Abu Qotadah Al Filistini, yang lahir dengan nama Omar Mahmoud Othman pada tahun 1960 di Bethlehem, Palestina, tumbuh di tengah gejolak politik dan sosial yang mewarnai tanah kelahirannya. Masa mudanya dihabiskan dengan menimba ilmu, pertama di Kuwait lalu di Yordania, di mana ia mendalami studi Islam dan hukum syariah.
Pada awal 1990-an, Abu Qotadah hijrah ke Inggris dan mendapat status pengungsi politik. Di sana, ia menjadi figur yang berpengaruh di kalangan komunitas Muslim, khususnya mereka yang berasal dari Timur Tengah. Ceramah-ceramahnya di masjid-masjid London menarik banyak pengikut, dan tulisan-tulisannya tersebar luas.
Pemikiran Abu Qotadah di masa awal karirnya cenderung keras dan literalis. Ia dikenal dengan pandangan-pandangan yang mempunyai kriteria :
1. Mendukung jihad bersenjata sebagai cara utama melawan apa yang ia anggap sebagai penindasan terhadap umat Islam.
2. Menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits secara literal, tanpa banyak mempertimbangkan konteks historis atau sosial.
3. Menolak keras segala bentuk yang ia anggap sebagai "bid'ah" atau inovasi dalam praktik keagamaan.
4. Memandang hubungan antara Muslim dan non-Muslim dalam kerangka konflik, bukan kerjasama.
Contoh konkret pemikirannya yang lama terlihat dalam fatwanya yang membenarkan pembunuhan warga sipil dalam konteks perang, atau penolakannya terhadap sistem demokrasi yang ia anggap bertentangan dengan hukum Islam.
Namun, seiring waktu, terutama setelah pengalaman penahanan dan deportasinya dari Inggris ke Yordania pada 2013, pemikiran Abu Qotadah mulai menunjukkan pergeseran. Kini, ia lebih sering terdengar menyuarakan pandangan yang memprioritaskan :
1. Menekankan pentingnya dialog dan pemahaman lintas agama dan budaya.
2. Mengakui kompleksitas dunia modern dan kebutuhan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan dengan mempertimbangkan konteks kontemporer.
3. Menolak kekerasan atas nama agama dan mempromosikan cara-cara damai dalam menyuarakan aspirasi.
4. Mendorong partisipasi Muslim dalam sistem politik di negara-negara tempat mereka tinggal, termasuk di negara-negara Barat.
Sebagai contoh pemikirannya yang baru, Abu Qotadah pernah menyatakan dalam sebuah wawancara bahwa "jihad bukanlah tentang membunuh orang lain, tapi tentang menguasai diri sendiri dan memperbaiki masyarakat melalui cara-cara yang konstruktif." Ia juga mulai berbicara tentang pentingnya pendidikan dan pemberdayaan ekonomi sebagai cara untuk mengangkat derajat umat, alih-alih fokus pada perjuangan bersenjata.
Perjalanan intelektual Abu Qotadah ini menarik untuk dicermati. Ia menunjukkan bahwa pemikiran seseorang bisa berevolusi, bahwa pandangan yang keras bisa melunak, dan bahwa dialog serta pengalaman hidup bisa membuka pintu-pintu pemahaman baru.
Tentu saja, perubahan ini tidak terjadi dalam semalam dan tanpa kontroversi. Bagi sebagian pengikutnya yang lama, pergeseran pemikiran Abu Qotadah ini dianggap sebagai bentuk 'pelemahan' atau bahkan 'pengkhianatan'. Namun bagi yang lain, ini adalah bukti dari kematangan intelektual dan spiritual.
Secuil cerita Abu Qotadah ini mengingatkan kita bahwa perjalanan mencari kebenaran tidaklah selalu lurus. Ada belokan-belokan tajam, ada jalan-jalan terjal, dan kadang kita harus kembali ke titik awal untuk menemukan jalan yang benar. Dalam prosesnya, kita mungkin akan menemukan bahwa kebenaran itu sendiri lebih kompleks dan lebih indah dari yang kita bayangkan sebelumnya.
Surabaya, 19 Juli 2024
Abu Fida
(Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies PPs UINSA)
Komentar