Buzzer Bising Bikin Pusing

Analisa

by Administrator

Istana mulai risih. Buzzer-buzzer media sosial yang kerap membela pemimpin yang didukungnya disebut mulai keterlaluan, merusak dan menimbulkan rasa kebencian. Istana mengatakan butuh dukungan positif bukan yang menghancurkan. Sikap Istana ini diambil setelah ramai di media sosial perihal buzzer Istana menyebar kabar bohong untuk mempengaruhi opini dan sikap publik.

Di dunia internasional buzzer banyak digunakan oleh pemerintah atau partai politik untuk memanipulasi opini publik melalui media sosial. Di luar sana buzzer disebut sebagai “cyber troops”. Yaitu, aktor pemerintah atau partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik melalui media sosial. (Bradshaw dan Howard 2017a).

Ada juga yang mengartikan buzzer sebagai individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan menarik perhatian dan membangun percakapan yang bergerak dengan motif tertentu.

Buzzer tak bergerak sembarangan, mereka membangun strategi lebih dulu, mengumpulkan alat dan teknik propaganda untuk memanipulasi. Di antaranya mereka akan membombardir ujarakan kebencian, menggertak, melecehkan target dengan akun robot terus menerus. Target mereka biasanya adalah lawan politik, jurnalis dan masyarakat luas.

Di sejumlah rezim otoriter banyak negara, propaganda media sosial telah digunakan sebagai alat kontrol informasi paling strategis. Pemerintah otoriter menugaskan buzzer untuk membentuk opini publik dan menyebarkan propaganda. Di waktu bersamaan pemerintah juga mengawasi, menyensor dan membatasi ruang media sosial.

Secara umum di seluruh dunia, buzzer digunakan untuk 3 hal; menekan hak asasi manusia, mendiskreditkan lawan politik, menghindari perbedaan politik.

Bahkan lebih dari 40 negara menggunakan propaganda media sosial dengan buzzer untuk membentuk opini masyarakat. Buzzer biasanya bekerja ­sama dengan organisasi masyarakat, kelompok peretas, influencer media sosial dan sukarelawan yang seideologi. Gerakan mereka sukar ditelusuri sebab secara sembunyi dan terang-terangan disetujui oleh pemerintah setempat.

Di Indonesia sendiri, penelitian Oxford pada 2019 menyebut buzzer digunakan oleh tokoh politik dan partai melalui jasa privat contractor. Metode penyebarannya menggunakan akun manusia dan robot.

Dalam berinteraksi dengan pengguna media sosial, buzzer menggunakan berbagai macam cara, antara lain:

  1. Menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai;

  2. Menyerang oposisi atau melancarkan kampanye kotor;

  3. Mengalihkan pembicaraan atau kritik isu-isu penting;

  4. Membuat polarisasi; dan

  5. Menyerang atau melecehkan pribadi lawan.


Dari lima metode kerja buzzer itu, yang terjadi di Indonesia menurut peneliti Oxford yaitu menyebarkan propaganda pro pemerintah atau pro partai, menyerang oposisi atau melancarkan kampanye kotor, dan melecehkan pribadi lawan.

Namun, bukan tak mungkin para buzzer di Indonesia kini juga sering mengalihkan pembicaraan atau kritik isu-isu penting dan membuat polarisasi. Bukankah para Pilpres 2019 telah terbukti ada polarisasi di masyarakat?

Dalam hal strategi komunikasi, kegiatan buzzer menggunakan berbagai macam cara, di antaranya adalah memanipulasi media dan disinformasi; melaporkan akun secara massal; strategi berbasis data; trolling, doxing atau pelecehan; memperkuat konten dan media sosial.

Di Indonesia, penelitian Oxford menyebut buzzer bekerja dengan memanipulasi data dan memperkuat konten media sosial. Namun beberapa kali juga terjadi doxing, pelecehan dan pengancaman kepada mereka yang berlawanan pandangan.

Berdasarkan kapasitas, buzzer dibagi dalam empat kelas, yaitu:

Pertama kelas minimal, yang baru dibentuk dengan minimal sumber daya dan hanya memiliki beberapa aplikasi dan platform media sosial. Mereka beroperasi hanya di dalam negeri.

