Ini adalah kisah dan pelajaran yang saya dapat dari "Universitas Luar Biasa’ yang bernama lembaga pemasyarakatan (lapas) tentang bagaimana saya bisa menemukan kebahagiaan di tengah kesempitan dalam penjara. Pelajaran tentang memahami lingkungan, meyakini prinsip beramal, dan menghargai perbedaan.
Bagi kebanyakan orang, penjara dianggap sebagai tempat yang menyeramkan dan banyak penderitaan. Ya namanya saja tempat para pelaku kriminal (kejahatan) menjalani hukuman pidana, pasti seram. Pasti banyak konflik, banyak keributan, banyak praktek kejahatan yang masih terjadi, dst. Begitu pikir kebanyakan orang.
Tapi bagi yang pernah berinteraksi dengan narapidana baik sebagai keluarga atau sebagai pegiat pembinaan para narapidana, pasti akan membantah anggapan itu. Mereka melihat para napi itu masih memiliki harapan untuk berubah jadi lebih baik, masih ingin kembali ke keluarganya.
Memang benar bahwa masih ada konflik, keributan antar napi, dan beberapa praktik kejahatan di dalam lapas. Tapi bukankah yang seperti itu juga terjadi di masyarakat di luar lapas? Bukankah para napi itu sebagian juga masuk karena konflik dan kejahatan di luar lapas? Bahkan boleh dibilang lapas adalah tempat melokalisir orang-orang yang bisa menimbulkan keresahan di masyarakat.
Penjara atau lapas pada hakikatnya hanyalah membatasi kebebasan seseorang dalam berinteraksi dengan masyarakat umum dikarenakan telah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain (masyarakat) untuk dibina agar tidak mengulangi lagi kesalahannya ketika bebas nanti.
Kesusahan dalam penjara itu sebenarnya hanya ada dua saja, yaitu kesusahan secara psikologis dan kesusahan secara fisik.
Yang termasuk kesusahan psikologis antara lain: Kerinduan dengan keluarga di rumah, rasa bersalah karena tidak bisa menunaikan kewajiban sebagai bagian dari keluarga, kekhawatiran akan masa depan setelah bebas (termasuk stigma dari masyarakat dan hilangnya kepercayaan dari lingkungannya), dan menyimpan dendam atau kekecewaan terhadap orang-orang yang tadinya dekat tapi berubah merendahkannya atau memusuhinya.
Sedangkan kesusahan fisik itu antara lain: makanan yang terbatas, akses air yang terbatas, pelayanan kesehatan yang terasa kurang, dst, yang intinya membuat kami harus banyak maklum akibat keterbatasan negara. Siapa suruh masuk penjara...ya kan? Hehehe…
Kalau sudah begitu apa sih yang bisa membuat seseorang tetap optimis, tetap semangat, dan menemukan kebahagiaan di tengah kondisi yang seperti itu?
Pertama kali yang saya lakukan adalah berdamai dengan keadaan.
Jika seseorang semakin tidak terima dengan keadaan yang dialami maka kondisi itu akan semakin terasa sakit dan sempit. Sebenarnya kalau mau dipikirkan, percuma saja hati dan pikiran menolak, toh kenyataannya tetaplah seperti itu kejadiannya. Yang sudah terjadi tidak bisa diubah, hanya bisa dijadikan pelajaran. Mengapa tidak berdamai saja? Mengapa tidak beradaptasi saja?
Bukankah hidup memang tidak akan selamanya lurus-lurus dan nyaman-nyaman saja? Orang bisa saja tertimpa kecelakaan atau bencana alam, sakit, di-PHK, diceraikan oleh pasangan, dll. Tapi apakah perjuangan hidup lantas berakhir di situ? Tidak bukan?
Apakah seandainya saya masih berada di luar penjara, saya dan keluarga saya lantas tidak akan tertimpa masalah? Lalu mengapa saya tidak menyikapinya sebagai salah satu masalah yang merupakan ujian –yang pasti ada- dalam hidup ini?
Berdamai dengan keadaan dimulai dengan sikap tidak mengeluh kepada manusia, terutama mengeluh kepada keluarga. Mereka sudah susah ditinggal di penjara, jangan sampai semakin susah gara-gara memikirkan keluhan saya. Saya berusaha menyampaikan sesuatu yang positif kepada keluarga, misalnya tentang kondisi saya yang jauh lebih baik dari para narapidana lain yang lebih menderita.
Setelah berhasil berdamai dengan keadaan, langkah selanjutnya adalah tetap berpikir positif.
Sebagai orang yang beriman berpikir positif itu wajib karena dilarang berputus asa. Selalu ada harapan di balik ujian. Akan selalu ada kemudahan di balik kesulitan. Itu janji Allah SWT. Tugas seorang hamba adalah senantiasa memelihara harapan dengan berprasangka baik kepada Allah SWT dan berusaha menemukan jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi.
Saya yakin, keberadaan saya di penjara saat itu merupakan salah satu skenario Allah SWT untuk membuat saya menjadi pribadi yang semakin kuat, semakin dewasa, semakin berilmu, semakin berakhlaq, dan semakin cerdas.
(Bersambung)
SUMBER ILUSTRASI: Pixabay.com
Komentar