Narapidana Kasus Narkoba vs Narapidana Kasus Terorisme (1)

Other

by Arif Budi Setyawan

Berdasarkan rilis dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pada Desember tahun 2018 total penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) di seluruh Indonesia sebanyak 256.273 orang. Dari jumlah itu, 63 persen adalah kasus narkoba. Adapun kasus kejahatan terorisme sebanyak 558 orang atau hanya 0,002 persen saja. Sisanya barulah narapidana kasus-kasus yang lain. (https://news.detik.com/berita/d-4365019/5-fakta-mengejutkan-lapas-di-indonesia)


Coba bandingkan jumlah narapidana kasus terorisme dengan kasus narkoba. Napi teroris itu hanya seujung rambut saja dibandingkan jumlah narapidana kasus narkoba. Tapi saya melihat perhatian pemerintah jauh lebih besar pada kasus terorisme. Padahal, bahayanya mungkin tak kalah besar dengan bahaya terorisme.


Mungkin ini hanya penilaian subyektif saya saja, tetapi izinkan saya menyampaikan opini saya sebagai orang yang pernah satu lapas dengan para narapidana kasus narkoba.


Di lapas saya bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang-orang kasus narkoba. Dari obrolan dengan mereka sambil ngopi atau sambil berjemur di lapangan, saya banyak mendengar kisah-kisah perjalanan hidup mereka sebagai kurir, pengedar, bandar, sampai yang hanya pemakai.


Dari merekalah saya jadi tahu bahwa dampak negatif narkoba itu tidak hanya terjadi pada otak para pemakai yang kecanduan, tetapi juga pada ekonomi, mental anak bangsa, dan penegakan hukum. Hal ini terutama semakin menjadi sejak mulainya era narkoba jenis sabu masuk ke Indonesia.


Mengapa sabu menjadi favorit atau primadona? Salah satunya karena bisa diecer dalam skala yang sangat kecil. Ada paket yang hanya seberat 0,125 gram, dan itu sudah bisa dipakai sampai empat kali dosis pemakaian.


Jadi, pemain di peredaran narkoba itu dari pengedar eceran yang jualan paket-paket kecil sampai yang suplier besar. Salah satu pemain besar yang pernah saya tanya tentang perkiraan omset jualan sabu di Indonesia itu menyebut angka bisa mencapai 10 ton per tahun.


Entah membual atau memang fakta saya tidak tahu. Tapi menilik pernah terungkapnya beberapa kali kasus pengiriman sabu dalam jumlah di atas 1 ton, angka 10 ton per tahun itu jadi cukup masuk akal.


Anggaplah hanya setengahnya saja yang benar, berarti ada 5 ton sabu yang beredar di Indonesia per tahun. Itu saya tanya pas di tahun 2016-2017. 5 ton= 5000 kg. Harga per kg rata-rata di tingkat pengedar Rp1miliar. Itu artinya ada Rp5triliun uang yang beredar di lingkaran narkoba jenis sabu. Belum yang jenis lain seperti ganja dan ekstasi yang juga banyak beredar.


Di tingkat end user, sabu itu bisa mencapai harga Rp1,5 juta per gram. Artinya, dalam setiap gram sabu bisa memberikan keuntungan bagi jaringan pengedar sampai Rp500ribu atau Rp500juta per kilogram. Jika dikalikan 5000 kg berarti ada Rp2,5Triliun keuntungan yang diperoleh dari bisnis narkoba. Keuntungan ini dinikmati sejak dari bandar besar sampai kurir dan pengecernya.


Dari sisi ekonomi, pekerjaan di bidang per-narkoba-an ini sangat menggiurkan. Untuk bisa mulai menjualkan sabu, seseorang tidak harus punya uang untuk kulakan dulu. Cukup berbekal rekomendasi kawan yang sudah jadi pemain, ia sudah bisa membawa paket yang bisa ia pasarkan. Apalagi jika ia bisa mendapatkan konsumen baru, bonus akan mengalir. Laku semua baru setor. Kalau tidak setor pasti akan ada tim penagih yang bisa lebih sadis dari debt collector.


(Bersambung)



ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar