Terorisme memang merupakan permasalahan yang serius dan kompleks. Ideologi yang selama ini dianggap sebagai biang dari masalah ini ternyata tak berdiri sendiri, ada berbagai masalah lain yang turut menjadi pintu masuk dan penguhubung (titik klik) dengan masalah ideologi. Dari masalah mencari jati diri dan pengakuan seperti banyak yang terjadi pada anak-anak muda, hingga masalah lainnya yang lebih pelik. Seperti masalah kemiskinan, keadilan, kesenjangan ekonomi, minimnya pendidikan dan literasi, hingga masalah “baper” terhadap masalah regional maupun internasional yang sedang terjadi.
Karena itulah penanganan terhadap masalah terorisme tidak bisa berhenti dengan pemidanaan atau penghukuman. Namun perlu juga dilakukan upaya berkelanjutan pasca pemidanaan. Dari hal ini, maka nampak dengan jelas bahwa penanggulangan terorisme tidak hanya menjadi tugas Densus 88 Polri maupun BNPT-RI, menjadi tugas yang berkesinambungan dari seluruh stakeholder pemerintahan maupun seluruh lapisan masyarakat. Terutama bagi para mantan teroris, FTF dan orang-orang yang pernah tinggal atau terjebak di wilayah konflik berdarah (returnee dan deportant).
Dulu banyak pihak yang mengira, kasus-kasus residivisme teroris terjadi murni karena permasalahan ideologi yang tidak luntur pasca menjalani masa hukuman, dimana penjara tidak mampu memberikan efek jera. Namun seiring perjalanan waktu teori tersebut tidak sepenuhnya benar, meskipun tidak bisa juga dikatakan salah seluruhnya. Banyak faktor lain yang muncul pasca pemidanaan hingga membuat seorang mantan pelaku teror atau orang-orang yang pernah masuk dalam jaringan teror kembali ke kehidupan lamanya pasca bebas dan menjalani serangkaian pembinaan dengan baik.
Apa yang terjadi pada Lani (bukan nama asli) misalnya, seorang perempuan asal Sumatera yang pernah terlibat dalam masalah terorisme dalam kelompok JAD (Jamaah Anshar Daulah) yang harus kembali berurusan dengan hukum dengan masalah serupa karena aksinya di media sosial.
Dari keterangan yang didapat, Lani sebelumnya telah menjalani masa hukuman dan mengikuti serangkaian pembinaan di dalam Lapas dengan baik dan berikrar NKRI. Namun setelah bebas, hal yang bertolak belakang terjadi saat Lani kembali ke masyarakat. Ia yang sudah terbina dengan baik selama menjalani hukuman justru mendapat berbagai masalah seperti stigma dari lingkungan sekitarnya bahkan tidak ada peran dari pemerintah daerah juga aparatur penegak hukum di daerah untuk melakukan intervensi dalam proses reintegrasi sosialnya. Walhasil, perasaan kesendirian dan terkucilkan dari masyarakat menuntun Lani untuk kembali ke media sosial dan bergabung kembali dengan kelompok lamanya.
Apa yang terjadi pada Lani hanyalah sebuah contoh dari berbagai masalah lainnya yang kerap menjadi bottle neck dalam memutus rantai terorisme dan residivisme teroris yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Ditambah lagi dengan persoalan baru mengenai rencana pemulangan ratusan WNI yang masih tinggal di kamp-kamp pengungsian di wilayah Suriah.
Meskipun wacana ini masih menjadi perdebatan di tingkat elit pemerintahan, namun sepertinya rencana ini memang harus dilakukan. Mengingat kamp-kamp ini berdiri dari dana bantuan internasional yang suatu waktu dapat dihentikan bantuannya. Selain itu permasalahan lainnya pun bisa berkembang jika para WNI yang tinggal di pengungsian itu tidak segera dipulangkan. Para pendukung ISIS di Indonesia misalnya yang berhasil mengirimkan bantuan dana untuk WNI yang tinggal di kamp al-Howl beberapa waktu lalu dimana dana tersebut mungkin saja tidak digunakan untuk keperluan hidupnya melainkan untuk mempersiapkan aksi teror baru nantinya. Kekhawatiran lainnya pun muncul jika melihat kondisi kamp-kamp tersebut yang memprihatinkan. Para WNI disana mungkin bisa saja kabur dan bergabung kembali dengan kelompok-kelompok teror di daerah atau negara lain. Atau kembali ke Indonesia melalui jalur tidak resmi dan melakukan teror lagi disini.
Proses repatriasi (pemulangan) memang bukan perkara mudah. Selain harus membuka keran hubungan diplomasi dan bilateral dengan negara lain, butuh juga kesiapan dari sumber daya lokal di dalam negeri yang tidak sedikit. Namun jika berkaca pada pengalaman pemulangan 24 orang WNI dari Suriah pada 2017, sepertinya proses pemulangan WNI bukan hal yang mustahil untuk di lakukan.
Lantas, apakah masalahnya sudah selesai? Tentu saja belum. Pemerintah tentu tidak bisa melakukan pemulangan begitu saja. Proses screening di kamp yang ketat juga harus dilakukan. Demikian juga setelah para WNI tersebut sampai di tanah air, pemerintah tentu tidak bisa langsung memulangkan mereka ke daerah asalnya mengingat ada bahaya ideologis yang imajiner yang mungkin masih tersimpan di dalam benak para WNI tersebut.
Pemerintah harus membuat sebuah shelter yang dapat menampung mereka dengan baik. Di shelter tersebut kemudian proses rehabilitasi, pembinaan (pelatihan) dan asessement dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak seperti pemuka agama, akademisi, praktisi yang berpengalaman, juga NGO agar para WNI tersebut siap untuk kembali ke masyarakat. Pemerintah memang sudah memiliki beberapa tempat yang bisa digunakan sebagai shelter seperti Pusat Deradikalisasi BNPT, atau Sentra Handayani. Tapi apakah tempat tersebut mampu dan layak untuk menampung mereka? Tentu butuh kajian lebih mendalam.
Selain itu pemerintah perlu untuk melakukan pelibatan masyarakat sipil dan pemerintah daerah untuk menarik peran serta mereka karena para WNI tersebut akan kembali ke lingkungan masyarakat. Masyarakat juga perlu diedukasi untuk bisa berperan serta, paling tidak untuk tidak memberikan stigma negatif terhadap mereka dan pemerintah daerah juga akan memiliki peran besar dalam membentuk resiliensi dua arah, baik terhadap para WNI yang kembali ke masyarakat agar bisa survive dan tidak terpengaruh kembali dengan mindset lamanya. Juga membentuk resiliensi masyarakat terhadap ajaran dan doktrin radikalisme yang bisa menyerang dan tumbuh di masyarakatnya.
Secercah harapan masih bisa lahir sebagai kesempatan kedua bagi para WNI yang tinggal dikamp-kamp tersebut untuk kembali ke masyarakat jika proses 5R yang disebutkan di atas bisa berjalan dengan baik. Yaitu; Repatriasi, Rehabilitasi, Resettlement, Reintegrasi, dan Resilien. []
Komentar