Kendala Pembinaan Eks Napiter JAD: Istri yang Lebih Radikal

Other

by Arif Budi Setyawan

[caption id="attachment_9587" align="alignnone" width="768"]ISIS Perempuan di Wilayah ISIS (Global Risk Insight)[/caption]

Jika sebelum tulisan ini saya lebih banyak membahas tentang dinamika kelompok Jamaah Islamiyah (JI), khususnya yang berada di wilayah Lampung karena menjadi obyek pendampingan kami, maka kali ini saya ingin mengulas tentang fenomena dalam pembinaan eks napiter dari kelompok Jamaah Ansharud Daulah (JAD).


Saya tergerak untuk mengulas masalah ini karena ketika melakukan penelitian di Ambon pada Juni lalu saya mendapati sebuah cerita tentang repotnya membina salah satu eks napiter JAD gara-gara sering cekcok dengan istrinya terkait program pembinaan yang diterima suaminya. Dari dokumen kependudukan yang disobek-sobek istrinya, hingga anaknya yang ditarik dari sekolah yang di-support oleh Idensos Densus Maluku karena disuruh istrinya, hingga beberapa bulan kemudian minta diuruskan lagi dokumen kependudukan dan minta anaknya dimasukkan lagi ke sekolah itu lagi.


Membahas fenomena istri-istri di kalangan JAD yang lebih radikal dari suaminya tidak bisa dilepaskan dari fenomena pemanfaatan media sosial dalam gerakan kelompok JAD. Di mana para perempuan relatif punya lebih banyak waktu dari para kaum lelakinya, dan lebih mudah terpengaruh emosi atau perasaannya.


Media Sosial Sebagai Medan Perjuangan


Tidak seperti kelompok JI yang menjadikan umat Islam sebagai medan perjuangan yang nyata dan berdampak, para pendukung Islamic State (IS) atau ISIS di Indonesia menjadikan media sosial sebagai “medan perjuangan” yang utama.


Disebut “medan perjuangan” karena di sanalah para pendukung ISIS menunjukkan eksistensinya dengan menebar propaganda dan mendakwahkan paham-paham mereka yang menyimpang. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa selemah-lemah pembuktian iman bagi para pendukung ISIS adalah menyebarkan propaganda dan paham-paham mereka di media sosial (internet).


Media sosial juga dianggap sebagai tempat yang aman untuk berinteraksi dengan sesama pendukung ISIS sekaligus menjadi ajang untuk menjaring simpatisan yang baru. Mereka juga biasa melakukan kampanye penggalangan dana di media sosial untuk mendukung keluarga anggota JAD yang sedang membutuhkan. Kebanyakan untuk menyantuni keluarga anggota JAD yang sedang dipenjara.


Di kalangan para perempuan pendukung ISIS, media sosial punya peran yang lebih banyak daripada bagi kaum lelakinya. Salah satunya yang tidak ditemukan di kalangan para lelaki adalah menjadikan media sosial sebagai tempat curhat sekaligus mencari perhatian. Curhat dan mencari perhatian mungkin memang sudah menjadi kebutuhan primer para perempuan secara umum di era media sosial. Tak terkecuali di kalangan perempuan pendukung ISIS.


Untuk soal curhat hampir tidak ada bedanya dengan kaum perempuan pada umumnya. Kebanyakan mereka curhat soal masalah yang lazim terjadi, seperti soal rumah tangga, anak-anak, ekonomi, perasaan yang sedang dialami, dan lain sebagainya. Mungkin yang membedakan, di dalam curhat mereka kadang terselip narasi “pembenaran diri” berdasarkan pemahaman agama yang diyakini bersama kelompoknya. Misalnya, ketika curhat masalah ekonomi, ada narasi menyalahkan sistem negara sebagai penyebabnya dan menganggap solusinya adalah sistem seperti yang diyakini oleh kelompoknya.


Tetapi dalam soal mencari perhatian, ada beberapa bentuk mencari perhatian yang khas terjadi pada perempuan pendukung ISIS. Fenomena ini tidak terlepas dari doktrin di kalangan ISIS yang menyatakan bahwa semua pendukung ISIS harus turut serta berjuang termasuk para perempuannya. Nah, kebanyakan para perempuan ini kemudian bermain di media sosial. Meskipun ada juga sebagian kecil perempuan mereka yang sampai terlibat plot aksi serangan terorisme.


Setidaknya ada dua tujuan yang hendak dicapai ketika para perempuan pendukung ISIS mencari perhatian di media sosial. Pertama, ingin menunjukkan bahwa dirinya merupakan salah satu pendukung ISIS. Kedua, mencari dukungan atau penguat dari orang lain terhadap apa yang dilakukannya itu (mengikuti paham ISIS dan menjadi pendukungnya).


Artinya dalam hal ini media sosial bisa menjadi semacam sarana saling mendukung dan saling menguatkan antar sesama pendukung ISIS. Di dunia nyata mungkin mereka sudah banyak mengurangi interaksi karena itu mudah terpantau oleh masyarakat dan aparat keamanan. Tetapi di media sosial boleh jadi justru akan menjadi semakin marak oleh interaksi para pendukung ISIS.


Maka ketika ada kasus istri eks napiter JAD yang lebih radikal dari suaminya seperti di awal tulisan ini, saya meyakini bahwa peran media sosial sangat mempengaruhi tingkat radikalnya si istri. Selama suaminya di penjara, media sosial menjadi tempat istrinya mencari dukungan dan mendapatkan perhatian. Termasuk bisa jadi selama suaminya dipenjara dia mendapatkan bantuan ekonomi dan layanan sosial dari sesama pendukung ISIS yang dikenalnya di media sosial.

Komentar

Tulis Komentar