Radikalisasi di Kalangan Pejabat TNI/Polri

Other

by Kharis Hadirin

Akhir-akhir ini, trend hijrah banyak menjadi perbincangan di banyak kalangan. Pasalnya, jika dahulu istilah hijrah umumnya terjadi di lingkungan pesantren, atau orang-orang yang dulunya pernah terjerumus dalam dunia hitam. Kini, istilah tersebut agaknya mulai merambah banyak kalangan. Mulai dari pejabat, artis, musisi, seniman, dukun hingga aparatur negara.

Tentu saja menjadi lebih baik itu bagus. Menjadi sholeh dari yang tadinya tholeh itu wajib. Tetapi terkadang untuk menemukan hidayah ini tidak mudah, makanya ada ulama sering berdoa, "Saya tidak tahu nikmat mana lagi yang aku syukuri, apakah hidayah Islam atau selamat dari sikap Ghuluw didalamnya?"

Barangkali, hal ini juga yang dialami oleh seorang petugas aparat kepolisian yang baru-baru menjadi perbincangan hangat karena tertangkap oleh Densus 88 setelah diduga terlibat dalam jaringan kelompok teroris.

Namanya Nesti Ode Samili dan Rini Ilyas, keduanya berpangkat Bripda dan juga anggota Ditreskrim Maluku Utara.

Ketika diamankan, keduanya mengaku tidak ingin jadi polisi lagi. Sebab menurutnya, polisi adalah Thagut dan layak untuk diperangi.

Pihak keamanan yang menangkap mereka menduga bahwa keduanya memiliki afiliasi pada kelompok Jama’ah Ansharus Daulah (JAD), ini terlihat dari laman social media keduanya yang banyak memposting berita-berita tentang Daulah. Bahkan di rumahnya pun banyak ditemukan buku-buku yang merupakan tulisan dari Aman Abdurrahman, pentolan JAD yang kini mendekam di balik jeruji Lapas Nusa Kambangan.

Sebelumnya, fenomena serupa juga pernah terjadi. Yakni seorang anggota polisi Polres Jambi, Saputra, diketahui telah berangkat ke Suriah untuk bergabung  dengan ISIS sekitar 2016 lalu.

Ada juga seorang mantan anggota polisi yang pernah berdinas di Polres Solo dan Banyuwangi, tertangkap tim Densus 88 pada pada 28 Maret 2019 di Bandung karena terlibat dalam aksi perampokan atau fa’i di Surabaya. Bahkan anaknya yang masih berusia 14 tahun, hendak dikirim untuk belajar tentang Islam di Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud Bogor sebelum akhirnya ditutup paksa oleh masyarakat dan aparat setempat karena dianggap sebagai parasit dalam ideologi pancasila.

Selain mereka di atas, juga ada Sofyan Tsauri, mantan anggota kepolisian dengan pangkat Brigadir yang ditahan dalam kasus pelatihan militer di Jhanto, Aceh. Lalu ada Briptu Syarif Tabubun, seorang anggota Reskrim Polres Maluku juga terlibat dalam aksi teroris dan divonis 15 tahun penjara.

Juga seorang anggota TNI berpangkat Kopral, July Karsono yang berhasil menembak mati 5 anggota polisi di beberapa wilayah seperti Purworejo, Kebumen dan Jogyakarta selama rentang tahun 2009-2010.

Pertanyaanya, kenapa mereka begitu rentan dan bisa bergabung dengan kelompok teror, sementara seharusnya lingkungan mereka jauh lebih kuat dalam menangkal pemikiran radikal dan menjadi ujung tombak negara melawan terorisme?

Jawabanya, sulit-sulit gampang. Namanya juga hidayah, bisa datang pada siapa saja tanpa melihat status sosial. Tapi stop, jangan bilang mereka susupan.

Asal tahu saja, kepala pengawal Osama bin Laden, sang pelopor Al Qaedah, yaitu Saeful Adl juga diketahui sebagai mantan Kolonel pasukan elit Mesir. Juga Muhammad Atta, pengawal pribadi Osama juga seorang mantan anggota polisi Mesir.

Pada prinsipnya, fenomena hijrah bukanlah hal baru. Jauh sebelum masa kenabian Muhammad, hal serupa juga pernah terjadi. Tentang bagaimana perjuangan seorang pembunuh yang telah menghabisi 100 nyawa untuk menjadi hamba yang baik hingga ajal tiba.

Persoalannya, jika hijrah dari keburukan menuju kebaikan justru malah menciptakan keburukan baru, lantas hijrah seperti apa yang diharapkan? Wallahu'alam...

 

Link foto: https://elshinta.com/news/189122/2019/10/03/oknum-polwan-ditangkap-densus-88-pengamat-sel-teroris-cari-akses-ke-aparatur-negara

Komentar

Tulis Komentar