Bakat itu Tak Seperti Jerawat yang Muncul Tiba-Tiba

Analisa

by Kharis Hadirin

Menukil novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, bakat terpendam, digali dan diasah dengan benar, jadinya luar biasa. Bakat itu tak ubahnya laksana Area 51 di Gurun Nevada, tempat di mana mayat-mayat alien disembunyikan: misterius!

Baru-baru ini, ramai di beranda media sosial terkait adanya larangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dianggap sarat akan unsur eksploitasi anak. Ini menyusul pasca diselenggarakannya audisi beasiswa bulu tangkis yang diadakan oleh Djarum Foundation yang bertujuan untuk menyaring bakat calon atlet sejak masih usia dini.

Berbeda dengan para seniornya yang sedang mempersiapkan diri ke Kejuaraan Dunia BWF di Bassel, calon atlet-atlet bulu tangkis muda yang sedang unjuk kebolehan demi mendapat beasiswa dari PB Djarum justru sedang dipermasalahkan oleh KPAI.

Dengan alasan eksploitasi anak, KPAI meminta pihak penyandang dana untuk menghentikan acara pencarian bibit atlet bulu tangkis tersebut.

Menurut KPAI, audisi Beasiswa Bulutangkis Djarum diduga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Mungkin karena pemberi beasiswa dari perusahaan rokok, sehingga KPAI patut merasa curiga jika nantinya calon-calon atlet muda ini akan dijadikan sebagai bahan kampanye ‘boleh merokok’ sejak usia dini. Entahlah, hanya Tuhan dan KPAI saja yang tahu maksudnya. Sebab nyatanya, bakat itu tak timbul sendiri, melainkan dicari.

Terlepas dari persoalan di atas, bakat, apapun bentuk dan jenisnya memang perlu dicari. Kalau perlu digali. Sebab sekali lagi, ia tidak muncul tiba-tiba layaknya hantu Casper.

Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya maka itu adalah utopia. Sayangnya utopia tidak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi, dan ia tidak secara otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus ditemukan.

Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau dirinya ditemukan, tapi lebih banyak lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak.

Menemukannya saja tanpa merawat, bakat tersebut bakal tidak berarti. Yang ada, perlahan akan mati sendiri, terkubur bersama mimpi.

Butuh proses Panjang dan memakan waktu. Jangankan mengasah bakat untuk hal yang bersifat positif, yang konotasinya negative seperti bakat jadi penjahat saja butuh proses. Inilah kenapa setiap orang membutuhkan pendidikan, apapun namanya.

Misalkan seseorang yang memiliki bakat jadi maling, pasti akan membutuhkan pendidikan permalingan agar menjadi maling yang progesional.

Seorang koruptor sebelum dirinya lihai menilap uang negara, juga pasti dahulu belajar dari kejadian-kejadian kecil di sekitar kita. Misalnya, menilap uang tabungan sekolah atau menilap uang arisan tetangga.

Pun demikian halnya seorang teroris. Dipikirnya menjadi teroris bisa dilakukan melalui kursus singkat atau hanya dengan bertapa sehari semalam lalu tiba-tiba menjelma menjadi sosok religi dan pandai merangkai bom dengan kabel saling cerentelan. Tidak semudah itu, semua butuh proses panjang.

Ideologi saja tidak cukup, jika tanpa diimbangi dengan skill bagaimana cara membuat bom atau cara menggunakan senjata. Ini sama halnya seperti orang yang gemar teriak jihad dan perang melawan Amerika, Israel atau negara-negara Barat, tapi saat ditanya soal jenis senjata atau bahan peledak untuk membuat bom saja tidak tahu sama sekali. Lah, terus mau perang pakai apa?

Tentu kita tidak boleh latah menyebut orang yang bertemu dengan teroris sekali saja lalu distigma bahwa dirinya memiliki paham yang sama. Tidak bisa, selama yang bersangkutan tidak melakukan hubungan secara intens atau membangun koneksi dengan jaringannya. Apalagi sampai mengarah pada tindakan teror.

Sebab pesannya sama, jadi teroris juga butuh proses.

Karenanya, keinginan untuk menjadi apapun itu, tidak akan pernah terwujud jika tanpa melalui proses panjang dan pendidikan yang matang. Inilah alasan banyak orang tua harus repot-repot mengasah bakat anaknya sejak masih seukuran biji kuaci.

 

FOTO EKA SETIAWAN

Komentar

Tulis Komentar