Tito Karnavian Jadi Mendagri, Strategi Gebuk Radikal Bandel

Analisa

by Kharis Hadirin

Presiden Jokowi mengangkat Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Ini menjawab harap-harap cemas masyarakat tentang Kabinet Indonesia Maju. Dalam periode kedua memang lebih membuat penasaran karena ini soal siapa yang dipertahankan dan siapa yang tergantikan. Terpilihnya Jenderal Polisi ini nampaknya mendorong konsen pemerintah memerangi ideologi teror.

Ini menjadi menarik karena pertama kalinya sebuah kabinet menjadikanisu radikalisme dan intoleransi beragama sebagai fokus utama. Ini juga yang melatarbelakangi salah satu alasan pemilihan mantan Kepala Detasemen Khusus Anti Teror (Densus 88) dalam Triumvirat.

Sosok Tito Karnavian bukanlah nama baru dalam isu terorisme. Bahkan pria kelahiran Palembang ini termasuk salah satu dari sedikit pejabat Polri/TNI yang pernah terjun secara langsung di tengah pusara untuk meredam konflik horisontal. Seperti tewasnya Dr. Azhari, buronan polisi nomor wahid dalam kontak senjata di Malang dipimpin langsung oleh AKBP Tito Karnavian pada Rabu, 9 November 2005.

Tito juga pernah juga ditunjuk oleh Kapolri Sutanto untuk memimpin satgas khusus Pasca Konflik di Poso 2001. Saat itu, muncul sikap ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparat keamanan pasca peristiwa pembunuhan tiga orang siswi.

Pembunuhan tiga siswi sekolah Kristen terjadi pada Minggu, 30 Oktober 2005. Ketiga jasadnya ditemukan oleh warga dalam kondisi tanpa kepala. Salah satu kepala ditemukan di depan sebuah gereja dengan kondisi terbungkus plastik. Di dalamnya terdapat secarik kertas berisi tulisan tangan, "Dicari: 100 kepala, muda atau dewasa, pria atau wanita. Darah harus dijawab dengan darah, jiwa dengan jiwa, kepala dengan kepala."

Kepolisian berhasil mengungkap dalangnya yang berasal dari Tanah Runtuh, Poso. Namun persoalan baru justru muncul. Senin, 22 Januari 2007, terjadi baku tembak antara masyarakat sipil bersenjata dengan aparat gabungan TNI/Polri di Desa Gebang Rejo, Tanah Runtuh, Poso. Dalam peristiwa tersebut, 16 orang menjadi korban baik dari masyarakat sipil maupun aparat. Polisi juga berhasil mengamankan puluhan orang yang diduga ikut terlibat dalam aksi kerusuhan, berikut ratusan senjata api, bom rakitan, dan ribuan amunisi.

Pencapaian ini membuat Tito Karnavian menjadi satu-satunya yang bisa menduduki dua pucuk pimpinan anti teror, Densus 88 dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Kemudian pada 2016 lalu, ia dipilih menjadi Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri).

Selama masa jabatannya sebagai Kapolri, ia berhasil membongkar jaringan kelompok teror. Salah satunya adalah kelompok Jama’ah Anshorud Daulah (JAD) yang berafiliasi pada jaringan ISIS di Suriah. Paling tidak ada 396 orang terpidana kasus terorisme hanya tahun 2018. Densus berhasil membongkar jaringan kelompok Jama’ah Islamiyah dan menangkap pimpinannya, Para Wijayanto pada Juni lalu.

Melihat rekam jejaknya, masyarakat memiliki harapan besar pada Tito Karnavian. Pasalnya, saat ini butuh sosok untuk menyelesaikan berbagai persoalan di tengah kisruh politik identitas yang tak kunjung usai ini. Kita tentu menunggu langkah-langkah taktis dan kebijakan yang akan diambil. Apakah ia memiliki keberanian menindak kelompok-kelompok yang tidak tunduk pada NKRI ? Kita lihat saja nanti!

Komentar

Tulis Komentar