Kedua kelas rendah, kelas ini melibatkan kelompok kecil yang biasanya aktif ketika pemilihan daerah atau pemilihan umum. Kapasitas tim rendah dan biasanya hanya menggunakan beberapa strategi dan robot untuk menyebar propaganda. Mereka hanya beroperasi di dalam negeri.

Ketiga kelas menengah yang melibatkan tim dengan susunan lebih konsisten dan strategi yang membayar staf untuk mengontrol informasi. Kelas ini berkoordinasi dengan sejumlah orang berpengalaman dengan sejumlah strategi dan platform untuk memanipulasi media sosial. Mereka juga beroperasi di luar negeri.

Keempat kelas atas yang melibatkan tim dalam bentuk besar dengan dana besar untuk perang psikologis dan informasi. Bahkan ada dana untuk penelitian dan pengembangan, serta menggunakan banyak teknik. Tim ini tak hanya bekerja saat kampanye pemilihan tapi terus terlibat untuk membentuk opini di media sosial.

Peneliti Oxford menggolongkan Indonesia dalam kelas minimal. Namun yang dirasakan saat ini, buzzer di Indonesia seperti sudah di kelas atas atau menengah. Sebab Pemilu telah usai tapi buzzer tetap bekerja seperti kala pemilihan berlangsung.

Selama tiga tahun terakhir, kegiatan buzzer di Indonesia disebut tak kurang menelan biaya antara Rp1juta hingga Rp50juta.

Di Indonesia, buzzer tak melulu digerakkan oleh uang, ada juga buzzer yang bergerak secara pribadi karena faktor ideologis. Ada tiga karakter yang wajib dimiliki buzzer:

  1. Memiliki jaringan luas (punya akses ke informasi kunci/ penting)

  2. Memiliki kemampuan produksi konten:mampu mengemas informasi, cakap menggunakan media sosial dan memiliki latar belakang jurnalistik.

  3. Persuasif (engaging)


Buzzer tak bergerak sendiri kecuali mereka yang didasarai ideologi. Bagi buzzer bayaran, ada agensi yang melakukan perekrutan. Agensi ini berperan penting mempertemukan permintaan dan penawaran, antara buzzer dan klien (korporasi/partai/tokoh politik).

Ada tiga macam perekrutan yang dilakukan untuk mendapatkan buzzer; Pertama melalui seleksi berjenjang, kedua pendekatan personal, dan ketiga membuka lowongan.

Ini artinya buzzer atau pendengung bayaran bergerak profesional. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menyenangkan kliennya. Mereka terstruktur, masif dan terorganisir. Memiliki metode, strategi dan sasaran yang jelas. Hal ini yang membedakan pendengung bayaran dengan pendengung ideologis. Buzzer atau pendengung bayaran lebih berbahaya.

Bila Istana saja sudah bising dengan dengungan para pendengung, lalu bagaimana dengan masyarakat? Dan jika terus dibiarkan, kelakuan para pendengung ini akan membuat bias informasi. Akibatnya masyarakat akan berada dalam kegamangan informasi. Masyarakat tak tahu lagi mana fakta mana disinformasi.

Fakta polarisasi yang terjadi pada masa pemilihan beberapa tahun terakhir harusnya sudah cukup sebagai bukti untuk menertibkan pendengung. Bila polarisasi semakin lebar, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan pecah, hanya gara-gara pendengung.

Namun, bagaimana pemerintah dapat menyelesaikan persoalan ini jika laporan peneliti Oxford valid bahwa pemerintah, partai dan politikus adalah klien para pendengung? Artinya pemerintah termasuk bagian dari masalah.

Maka benar saja apa yang disampaikan seorang kawan, “Media sosial kebanjiran sampah informasi dan kita harus pintar-pintar memilahnya”.

 

oleh: Lutfi Awaludin

(wartawan lepas)

*Sumber:

  1. Penelitian Oxford berjudul: The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.

  2. Peneilitian Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada 2017 berjudul DI BALIK FENOMENA BUZZER : Memahami Lanskap Industri dan Pengaruh Buzzer di Indonesia.


Sumber ilustrasi: Pixabay

 

Komentar

Tulis Komentar