Pergaulan adalah Ujian Terbesar Mantan Narapidana

Other

by Arif Budi Setyawan

Beberapa hari yang lalu di beranda Facebook saya muncul sebuah postingan seorang kawan mantan napi narkoba yang sudah taubat dan berhasil mempertahankan taubatnya. Postingannya itu berisi tentang berita seorang kawannya yang sudah bebas tapi main jadi kurir narkoba lagi.


Tragisnya kawannya itu mati ditembak polisi ketika mencoba melawan petugas dan berusaha kabur. Mungkin karena barang buktinya cukup untuk membuatnya dihukum mati, jadi kawannya itu memutuskan untuk melawan dan mencoba kabur.


Dia mengungkapkan kesedihannya. Dulu ketika sama-sama di penjara ia melihat kawannya itu telah berubah jadi baik, senang membantu kawan yang kesusahan, dan aktif ikut kegiatan pembinaan di lapas. Sesudah bebas bertahun-tahun, sungguh tak disangka masih terjerumus lagi dalam jerat jaringan pengedar narkoba.


Ternyata orang yang sudah baik ketika di penjara belum tentu bisa mempertahankan apa yang sudah baik itu. Tidak ada jaminan orang yang sudah pernah dipenjara ketika keluar akan jadi baik seterusnya. Bahkan banyak yang jadi residivis. Berkali-kali masuk penjara.


Pada kasus di atas, teori yang paling mungkin tentang penyebabnya adalah: ketika terdesak masalah ekonomi atau tergoda untuk mendapatkan uang dalam waktu singkat tanpa berpayah-payah bekerja, sementara mereka punya kemampuan dan jaringan untuk terjun kembali ke dunia peredaran narkoba, maka mudah sekali untuk kembali terjerumus.


Pada kasus yang lain saya pernah mendengar kisah salah satu teman mantan pengedar narkoba yang sudah bebas belum lama ini. Ia curhat lagi butuh kerjaan ke saya. Ia tidak betah lagi bekerja bersama kawan-kawannya saat ini.


Gaya hidup kawannya yang suka foya-foya dan di antara mereka ada yang masih jadi pemakai narkoba, membuat dirinya merasa ‘terancam’. Terancam dalam artian akan sangat mudah tergoda untuk masuk kembali ke jaringan pengedar narkoba.


Betapa tidak. Karena pada saat yang sama tawaran ‘kerja’ dari kawan-kawannya yang jadi pemain narkoba juga begitu gencar. Iming-imingnya luar biasa. Beruntung ia kemudian menemukan seorang wanita yang mau menerimanya dan membantunya keluar dari kondisi itu.


Wanita itu kini telah ia nikahi. Dan sekarang ia untuk sementara tinggal bersama keluarga istrinya yang baru (kawan saya ini seorang duda yang dituntut cerai istrinya ketika ia dipenjara).


Dari kedua kasus di atas, di mana yang satu gagal dan satunya lagi berhasil keluar dari ‘ancaman’ jerat narkoba, ada satu kesimpulan yang sama. Keduanya gagal dan berhasil karena punya pilihan yang berbeda dalam pergaulan sehari-hari.


Yang gagal dan akhirnya ditembak polisi itu merasa tidak punya pilihan lain. Ia tidak mempunyai teman-teman baru yang menjadi alternatif pilihan dalam pergaulan. Jadi meskipun ia di penjara sudah jadi baik, di luar ia bisa mudah terjerumus lagi.


Di dalam penjara ia tidak butuh uang banyak, sedangkan ketika di luar dia melihat orang-orang pada punya motor, punya barang-barang bagus, dan seterusnya. Pastilah ia sedikit banyak akan tergoda ingin mendapatkannya juga.


Sementara pada saat yang sama mencari pekerjaan yang halal dirasa sulit, apalagi ditambah stigma buruk mantan napi kasus narkoba. Lengkap sudah. Maka jadilah ia kembali terjerumus ke dalam dunia peredaran narkoba.


Sementara kawan saya yang akhirnya menikah lagi itu lebih kuat tekadnya. Ia tak putus asa untuk terus mencari alternatif pergaulan yang baru. Ia sangat takut untuk kembali terjerumus. Sehingga ketika ia melihat gaya hidup foya-foya kawan-kawannya ia berusaha menjauhi mereka.


Ia memilih mencari pekerjaan yang sederhana tapi jauh dari kawan-kawan yang berpotensi menyeretnya kembali ke jaringan pengedar narkoba.


Saya sebagai sahabat yang jauh hanya bisa membantu menguatkan dengan nasehat dan motivasi, atau sekedar menjadi tempat curhat baginya. Dan alhamdulillah, Allah SWT memberikan jalan keluar dengan mempertemukannya dengan wanita yang kini jadi istrinya.


ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar