Kendala Internal Membina Mantan Jamaah Islamiyah Lampung (2-habis)

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Apakah para mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang telah melakukan islah akan tetap kompak dalam program pembinaan lanjutan setelah islah?

Sejauh pengalaman saya melakukan pendampingan kepada mereka, ada beberapa persoalan di internal mereka setelah islah di samping persoalan yang mereka hadapi dengan masyarakat sekitar. Persoalan internal ini menurut saya justru lebih sulit penyelesaiannya. Butuh waktu yang lebih lama dan butuh dukungan dari berbagai pihak.

Setidaknya ada tiga persoalan internal yang terjadi pada para mantan anggota JI yang telah melakukan islah itu, yaitu:

1. Ada sebagian yang menganggap keluar dari JI telah menghilangkan kebermaknaan diri, kemudian menutup diri, dan sulit move on.

Ini terjadi pada orang-orang yang memilih ikut JI karena pengaruh narasi kebermaknaan diri. Bahwa dengan bergabung dengan JI berarti menjadi bagian dari perjuangan membela Islam. Atau menjadi bagian dari kelompok yang sedikit namun memikul tugas berat yang dilupakan oleh mayoritas umat Islam hari ini.

Orang-orang yang punya anggapan seperti ini biasanya berasal dari kalangan menengah ke bawah dan tidak memiliki aktivitas bermakna lainnya. Sehingga ketika keluar dari JI, mereka jadi kehilangan semangat.

2. Dicemooh dan dicibir oleh yang belum lepas baiat

Ini sangat mengganggu bagi sebagian yang sudah islah, apalagi jika yang mencibir dan mencemooh ini termasuk yang berisiko tinggi untuk dilakukan tindakan penegakan hukum. Mau mengajak agar ikut program islah takut dianggap telah memihak musuh, tapi kalau tidak mengajak lalu terjadi penangkapan kepada yang bersangkutan juga merasa bersalah.

3. Menurunnya semangat karena tidak adanya pihak yang memegang komando setelah islah

Dulu ketika masih berada di dalam jamaah, setiap ada arahan atau kebijakan atau perintah dari pusat komando JI, semua anggota JI akan segera melaksanakannya dengan antusias. Karena itu merupakan konsekuensi dari baiat dan menganggap itu sebagai sebuah kebermaknaan diri yang berarti.

Tapi sekarang hal itu belum ada penggantinya di internal orang-orang yang sudah islah. Sehingga ketika ada gagasan-gagasan konstruktif dari sebagian yang sudah islah, perlu upaya ekstra untuk membuat semuanya mau melakukan gagasan tersebut bersama-sama.

Dari pengalaman kegiatan pendampingan sejauh ini, kami menemukan beberapa usulan solusi dari persoalan di atas.

Pertama, perlunya wadah baru sebagai sarana para mantan anggota JI menyalurkan energi dan militansi mereka dalam perjuangan untuk Islam dan umat Islam.

Menurut kami, dengan menyalurkan energi mereka untuk kepentingan yang lebih luas, akan memberikan sebuah kebermaknaan diri yang baru. Dan untuk melakukannya diperlukan sebuah wadah atau kendaraan baru setelah mereka meninggalkan yang lama.

Dalam hal ini kami memandang bergabung dengan salah satu ormas baik NU ataupun Muhammadiyah menjadi pilihan yang paling realistis. Kedua ormas tersebut memiliki infrastruktur yang lebih cari cukup untuk membina dan mengarahkan langkah teman-teman yang sudah islah itu. Tinggal dipikirkan bagaimana mekanismenya yang efektif dan didukung semua pihak.

Kedua, perlunya pemetaan potensi para mantan anggota JI.

Setelah menentukan wadah baru yang akan dipilih sebagai sarana melanjutkan perjuangan, selanjutnya yang harus dilakukan adalah memetakan potensi para mantan anggota JI. Ini dilakukan agar pembinaan bisa dilakukan dengan seefektif mungkin. Juga agar dalam “penyaluran energi” mereka nantinya bisa sesuai dengan kemampuan dan passion-nya.

Ketiga, perlu adanya lembaga negara yang menjamin berjalannya proses pembinaan.

Dalam proses pembinaan orang-orang yang terkait radikalisme-terorisme mutlak diperlukan kerja sama berbagai pihak. Namun pihak-pihak yang perlu dilibatkan pasti akan sangat berhati-hati dan cenderung mengedepankan paradigma “what if” atau “bagaimana jika”. Banyak pihak yang khawatir bagaimana jika salah mengambil kebijakan, atau bagaimana jika yang dibina malah memanfaatkan para pembinanya untuk kepentingan kelompoknya, dan seterusnya.

Paradigma seperti itu wajar mengingat begitu sensitifnya isu radikalisme-terorisme. Sehingga semua pihak yang terlibat dalam pembinaan para mantan anggota JI memerlukan lembaga penjamin. Yaitu lembaga negara yang memastikan proses pembinaan itu telah sesuai dengan kebijakan nasional.

Dalam hal ini untuk tingkat nasional seharusnya lembaga penjaminnya adalah BNPT. Namun untuk di tingkat daerah, berdasarkan pengalaman kami, semua aparatur daerah lebih nyaman bekerja bersama Densus Satgaswil setempat.

Keempat, perlu adanya aktor non-pemerintah yang mengawal proses pembinaan sekaligus menjadi fasilitator dalam mensinergikan antara lembaga-lembaga negara dengan obyek pembinaan.

Salah satu persoalan mendasar dalam pembinaan orang-orang yang terkait radikalisme-terorisme adalah keterbatasan SDM dan anggaran di sisi pemerintah, dan ketidakpercayaan dari obyek pembinaan kepada lembaga negara.

Kehadiran aktor non-pemerintah seperti kami (KPP) dan yang sejenisnya bisa menjadi “jembatan” antara kedua belah pihak. Kami bisa menerjemahkan keinginan dari kedua belah pihak menjadi sebuah program yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Bahkan kami bisa mendapatkan pendanaan program dari pihak ketiga (lembaga donor) jika program tersebut sesuai dengan visi dari lembaga donor tersebut.

Sejauh ini KPP telah mendapatkan pengakuan dari lembaga negara di tingkat provinsi Lampung terkait pembinaan mantan anggota JI yang mengikuti islah. Meskipun kerja-kerja kami masih berskala kecil dan bersifat rintisan, namun, kerja sama yang telah terjalin akan menjadi modal penting dalam program pembinaan selanjutnya.

Komentar

Tulis Komentar