Aksi Turun Gunung Alumni Suriah Menjelang Pengumuman Pemilu

Analisa

by Kharis Hadirin

Oleh : Lutfi Awaludin

 

Jelang pengumuman hasil pemilu pada 22 Mei mendatang, polisi tak mau kecolongan. Mereka menyapu bersih kemungkinan penganggu keamanan. Tak tanggung-tanggung, 29 orang yang diduga akan melakukan serangan teror dicokok Densus 88. Ini adalah penangkapan terbesar dalam sebulan di tahun 2019 oleh pasukan anti-teror.

Sebagian dari mereka ditangkap di Pulau Jawa. Mulai dari Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa ditangkap di luar Jawa.

Dari pengakuan tersangka, melalui Juru Bicara Polisi Muhammad Iqbal mengatakan, mereka yang tertangkap adalah kelompok Jama’ah Anshorud Daulah (JAD) dan hendak merencanakan aksi amaliyah atau teror pada 22 Mei mendatang. Mereka menargetkan kerumunan massa yang akan hadir di depan gedung KPU Jakarta, termasuk aparat melalui serangan bom.

Dari penangkapan itu, polisi berhasil mengamankan 5 bom rakitan berdaya ledak tinggi di beberapa lokasi berbeda. Bom itu dirancang dengan sumbu dan TATP atau triacetone triperoxide, bahan kimia berbentuk serbuk kristal.

Iqbal juga menyebutkan jika 9 dari 29 tersangka itu merupakan anggota aktif JAD. Mereka adalah Foreign Terrorist Fighter (FTF) yang pernah berangkat ke Suriah atau returnees. Mereka juga mendapat pelatihan para militer di dalam negeri.

Sementara 2 di antara 9 orang itu adalah deportan yang sempat mengikut kursus pelatihan merakit bom asap di kamp Allepo, Suriah.

Yang menarik, selama ini alumni Suriah tak banyak berbuat ulah dan melancarkan amaliyah dalam negeri. Bahkan Institute For Policy Analysis of Conflict (IPAC) menyebut hanya satu alumni Suriah yang pernah terlibat dalam serangan teror, yaitu Syawaludin Pakpahan.

Syawaludin Pakpahan, born in Medan in 1984, became the only Indonesian returnee from Syria to become involved in violence after his return – but he was with the Free Syrian Army (FSA), not ISIS,” tulis laporan terakhir IPAC berjudul The Ongoing Problem of Pro ISIS Cell in Indonesia.

Syawaludin berangkat ke Suriah pada 2013 melalui visa turis. Disana, ia sempat bergabung dengan kelompok Free Syrian Army (FSA). Namun pada Juli tahun yang sama, ia terpaksa dipulangkan kembali ke Indonesia oleh FSA setelah diketahui melakukan komunikasi dengan kelompok ISIS, dimana kedua kelompok ini saling berseteru.

Empat tahun setelahnya, Syawaludin Pakpahan bersama tiga rekannya melakukan serangan ke Markas Polda Sumatera Utara tepat pada malam Idul Fitri 2017. Akibatnya, seorang anggota kepolisian meninggal dunia. Syawaludin dan kelompoknya berhasil ditangkap, bahkan satu dari mereka tewas ditembak saat mencoba menyerang.

Syawaludin sendiri akhirnya divonis 19 tahun penjara oleh pengadilan pada Mei tahun lalu.

Istilah returnee sendiri, merujuk pada laporan IPAC berjudul ‘Managing Indonesia’s Pro-ISIS Deportees‘ ditujukan bagi warga Indonesia yang hijrah ke Suriah dan Iraq, lalu kembali ke Indonesia dengan sukarela. Termasuk mereka yang pulang kembali karena mengalami kekecewaan. Sebagaimana dalam kasus Syawaludin yang tadinya ingin bergabung bersama ISIS, namun terdampar dalam kelompok FSA.

Contoh lainnya adalah keluarga Dwi Djoko, PNS asal Batam yang bergabung dengan ISIS di Suriah. Mereka kecewa setelah melihat kenyataan yang tak sesuai dengan propaganda kelompok ini.

Djoko sekeluarga akhirnya melarikan diri dari ISIS dan ditangkap pasukan Syirian Democratic Force (SDF), pasukan milis Kurdi. Dari tangan SDF, Djoko dan keluarga akhirnya dijemput Pemerintah Indonesia.

