Jika Anda sempat berkunjung ke Kota Bandung, di malam hari berdirilah di atas wilayah selatan ataupun utara, di lereng-lereng gunung yang sekarang jadi tempat wisata atau tempat makan enak. Kemudian, bayangkanlah Kota Bandung yang gemerlap oleh cahaya lampu, berubah menjadi merah, dibakar oleh penduduknya sendiri.
Ketika itu ratusan ribu penduduk kota bersedia mengorbankan apapun yang mereka miliki demi kepentingan masa depan yang lebih baik. Bersedia menelan pil pahit, kehilangan harta benda, demi sesuatu yang lebih berharga, yaitu kemerdekaan dan kedaulatan bangsa serta kehormatan sebagai pemilik sah tanah air.
Alkisah, pada tanggal 23 Maret 1946, Tentara Sekutu di bawah komando Kolonel McDonald mengeluarkan ultimatum kedua setelah pada ultimatum yang pertama pada 24 November 1945 tak diindahkan. Isi ultimatum kedua itu adalah bahwa Bandung selatan harus dikosongkan oleh rakyat sipil dan milisi Indonesia. Tuntutan itu tentu ditolak dengan keras oleh Tentara Rakyat Indonesia (TRI).
Kolonel A.H Nasution selaku Komandan Divisi III sempat bicara soal opsi mempertahankan atau menyerahkan Kota Bandung pada Perdana Menteri Sutan Syahrir. Syahrir begitu pesimistis akan kekuatan TKR, yang baru berganti nama menjadi TRI pada 26 Januari 1945.
Bagi Syahrir, TRI tak akan bisa menghadapi Tentara Sekutu. Senjata TRI sangat sedikit. Syahrir kemudian menekan Nasution untuk menerima ultimatum agar Bandung dikosongkan.
Sejatinya, Nasution dan perwira lainnya enggan menyerahkan Bandung. Namun, dia harus taat perintah perdana menteri. Nasution lalu melakukan rapat bersama pimpinan militer Indonesia lainnya. Mereka sepakat tidak mempermudah kehadiran Tentara Sekutu di Bandung. Perintah Syahrir sebagai Perdana Menteri tetap ditaati, tetapi diputuskan Bandung akan dibumihanguskan.
Itulah yang kemudian meletuskan peristiwa Bandung Lautan Api, tanggal 24 Maret 1946. Dari Cicadas hingga Cimindi, kota Bandung terbakar.
Bumi hangus jadi jalan tengah bagi Nasution. Dia dan orang Indonesia lainnya keluar dari Bandung, seperti perintah Syahrir tapi dengan membakar kota yang ditinggalkan itu. Perintah Syahrir ditaati dan Bandung dibiarkan lepas begitu saja karena sudah jadi lautan api.
Itu lebih baik ketimbang menyerahkan Kota Bandung begitu saja pada Tentara Sekutu. Sekutu tidak boleh dapat manfaat apapun dari kota Bandung karena sudah terbakar.
Dan sekarang, kisah tersebut telah tertinggal berpuluh tahun tahun silam. Kita punya cerita heroik tersebut. Cerita ketika ratusan ribu penduduk bersedia berkorban.
Lantas pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita semua bersedia berkorban hal yang sama demi masa depan, demi keputusan yang lebih bijak, demi kebaikan bersama? Atau jangan-jangan kita semua sudah disibukkan dengan kepentingan masing-masing?
Kemarin adalah Hari Pahlawan di mana kita mengenang mereka semua. Hari ini, jiwa kepahlawanan bisa ada di hati siapapun. Remaja yang menolak menyontek massal di sekolahnya. Guru yang mendidik murid-muridnya dengan baik dan benar. Ibu rumah tangga yang membesarkan anak-anaknya. Para pegawai dan karyawan yang amanah dan jujur. Dan siapapun yang melawan kezaliman dan kemungkaran, sungguh ada nyala api pahlawan di hatinya.
Sumber :
Wikipedia.org
Tirto.id
Fans Page Penulis Tere Liye
ilustrasi: Pixabay.com
Belajar Arti Pengorbanan dari Peristiwa Bandung Lautan Api
Otherby Arif Budi Setyawan 11 November 2019 8:08 WIB
Komentar