Fenomena King of Prank dan Penikmat Berita Jatuhnya Wibawa Pemerintah

Other

by Arif Budi Setyawan

Sejak hari Kamis sore (21/5/2020) jagat pemberitaan media online dan media sosial diramaikan oleh berita bahwa pemenang lelang motor Presiden pada acara konser amal virtual bertajuk ‘Bersama Melawan Corona’ ternyata adalah seorang buruh harian. Bukan pengusaha sebagaimana yang disebut oleh host acara.


Tentu saja Muhamad Nuh –nama orang tsb- tidak mampu membayar harga motor itu yang besarnya Rp. 2,55 Milyar sesuai dengan angka yang ia sepakati dalam proses lelang itu. M Nuh dianggap nge-prank lantaran tidak menebus motor listrik Presiden Jokowi yang dia menangkan.


Kejadian ini sontak membuat malu para pejabat yang bertanggungjawab dalam acara tersebut. Bagaimana bisa seseorang yang dalam KTP-nya jelas tertulis pekerjaannya adalah buruh harian bisa mengikuti lelang dan bahkan memenangkan lelang? Bagaimana mereka memverifikasinya? Bukankah data kependudukan bisa diakses oleh mereka dengan mudah? Atau mungkinkah panitia berprasangka baik bahwa M. Nuh adalah suruhan dari pengusaha yang tidak mau ditampilkan namanya? Semua masih menjadi tanda tanya yang memicu banyak spekulasi jawabannya.


Reaksi dari para warganet atau netizen pun beragam. Banyak yang kemudian mentertawakan kapasitas para pejabat yang menjadi penanggungjawab acara tersebut. Ada yang menganggap acara itu hanya seperti lelucon saja yang kemudian terbukti benar-benar lucu. Ada yang membandingkan hasil lelang yang kalah jauh dengan bantuan perorangan. Ada pula yang memberikan gelar kepada M. Nuh sebagai “King of Prank” karena ‘keberhasilannya’ nge-prank para pejabat tinggi negeri ini. Dan ada pula yang merasa puas karena akhirnya ada yang berhasil ‘menodai’ kepintaran pejabat negeri yang dianggap oleh sebagian orang kerap membuat kebijakan yang menyusahkan masyarakat.


Orang yang merasa puas melihat ada yang berhasil menjatuhkan wibawa penguasa adalah orang-orang yang benci dengan ulah para penguasa dan para pejabatnya. Dan di antara orang-orang itu ada segelintir orang yang benci karena alasan ideologi.


Orang-orang yang benci karena alasan ideologi selalu senang dengan berita tentang kesalahan kebijakan rezim. Apapun itu beritanya. Biasanya mereka akan selalu memainkan narasi bahwa kebijakan yang salah atau penderitaan masyarakat di bawah pemerintahan rezim itu adalah karena tidak memberlakukan hukum yang sesuai dengan aturan agama.


Lalu mereka menawarkan alternatif pilihan dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang-orang yang sama-sama kecewa –apalagi yang sampai frustasi- dengan kondisi bangsa, akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk melirik sistem alternatif yang ditawarkan itu.


Itulah mengapa di negara yang makmur sentosa seperti Brunei Darussalam, orang-orang yang jualan sistem alternatif itu tidak laku. Karena rakyatnya sudah makmur dengan sistem yang ada.


Tabiat manusia itu jika mengalami kondisi yang tidak menyenangkan akan selalu mencari kesalahan di luar dirinya. Betul memang ada kesalahan di luar dirinya. Tapi tidak adil dong jika ia tidak mengakui kekurangan dan kesalahan dirinya.


Bukankah lebih baik jika bersama-sama memperbaiki semua kesalahan yang ada? Bukan dengan saling menyalahkan atau ramai-ramai memvonis ini salah, itu salah tapi tidak ada usaha memperbaiki keadaan?

Komentar

Tulis Komentar