Seri Nasihat Gus Baha: Beragama harus Membawa Kebahagiaan

Other

by Arif Budi Setyawan

Ahmad Bahauddin Nursalim alias Gus Baha dikenal sebagai sosok ulama yang dicintai banyak kalangan. Salah satu ciri khas beliau dalam ceramahnya adalah menjelaskan ajaran Islam dengan cara yang ringan, santai, tapi mengena sampai pada intinya. Beliau kemudian dianggap cukup sukses menginspirasi dengan gayanya yang khas itu.


Salah satu yang sering beliau sampaikan dalam ceramah-ceramahnya adalah beragama itu harus membawa kebahagiaan bagi pemeluknya. Adanya rasa bahagia di hati pemeluknya, mereka tidak lagi mencari bahagia lewat jalur yang salah (maksiat).


Pada beberapa ceramahnya, Gus Baha menyampaikan mengenai pentingnya bersyukur dalam situasi apapun sebagai cara yang paling ampuh untuk mendapatkan kebahagiaan dalam beragama.


Jika ditakdirkan Allah menjadi orang miskin, ya harus tetap bersyukur karena orang miskin akan dihisab alias dihitung amalnya lebih mudah pada hari Kiamat. Kalau ditakdirkan jadi orang kaya ya harus bersyukur karena dengan harta yang dititipkan Allah itu bisa berbuat banyak kebaikan.


Bersyukur itu juga tidak boleh dengan syarat atau kriteria tertentu. Misalnya nunggu kaya dulu, punya istri lebih satu, punya istri yang tidak rewel, dan seterusnya.


“Sudahlah, kalau kamu misalnya ditakdirkan memiliki istri yang kurang cantik, cerewet, dan galak, syukuri saja. Sesungguhnya kamu sedang dilatih untuk sabar dan itu menjadi ladang pahalamu,” terang Gus Baha dalam salah satu ceramahnya.


Para ulama terdahulu seperti Imam Ahmad dan Imam Syafi’i adalah contoh konkret dari sosok Muslim yang hidupnya penuh kebahagiaan. Mereka selalu rileks dan tenang dalam menghadapi situasi apapun. Kenapa begitu? Karena kedua ulama besar ini selalu bisa melihat kebaikan dari apa pun yang terjadi.


Tentang ini Gus Baha menukil kisah Imam Syafi’i yang disebutnya tetap bersyukur saat diberitahu seseorang bahwa di antara jamaahnya ada yang tidak menyukai dirinya.


Orang ini ketika berada di hadapan Imam Syafi’i selalu menampakkan sikap hormat. Tetapi di belakang sang imam, orang ini sering menjelek-jelekkan Imam Syafi’i.


Mengetahui hal tersebut Imam Syafi’i hanya tertawa dan berkata: ”Baguslah kalau begitu”.


Orang yang memberitahu Imam Syafi’i pun terheran-heran mendengar jawaban ini, “Loh apanya yang bagus wahai Imam?”


“Berarti aku masih ada wibawanya, buktinya dia baik di depanku,” ucap Imam Syafi’i santai.


Imam Syafi’i telah menunjukkan bahwa mensyukuri apa pun yang terjadi, termasuk bersyukur karena tidak disukai, adalah bagian dari keutamaan beragama.


Tak perlu membalas marah kepada orang yang di dalam dirinya dipenuhi amarah. Agama harus dilandasi oleh rasa bahagia. Jika ada orang yang tidak suka padahal kita tidak pernah melanggar hak-haknya dan menjalankan apa yang kita yakini benar berdasarkan ajaran agama, ya sudah, syukuri saja. Kita hanya perlu mengganti sudut pandang.


(Diolah dari berbagai ceramah Gus Baha yang beredar di media sosial)

Komentar

Tulis Komentar