PINTU REZEKI DALAM SECANGKIR KOPI

Other

by Arif Budi Setyawan

Saya termasuk orang yang jarang minum kopi di warung kopi atau kafe karena saya biasanya baru ngopi di warkop atau kafe ketika sedang suntuk di rumah atau dalam perjalanan atau ketika singgah di sebuah kota untuk suatu urusan. Saya lebih banyak ngopi di rumah bersama keluarga.


Sebenarnya saya baru mulai suka ngopi itu ketika di penjara, terutama ketika sudah berada di lapas. Ketika di lapas itulah saya mengalami bagaimana segelas kopi bisa menghasilkan banyak cerita dan bagaimana segelas kopi bisa menyatukan antara saya dengan orang-orang di sekitar saya. Mulai dari sesama napi, sampai para sipir penjara, semuanya jadi akrab karena segelas kopi.


Seiring perjalanan waktu, saya semakin akrab dengan minuman bernama kopi dan menjadikannya menu wajib dalam pergaulan di lapas. Sudah puluhan orang yang jadi akrab gara-gara sering ngopi bareng. Sudah ratusan cerita yang saya dapat dari kegiatan ngopi bareng itu, di mana beberapa di antarnya menginspirasi beberapa episode dalam novel saya.


Bahkan dalam novel itu si tokoh utama saya gambarkan sebagai seorang penggemar kopi dan kuliner nusantara, di mana ia sangat terkesan dengan “Kopi Rarobrang” Ambon yang selalu mengingatkannya dengan anak gadis tuan rumah yang memperkenalkannya pada “Kopi Rarobrang” pertama kalinya.


Dan sampai hari ini saya beneran penasaran dengan kopi rarobrang yang asli. Pernah seorang kawan napi asal Ambon memberikan resepnya dan saya pernah mencoba membuatnya ketika sudah bebas. Memang unik rasanya, campuran rasa kopi yang dipadu dengan rempah, dan taburan kacang kenari (saya ganti dengan kacang mete).


Dan hari ini kopi telah menjelma menjadi salah satu mood booster bagi saya, yang setia menenemani ketika saya mencari inspirasi untuk menulis yang menjadi pekerjaan utama saya saat ini.


Ketika ngopi di warkop yang termasuk jarang saya lakukan itu saya menemukan beberapa hal baru selain nuansa keakraban antar jamaah ngopi. Tapi di antara hal-hal yang baru itu, ada sebuah fenomena yang paling menarik dan paling saya sukai. Yaitu obrolan tentang bisnis dari yang kelas mikro sampai menengah.


Seringkali saya jumpai para broker komoditas pertanian, atau hewan ternak, atau kendaraan bermotor, atau broker properti yang bertukar informasinya itu di warung kopi. Dan di daerah saya ada beberapa pemilik warkop yang menjadi semacam agen tempat para broker meninggalkan nomer HP dan informasi barang yang sedang dicarinya. Dan tak jarang mereka ini mendapat cipratan rezeki dari orang-orang yang kemudian sukses bertransaksi atas informasi darinya itu.


***


Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke rumah salah satu kawan saya di Rutan Mako Brimob dulu yang baru bebas dari penjara kurang lebih tiga bulan yang lalu. Dia mengajak saya jalan-jalan melihat-lihat suasana kota dan kemudian mampir di warung kopi yang menjadi langganannya dari dulu.


Sebelum masuk ke dalam warkop dia menjelaskan bahwa kelebihan dari warkop itu selain airnya yang direbus menggunakan bara api dari arang, juga penjualnya bisa menjadi tempat curhat yang asyik. Orang-orang yang datang kesitu terkadang hanya untuk meluapkan kekecewaan atau kisah kegagalan bisnisnya hari itu. Makanya jangan kaget kalau di situ nanti saya akan mendengar orang yang misuh-misuh (mengeluarkan kata-kata umpatan), begitu pesannya.


Tapi tak jarang pula ia mendapatkan pembeli dari produk kerajinan batu akik yang ditekuninya dari obrolan di warung kopi itu. Seperti yang terjadi malam itu, saya menyaksikan sendiri ia melakukan tawar menawar untuk tukar tambah antara batu akik yang sudah jadi dengan sebongkah bahan batu mulia. Tapi karena belum dapat titik temu harga yang pas, transaksi itu pun terhenti.


Tak lama setelahnya datanglah orang yang mau ngopi dan senang sekali bertemu dengan kawan saya itu karena dirinya sekalian mau membayar hutang pembelian batu akik sebelumnya. Alhamdulillah, dapat rezeki tak terduga, kata kawan saya itu.


Dalam perjalanan pulang dari warkop itu, kawan saya juga menceritakan bahwa di warung kopi itulah dirinya bisa merasakan kesenangan dan menghibur diri. Teman-teman lama yang biasa ngopi bareng itulah yang ternyata lebih mudah menerima kehadirannya meskipun pernah dipenjara karena kasus terorisme. Berbeda dengan komunitas di mana ia pernah ‘ngaji’ bersama mereka yang cenderung takut menerimanya kembali karena statusnya sebagai mantan napiter.


Meskipun komunitas itu sudah menjauhi ‘paham radikal’ yang dulu sempat mereka restui, namun justru karena itulah mereka tidak mau lagi ‘terkontaminasi’ dengan orang-orang yang pernah terlibat kasus terorisme seperti saya dan kawan saya itu. Tapi kami tak mau ambil pusing dengan hal itu.


Karena ternyata, terkadang kami hanya perlu segelas kopi untuk mendapatkan kembali kepercayaan diri dan inspirasi yang dapat membuka salah satu pintu rezeki yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai rezeki kami.

Komentar

Tulis Komentar