Catatan dari Masa Lalu : Dialog Antara Kubu Jihad dan Kubu Dakwah (8)

Other

by Arif Budi Setyawan

Masih ada tanggapan tambahan dari kubu Dakwah oleh Da’i sebagai berikut:


Untuk mujahid JON …


Membaca tanggapan balik antum, ada beberapa kalimat yang perlu kami konfirmasi.


[Saran antum memang saya terima, melawan musuh tidak harus dengan aksi infijar (peledakan), bisa dengan sniper, dan cara-cara ightiyal yang lain. tetapi ketika cara-cara yang disarankan itu belum bisa dilaksanakan. Ditambah banyaknya para pemuda yang ingin mati syahid kita juga tidak bisa menghalangi mereka untuk meraih keinginannya].


>> Bagi kami, pernyataan ini janggal. Ketika antum mampu menyiapkan infijar yang demikian canggih, tapi di sisi lain cara yang lebih sederhana dikatakan belum mampu melaksanakannya. Kami khawatir, sebabnya lebih karena keengganan dengan pilihan non infijar. Maunya hanya infijar dan malas dengan cara lain. Apakah karena infijar lebih heboh? Renungkan kalimat kami sebelumnya: Akhi mujahid. Rencanakan jihad antum untuk MENANG, bukan untuk MATI. Jika antum hanya merencanakan kematian, berarti antum menyiapkan kekalahan. Semua mujahid pasti merancang strategi sejitu mungkin untuk menang, bukan merancang strategi SEHEBOH mungkin untuk mati.


Lalu kalimat, [ditambah banyaknya pemuda yang ingin mati syahid kita juga tidak bisa menghalangi mereka untuk meraih keinginannya].


>> Kalimat ini juga janggal. Justru karena semangat yang demikian menggebu, perlu diarahkan agar lebih efektif dan efisien. Motifnya bukan melarang atau menghalangi, tapi mengarahkan. Kalau melarang atau menghalangi jihad, jelas bukan kewenangan kami. Tapi mengarahkan agar lebih sesuai standar hikmah, ini menjadi kewajiban kami. Dan kalimat yang kami tulis di atas dalam konteks ini, bukan dalam konteks menghalangi. Semoga antum bisa memahami maksud kami.


Kalimat antum:


[Sebenarnya titik perbedaannya adalah pada persoalan: apakah di sini negara aman atau negara konflik (menurut hemat saya, yang bisa jadi salah). Karena para du’at yang menganggap aksi ikhwan mujahidin tidak berdasarkan pertimbangan hikmah biasanya alasannya seperti itu. Sehingga seringkali kita mendengar du’at yang mengatakan, “Kalau memang mau berjihad jangan di sini, pergi saja ke Afghanistan, Iraq, Chechnya dan daerah-daerah konflik lainnya.” Karena anggapannya di sini adalah daerah aman alias non konflik].


>> Ya akhi. Kalimat ini patut kita pertimbangkan dengan serius. Kita tidak semestinya mengabaikannya sama sekali, antipati total. Apakah solusi yang dibutuhkan oleh umat Islam Indonesia saat ini tinggal jihad? Mereka tak lagi membutuhkan dakwah? Benarkah demikian?


Menurut hemat kami, pekerjaan dakwah di negeri ini masih demikian luas. Kejahilan dan ketersesatan umat Islam dari jalan benar masih sangat banyak. Kita mesti menghargai juga pandangan mereka.


Para da’i adalah mitra antum dalam jihad. Saran mereka ini jangan antum tanggapi terlalu sensitive; bahwa para da’i menggembosi jihad.


Kalimat antum:


[Ya Akhi … kalau sudah kondisi perang kita harus bertanya kepada para komandan perang sehingga kita akan paham apa pertimbangan mereka melakukan aksi-aksi mereka.


Dan ketika kondisinya seperti itu cara antum membela adalah pertama melakukan investigasi kasus tersebut sehingga antum tahu betul siapa korban-korban yang meninggal dan siapa korban-korban yang terluka.]


>> Aduh, saran antum kok ya janggal amat. Begitu mudahnya komandan ditemui dalam situasi genting? Dan harus ketemu langsung?


Antum percaya dengan rilis dari Usamah bin Ladin? Lewat media apa? Antum ketemu langsung? Kalau antum percaya dengan berita dari internet, apakah salah para da’i merujuk kepada internet, tanpa ketemu langsung untuk konfirmasi?


Mbok ya kalo memberi saran yang logis. Lalu para dai diminta investigasi? Setahu kami, belum pernah ada yang sampai melakukan seperti itu. Investigasi layaknya kepolisian? Investigasi macam apa yang antum maksud? Investigasi via media massa? Internet? Bukankah antum mengatakan: [Jangan percaya laporan dari nara sumber media-media kafir. Hatta dari media muslim pun harus ditabayyun. Itulah kewajiban kita ketika menerima berita. Karena ana yakin, ketika mujahidin melakukan aksi tidak sembarangan].


Kami para da’i antum minta untuk selalu memahami apapun yang antum lakukan. Bahkan membenarkan apapun manuver antum. Tak boleh ada yang perlu dikoreksi. Kami harus membela antum dengan gagah berani, secara membabi buta. Sebelum itu harus pula melakukan investigasi secara langsung, karena tak boleh mengandalkan media massa. Aduh!


Antum memposisikan para dai sebagai pelayan-pelayan, atau pembantu-pembantu bagi para mujahidin. Atau dalam istilah modern, menempatkan dakwah sebagai subordinat jihad. Jihad sebagai panglima, dan dakwah sekedar tukang panggul logistik. Apapun perintah panglima, tukang panggul harus mentaatinya.


Seolah dakwah dan jihad merupakan sebuah urutan: dakwah sebagai SD dan Jihad sebagai Universitas. Ketika seseorang bergelut dengan dakwah, ia baru tingkat SD. Sementara jika sudah berjihad, ia telah sarjana. Tak layak anak SD mengoreksi sarjana. GAK LEVEL ! Dan urutan ini tak bisa mundur. Seorang mujahid akan turun derajat jika kembali ke dunia dakwah.


Pandangan ini yang ingin kami luruskan. Bahwa hajat umat terhadap dakwah sama besarnya dengan hajat umat terhadap jihad. Keduanya harus link and match. Jangan ada yang dijadikan subordinat, sehingga harus selalu dalam posisi melayani, dan ada yang selalu maunya dilayani. Keduanya saling membutuhkan secara seimbang.

Komentar

Tulis Komentar