Kisah Para Ibu dari Medan Konflik

Other

by nurdhania

Tahun 2017 lalu, saya pernah tinggal di kamp pengungsian Ayn Issa, utara kota Raqqah, Suriah. Dua bulan lamanya di sana. Berbagai cerita saya temui di kamp di bawah naungan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) itu.

Salah satu cerita yang saya temui di sana adalah banyak ibu rela memboyong anak-anaknya ke kamp pengungsian itu. Mereka memilih tinggal di sana dengan harapan anak-anak mereka dapat kehidupan lebih baik dan aman sebab konflik berkepanjangan di wilayahnya.

Mereka yang di sana, tak hanya jadi tempat berlindung warga asli Suriah. Namun, beberapa warga asing yang kabur dari wilayah kekuasan kelompok teror Suriah-Irak juga terlihat memenuhi kamp tersebut. Perkiraan ada 10ribu pengungsi di sana. Kamp yang dikhususkan untuk para perempuan dan anak-anak.

Para pengungsi di sana berangkat dari kebanyakan mereka yang terpisah suami atau ayahnya. Entah sebab ditahan kelompok Kurdi atau meninggal di wilayah konflik.

Bagi para single mother tentu beban mereka makin berat. Meski, tentu lebih aman sebab tak ada bom ataupun tembakan di sana, ternyata ada “ancaman-ancaman” baru yang malah menghampiri. Salah satunya soal makanan.

Saya sendiri menemui banyak ibu dari Suriah ataupun dari negara lain. Banyak sekali dari mereka yang punya 4 hingga 5 anak, masih kecil-kecil. Saya sendiri, yang masih single sering tak bisa sabar dengan kondisi kehidupan di pengungsian. Lantas, bagaimana dengan mereka para ibu?  Saya merasakan beratnya jadi ibu di sana, setidaknya melhat saudara saya yang membawa serta anaknya, usianya masih 2 tahun.

Salah satu curhatan seorang ibu asal Suriah masih terngiang. Dia punya 4 anak, salah satunya masih bayi. Dia sangat sedih ketika anak-anaknya merasa kelaparan. Mengadu kepadanya.

Walaupun dia sendiri dalam kondisi menahan lapar, masih harus menyusui bayinya. Anak-anaknya juga kerap merengek minta mainan, namun untuk itu dia masih bisa kesampingkan. Tapi kalau merengek karena kelaparan, dia tak sanggup menahan.

Memang ada jatah makanan dari kantin. Namun, sebab jumlah pengungsi yang begitu banyak, terkadang ada yang tak dapat bagian. Apalagi, uang yang mereka bawa tentu makin hari makin menipis, suaminya dipenjara.

Keluhan ibu yang ada juga soal popok bayi, sebab itu juga jadi kebutuhan pokok anak mereka. Tak heran, ada beberapa ibu yang saya temui jadi stres atau depresi sebab kondisi kamp. Terkadang, anak mereka jadi tempat pelampiasan amarah.

Para ibu itu juga harus melindungi anak-anaknya dari ancaman wabah penyakit sebab, misalnya; sanitasi yang buruk. Bahaya lain di sana juga seperti kemungkinan tenda terbakar sebab kompor atau pemanas ruangan. Perubahan cuaca yang ekstrim juga jadi persoalan tersendiri.

Ada seorang ibu asal Jerman yang saya temui di sana. Dia terlihat super protective terhadap 2 anak laki-lakinya; satu masih bayi, satu lagi masih balita. Kemanapun pergi, dua buah hatinya tak lepas dari dirinya.

Selain badan di bawah PBB yang mengurus pengungsian di sana, banyak pula relawan turut membantu di sana. Di antaranya, mereka yang tergabung di UN Volunteers ataupun Doctor Without Borders. Mereka berusaha membantu para ibu dan buah hatinya. Khususnya; soal kesehatan dan sanitasi.
Terpisah Sebab Aturan

Banyak pula ibu yang harus terpisah adari anaknya, sebab sang anak direpatriasi oleh pemerintah di mana negara ibunya berasal. Meskipun, ada juga beberapa negara yang merepatriasi ibu beserta anaknya. Tapi, ada pula yang anaknya dulu, baru ibunya.

Seperti kisah perempuan asal Kanada yang harus berpisah beberapa bulan dengan anaknya. Anaknya usianya 4 tahun. Beberapa bulan kemudian, ibunya bisa menyusul pulang ke negaranya.

Dilansir dari Reliefweb , saat ini banyak negara yang mulai berbondong-bondong melakukan repatriasi ibu dan anak di sana, seperti Jerman, Finlandia dan Belgia. Ada juga yang hanya merepartriasi anak-anak saja.  Salah satu sebabnya, kondisi kamp makin berbahaya dan penuh risiko. Mereka yang direpatriasi di antaranya; dari Kamp Al Hol hingga Roj. Sementara, kamp Ayn Issa sudah tidak ada, sebab memang sudah kosong akibat invasi Turki tahun 2009 lalu.

Komentar

Tulis Komentar