Sulitnya Melibatkan Stakeholder Pemerintah Daerah Dalam Penanganan WNI Eks ISIS

Analisa

by Arif Budi Setyawan Editor by Arif Budi Setyawan

Harus diakui bahwa persoalan seputar terorisme dan radikalisme baik dari sisi pencegahan maupun penanggulangannya masih dianggap sebagai persoalan yang ‘elite’ bagi banyak kalangan. Isu ini baru mulai ramai di ranah pembahasan akademis. Dari hari ke hari semakin banyak akademisi yang mengkajinya. Tapi di sisi praktek masih sangat minim.

Kenapa bisa demikian? Jawabannya bisa sangat beragam, tergantung dari mana sudut pandang membacanya. Sebagai orang yang menjadi obyek sekaligus subyek (aktivis) dalam penanganan terorisme, saya memiliki sudut pandang yang mungkin unik dalam membaca fenomena ini.

Dalam persoalan penanganan WNI eks ISIS yang sangat memerlukan tindaklanjut di tingkat daerah, kita bisa menilai tingkat kesiapannya dari bagaimana sikap pemerintah daerah pada isu radikalisme dan terorisme. Misalnya soal penanganan eks narapidana terorisme (napiter) dan kampanye pencegahan radikalisme-terorisme.

Soal penanganan eks napiter misalnya. Para eks napiter –termasuk saya-- selama ini mayoritas mendapatkan bantuan atas dasar inisiatif pemerintah pusat. Ada mungkin sebagian yang mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah setempat, tapi hampir selalu masih merupakan hasil penggalangan oleh aparat keamanan dengan komando terpusat (Polri, TNI, dan BIN).

Hal ini juga berlaku dalam kampanye pencegahan radikalisme-terorisme. Inisiatif masih hampir selalu dari instansi keamanan negara, yang artinya dari pusat juga. Dan itu pun menghadapi banyak tantangan dan hambatan. Yang paling sering dihadapi adalah tantangan dan hambatan berupa persoalan birokrasi, anggaran, dan sumber daya manusia (SDM).

Alasan akan disampaikan kepada pimpinan terlebih dahulu, menunggu arahan pimpinan, dan alokasi anggaran yang sudah ditetapkan, sepertinya telah menjadi masalah nasional yang sama di mana-mana. Saya sebagai aktivis, ketika datang menyampaikan rekomendasi dari hasil penelitan ataupun hasil dari program yang dilakukan oleh Kreasi Prasasti Perdamaian, juga mendapati hal yang sama.

Tetapi ketika kami menawarkan sebuah program kerjasama dengan pembiayaan dari kami, mereka senang sekali. Ibaratnya kami diberikan karpet merah. Kami bisa mendapatkan akses menemui pejabat-pejabat terkait sampai di level tertinggi yang kami butuhkan. Artinya, jika program itu tidak mengganggu anggaran yang telah ditetapkan, semua akan lancar dan mereka sangat berterrimakasih atas adanya program tersebut.

Bicara soal kebijakan pemerintah daerah, kuncinya ada pada pemimpin daerah dan DPRD. Artinya sangat erat dengan kepentingan politik yang selalu melihat sebuah persoalan dari dampak politisnya. Ketika isu penanganan terorisme dipandang bisa menguntungkan secara politik, barulah akan menjadi perhatian. Beberapa pemimpin daerah memang ada yang pernah mencoba memberikan perhatian khusus soal ini dan melihat dampak politisnya.

Hal ini terjadi karena isu terorisme masih belum menjadi bagian dari isu umum seperti soal kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, atau pelayanan publik. Sehingga pertimbangan politik menjadi lebih dominan.

Bila pertimbangan politis masih selalu dominan, maka sampai kapanpun penanganan terorisme di daerah hanya akan bergantung pada kebijakan dan anggaran dari pusat. Termasuk dalam penanganan WNI eks ISIS.

Di sisi lain, pemerintah pusat yang dalam hal ini direpresantasikan oleh BNPT, mulai menggalakkan koordinasi dan kerjasama dengan berbagai organisasi masyarakat sipil (CSO) atau lembaga non-pemerintah dalam kerja-kerja penanggulangan dan pencegahan terorisme. BNPT menentukan poin-poin mana saja dari bidang kerja yang membutuhkan bantuan dari organisasi masyarakat sipil. Tetapi sayangnya, organisasi masyarakat sipil itu masih harus mencari pembiayaan sendiri.

Artinya sejauh ini BNPT dalam hal kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil, baru menjalankan fungsi “merangkum hasil kerja dari berbagai organisasi masyarakat sipil”. Namun hal ini merupakan sebuah kemajuan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan kondisi 5-6 tahun yang lalu. Setidaknya masukan dan kritik dari para organisasi masyarakat sipil itu akan semakin didengar dan bisa menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan nasional.

(Foto ilustrasi: Pixabay)

Komentar

Tulis Komentar