Catatan dari Masa Lalu : Dialog Antara Kubu Jihad dan Kubu Dakwah (9)

Other

by Arif Budi Setyawan

Lanjutan tanggapan tambahan dari kubu Dakwah :


Kalimat antum:


[Sudahkah antum berittiba’ dalam berdakwah kepada Islam? Sehingga ketika ada aksi jihad terus kalian menyalahkan aksi jihad tersebut. Oke, bisa jadi ada kesalahan dalam suatu aksi jihad. Lalu apakah dengan kesalahan itu jihad terus tidak boleh lagi? Karena membuat para da’i kesulitan?]


>> Ini gaya khas orang yang ngambek ketika dikritik. Seperti seorang panitia yang dievaluasi setelah melakukan acara. Ada kritik, dan ada upaya perbaikan. Apakah dengan evaluasi itu sang panitia lalu mengatakan bahwa pengkritik melarangnya menyelenggarakan acara untuk berikutnya? Tidak !


Esensinya adalah, mari dilakukan dengan tertib, dengan pertimbangan yang masak. Bukan semata pertimbangan efeknya terhadap musuh, tapi juga dampaknya bagi umat Islam.


Kalimat antum:


[Sesulit apakah dakwah antum sehingga sampai tega bersikap seperti itu? Kalau antum tetap membela aksi jihad yang menurut antum salah, paling antum hanya akan digelari teroris, Islam radikal, garis keras, dan julukan-julukan lainnya. Sepengetahuan saya tidak ada yang sampai dibunuh atau dipenjara atau disiksa].


Dari awal bukan kesulitan ini yang kami komplainkan kepada antum. Tapi kesulitan dalam mencarikan pembenaran secara syariat. Sebab kewajiban kami menjelaskan dan membela dengan bingkai syariat.


Misalnya gini. Ada seorang muslim yang memukul tetangganya yang non muslim hingga mati tanpa sebab. Antum dalam posisi harus membela muslim tersebut. Dengan ayat dan hadits apa yang akan antum gunakan? Ini bukan soal berani atau takut disebut teroris, tapi ada atau tidak pembenaran secara syariat.


Kalaupun tidak membela, pasti bukan karena antum takut disebut pembunuh, bukan? Antum ini bicara keluar dari konteks. Kalau diskusi, biasakan nyambung. Jangan asal membantah tapi keluar dari konteks.


Masalahnya, jika kita membela membabi buta tanpa memberi kritik konstruktif, itu artinya kami terjebak dalam ashabiyah (fanatisme jahiliyah). Sama dengan prinsip orang jahiliyah; bela temanmu, baik saat ia terzalimi atau berlaku zalim.


Kalimat antum:


[Tetapi karena antum tidak berani dijuluki dengan julukan seperti itu demi membela mujahidin dan aksinya maka antum jadi berkata, [Ketika para da’i dan ustadz tidak membela antum, antum sakit hati. Ketika kami menyatakan itu bukan jihad yang dibimbing hikmah, antum juga marah.]


Inilah bukti antum su’u zhan terhadap para da’i. Antum hanya mau dikritik oleh Usamah bin Ladin hafidhahullah, tak mau oleh yang lain, oleh ulama atau du’at. Kalau da’i yang memberi koreksi, antum sudah tolak duluan sebelum dicerna. Khas gaya berfikir orang fanatik !


Kalimat antum:


[Tolong berikan kepada kami penjelasan yang berdasarkan dalil-dalil syar’i, agar kami bisa mengikuti dalil-dalil tersebut, bukan mengikuti pertimbangan maslahat madharat yang tidak berdalil …]


Di sinilah problem antum. Tidak pernah berpikir menggunakan logika manfaat dan madharat. Padahal antum menolak rokok salah satu alasan kuatnya adalah madharat bagi penghisap dan orang lain yang menghirup asapnya. Adakah dalil ayat atau hadits yang secara sharih (jelas, dengan menyebut kosa kata rokok) yang melarangnya?


Kami bertanya, dengan dalil apa antum mengharamkan rokok?


Dalil dalam benak antum hanya ayat atau hadits. Ini pandangan picik yang akan melahirkan fanatisme itu. Padahal dalam ilmu ushul fiqh, dalil tak hanya ayat atau hadits.


Wallahu a’lam.


Afwan !


Komentar oleh Da’i — Maret 1, 2010 @ 8:54 am

Komentar

Tulis Komentar