Mereka yang disebut returnee tak melulu adalah yang bergabung dengan ISIS atau anti-ISIS di Suriah. Kelompok Salafi yang pergi ke Suriah sebagai pekerja kemanusian juga disebut returnee. Salah satunya tulis IPAC adalah Ahrar ash-Sham. Namun lembaga tanki pemikiran yang digawangi pengamat teroris Sidney Jones ini menggaris bawahi tak semua yang pulang adalah otomatis ‘pendukung ISIS’.

Meski demikian, tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah returnee ini. Sebab mereka berangkat dan pulang secara swadaya.

Sedangkan istilah deportan, adalah warga Indonesia yang berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok militan di sana tapi tak sempat menginjakan kakinya di tanah Sham. Mereka rata-rata dicokok otoritas Turki sebelum berhasil menyeberangi perbatasan.

Pada pertengahan tahun lalu, IPAC mencatat lebih dari 500 deportan asal Indonesia yang dikirim pulang ke tanah air. Sebagian besar diciduk di Turki. Dari Jumlah itu, 35 orang ditahan karena sejumlah kasus. Baik atas kejahatan yang dilakukan sebelum mereka berangkat atau menjadi penyandang dana bagi ISIS dan melakukan propaganda di dunia maya.

Januari hingga April 2017 lalu, data dari Center for the Study of Terrorism and Social Conflict Universitas Indonesia, mencatat sebanyak 92 warga Indonesia yang dideportasi. Mereka terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak.

Dari total jumlah itu, 89% dideportasi dari Turki. Sisanya dari Hongkong, Singapura dan Jepang. Sebagian besar mereka berasal dari Jawa Barat (24%), Jawa Timur (23%), Jawa Tengah (13%), Sumatera Barat (11%), Jakarta (9%) dan sisanya dari Banten, Sulawesi Selatan dan provinsi lain.

Jika Syawaludin adalah contoh returnee yang mengangkat senjata setelah tiba di tanah air, Anang Rachman alias Abu Arumi adalah contoh deportan yang bermaksud melancarakan amaliyah di Indonesia. Setelah gagal bergabung dengan ISIS dan dideportasi pada 2016, Anang mulai merekrut orang untuk bergabung dengannya.

Anang berencana meledakkan markas Brimob di Kedunghalang, Bogor. Untuk melancarakan aksinya ini, Anang merekrut Abid Faqihudin dan Ibadurrahman, mantan anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso di Poso. Selain itu, Anang juga berencana menabrakkan mobil ke kerumunan polisi.

Namun Anang dan kelompok terlebih dahulu ditangkap Densus pada Mei 2018 sebelum berhasil melakukan aksinya.

Dalam catatan IPAC, paling tidak ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menghadapai para deportan ini. Pertama, kecenderungan afiliasi. Para deportan yang bergabung dengan ISIS lebih berbahaya daripada yang bergabung selain ISIS. Sebab, ada fatwa yang mengharuskan untuk melakukan serangan di negeri masing-masing jika tak mampu hijrah ke Suriah.

Faktor kedua, motivasi mereka. Para deportan yang pergi ke Suriah untuk berperang lebih beresiko daripada mereka yang hijrah dan hidup di bawah pemerintahan Khilafah. Dari 35 deportan yang ditahan Densus 88, 27 di antaranya berniat untuk jihad ke Suriah bersama ISIS. Deportan jenis ini, lebih berpotensi melakukan tindakan teror di Indonesia.

Faktor ketiga, adanya jaringan sosial. Jika para deportan ini kembali ke kelompoknya, maka besar kemungkinan mereka akan kembali ke jalur teror meski sudah dinyatakan lolos dalam program deradikalisasi oleh pemerintah.

Maka tak salah jika publik merasa khawatir atas keberadaan mereka di lingkungan tempat tinggalnya, terutama keinginan untuk melakukan aksi teror yang bisa membahayakan nyawa orang lain.

Tentu, ini menjadi tantangan berat pemerintah untuk mengawasi sekitar 500 deportan yang kini ada di Indonesia. Belum munculnya beberapa kasus, dimana para returnees yang kini mulai turun gunung, membuat pekerjaan rumah menjadi dua kali lipat.

Seperti yang disebut sebelumnya, jika awalnya hanya Syawaludin, alumni yang melancarkan serangan teror. Kini ada 7 alumni lain yang mulai turun gunung. Sementara hingga saat ini tak ada data pasti berapa jumlah alumni Suriah yang ada di Indonesia. Apakah lebih kecil dari jumlah deportan (500 orang), atau lebih besar dari itu? Wallahu’alam...

 

Link foto: http://wjtoday.com/berita/4207/awan-gelap-menyelimuti-jelang-pengumuman-hasil-pilpres-2019

Komentar

Tulis Komentar