Soal Penusukan Pak Wiranto, Kenapa Ada Nir Empati dari Warganet

Other

by Rosyid Nurul Hakiim

Kamis (10/10/2019) lalu, tragedi menimpa salah satu pejabat negara. Kejadian yang seharusnya dapat dihindari, mengingat kelas atau kaliber dari korbannya. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, harus ambruk dengan tusukan kunai dari Syahril Alamsyah alias Abu Rara.

Beruntung serangan itu dapat segera dihentikan. Sang Menteri segera dilarikan ke rumah sakit. Sedangkan Syahril dibekuk polisi, bersama dengan istrinya, Fitria Andriana.

Tidak berapa lama, kejadian tersebut menjadi perbincangan hangat di media sosial. Tidak sedikit warganet yang merasakan kejanggalan dari kejadian ini. Lalu buru-buru menyimpulkan sebagai rekayasa atau drama. Foto-foto hasil screenshoot dari rekaman video dengan lingkaran-lingkaran penjelas beredar. Seolah-olah menguangkap argumen rekayasa tersebut.

Soal warganet yang merasa bahwa sebuah serangan teroris adalah rekayasa atau konspirasi bukanlah hal yang baru. Justru yang membuat miris adalah komentar-komentar yang seakan bergembira dengan musibah yang menimpa pejabat negara itu. Sebagian bahkan menganggapnya sebagai guyonan.

Apakah memang warganet sudah sekesal itu dengan Sang Menteri? Atau memang media sosial memberi ruang untuk kita berbicara sesuka hati, tanpa harus memikirkan pandangan atau perasaan orang lain? Atau memang diam-diam kita memiliki karakter yang minus empati?

Untuk menjelaskan kondisi ini, kita bisa meminjam istilah yang dikembangkan oleh seorang Professor di bidang Psikologi dari Universitas Rider, John Suler. Dia menyebutnya online disinhibition effect (ODE). Dalam kajian psikologi, disinhibition adalah sebuah kondisi kehilangan kontrol yang tidak mengindahkan norma sosial dan takaran resiko, serta bersifat impulsif dan agresif. Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi kondisi kognitif saja, tetapi juga emosional dan motorik seseorang.

Sedangkan yang dimaksud oleh John Suler dengan ODE adalah sebuah kondisi saat seseorang kehilangan kontrol atas dirinya di dalam dunia online, sehingga dia tidak lagi mampu menakar resiko ataupun mengindahkan perasaan orang lain atau norma sosial yang ada. Lebih specific, kondisi ini biasa disebut toxic ODE. Seseorang bisa menjadi orang lain di dunia maya, dan bahkan menjadi lebih agresif.

Meskipun John Suler menuliskan teori toxic ODE di tahun 2004, namun, kondisinya masih cukup relevan dengan saat ini. Dia menjelaskan bahwa ada sekitar enam alasan kenapa seseorang bisa menjadi orang lain di dunia maya dan mampu bersikap agresif serta kasar.

Pertama soal identitas yang tertutupi. Tidak jarang kita menggunakan media sosial dengan identitas yang lain atau nama samaran. Hal ini kemudian memungkinkan seseorang untuk menjadi pribadi yang baru dan tidak terikat. Kedua soal kehadiran. Ketika seseorang berinteraksi di dunia maya, dia tidak sepenuhnya hadir dan melihat langsung lawan bicaranya. Ketika akan mengeluarkan kata-kata kasar, dia tidak menatap langsung orang yang menjadi targetnya.

Ketiga soal jalinan waktu. Interaksi di dunia maya bisa terjadi secara langsung. Namun, lebih banyak berada pada waktu yang berbeda. Sebuah post mendapatkan respon atau komentar di waktu yang tidak sama. Ada jeda disana. Sehingga memungkinkan untuk mendesain jawaban atau respon tanpa perlu berpikir reaksi tanggapannya secara langsung.

Keempat adalah soal medium. Interaksi di dunia maya yang berbasis teks memungkinkan seseorang mengintepretasikannya dengan imajinasi yang ada di kepalanya. Bukan pada intensi sesungguhnya dari pesan yang tersimpan pada teksctersebut. Hal inilah yang menjelaskan bahwa kita terkadang marah terhadap sebuah text sederhana, hanya karena teks itu dikirimkan oleh seseorang yang kita tidak suka. Bahkan sesederhana kata ‘terserah’ dapat menjadi multitafsir.

Kelima adalah soal pandangan dirinya terhadap dunia maya. Seseorang biasanya membuat persona untuk identitasnya di dunia maya. Bahkan ada yang menganggap bahwa dunia maya hanya sebagai permainan saja. Sehingga aturan-aturan umum di dunia nyata menjadi dikesampingkan. Keenam adalah soal strata. Dunia maya atau media sosial memberikan kebebasan pada penggunananya. Bahkan seseorang memiliki kesempatan dan level sosial yang sama. Seseorang bisa saja memiliki jabatan yang tinggi di dunia nyata, namun di dunia maya, orang tersebut memiliki posisi yang sama dengan anak yang baru saja masuk SMA.

Meskipun keenam kondisi ini mampu menjelaskan kenapa seseorang bisa menjadi nir empati di dunia maya, namun ada hal menarik untuk dibahas lebih jauh.

Soal anonimitas atau identitas yang tersamarkan. Pada kasus penusukan Menkopolhukam, Wiranto, beberapa orang justru menerima efek di dunia nyata dari komentarnya. Hal ini disebabkan karena orang-orang tersebut menggunakan nama aslinya di media sosial. Sebut saja kasus tiga orang istri tantara yang berujung pada pencopotan posisi ketentaran suaminya. Atau beberapa figur publik yang harus berurusan dengan polisi.

Yuk kita diskusikan soal ini di kolom komentar atau fasiltas Chat di Ruangobrol.

Komentar

Tulis Komentar