bahwa “Setiap orang yang masuk dan keluar wilayah Indonesia wajib memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku”.

Dalam kasus pembakaran paspor Indonesia oleh eks ISIS ini termasuk salah satu bentuk dokumen perjalanan Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 129 bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain merusak, mengubah, menambah, mengurangi, atau menghilangkan, baik sebagian maupun seluruhnya, keterangan atau cap yang terdapat dalam Dokumen Perjalanan Republik Indonesia atau Dokumen Keimigrasian lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” Hal ini menjelaskan bahwa mereka yang sudah jelas- jelas membakar paspor berarti sudah tidak ingin berkewarganegaraan Indonesia.

Kembali lagi pada isu HAM, tidak semua WNI melakukan pembakaran paspor ataupun terjun langsung angkat senjata. Pada pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian berbunyi bahwa “Setiap warga negara Indonesia tidak dapat ditolak masuk Wilayah Indonesia” dan disebutkan juga dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa:

(1) Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.

(2) Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks HAM tidak seharusnya semua WNI eks ISIS ditolak pulang ke Indonesia karena harus dikaji terlebih dahulu faktor apa yang melatarbelakangi penolakan pemulangan eks ISIS ini, semisal posisi apa yang mereka tempati disana, kegiatam apa yang mereka ikuti, dan faktor- faktor lainya. Pemulangan WNI eks ISIS bisa saja diterima namun akan membutuhkan proses yang cukup panjang dan rumit, bahkan bagi perempuan dan anak-anak sekalipun.

Melihat dari kasus pembakaran paspor, kasus ini juga dilakukan oleh sebagian anak-anak bahkan sudah ada yang dibekali senjata perang (Detik.com). Anak-anak eks ISIS memiliki peran yang signifikan dalam penyebaran ideologi radikal, karena sebagian dari mereka memang dididik saat masih kecil akan paham-paham ISIS. Pemahaman radikal, intoleran, bahkan kekerasan sangat kuat pada memori otak seorang anak.

Hal ini yang memicu perdebatan apakah seorang anak- anak yang bergabung dengan ISIS hanya menjadi korban dari keinginan orang tuanya atau sebaliknya mereka memang tidak ada pilihan lain lagi dan akhirnya mereka memepercayai ideologi ISIS. Banyak diantara perempuan dan anak-anak memang hanya mengikuti suaminya dan akhirnya mereka menjadi korban penelantaran oleh suami yang bergabung dengan kombatan ISIS (BBC.com). Tidak jarang perempuan harus melahirkan di kamp pengungsian, dan menjadikan seorang bayi tidak berkewarganegaraan (stateless). Hal ini yang menjadikan hak-hak seorang anak tidak bisa terpenuhi karena tidak ada jaminan HAM dari negara manapun.

Banyak dari perempuan yang menjadi korban kejahatan seks dan juga anak-anak yang terabaikan akhirnya berada pada lingkungan yang didominasi kekerasan. Akibatnya mereka kesusahan untuk berhubungan baik dengan orang lain. (BBC.com)

(Bersambung)

Komentar

Tulis Komentar