Bagaimana kalau kita menghidupkan gerakan infaq rutin kita lagi tapi kali ini bukan untuk jamaah (JI), melainkan untuk pemberdayaan teman-teman yang sudah lepas baiat?”
Pernyataan itu disampaikan oleh Pak Safrudin, mantan anggota JI asal Pesawaran, Lampung, dalam obrolan santai kami di kediaman Pak Luqman, mantan anggota JI asal Metro, Lampung. Saya datang ke sana bersama Pak Safrudin dan menantunya, Mas Syahid Robbani dalam rangka silaturahmi sekaligus evaluasi dari kegiatan FGD yang diadakan Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) pada 20 September 2022 lalu.
Kami ingin mengetahui perkembangan terbaru, ide-ide atau masukan-masukan baru yang mungkin belum terpikirkan pada saat Focus Group Discussion (FGD), dan cerita-cerita seputar proses reintegrasi mereka sejauh ini. Saya pribadi meyakini, pasti ada banyak ide dan gagasan baru yang lahir dari mereka setelah FGD. Karena sebagai sesama mantan orang JI, saya tahu bahwa karakter khas anggota JI sejati adalah selalu berpikir untuk mencapai kemajuan bersama.
Awalnya rencananya saya akan datang ke Pesawaran dulu berdiskusi dengan teman-teman eks JI di sana baru ke Metro. Namun kemudian berubah karena Pak Safrudin tidak keberatan dan bahkan bersemangat untuk mendatangi saya. Maka kemudian diputuskan kalau diskusi akan dilakukan di rumah Pak Luqman saja, biar semakin mantap karena peserta diskusi semakin banyak.
Benar saja, diskusi kami siang itu berjalan sangat seru dan dinamis. Pak Luqman yang bersemangat dipadukan dengan Pak Safrudin yang berwibawa, diselingi celetukan kritis Mas Syahid Robbani, ditambah pertanyaan-pertanyaan yang menguatkan dari saya. Diskusi berjalan santai, dinamis, dan penuh keakraban.
“Kemarin itu sebenarnya peserta dari kami masih kurang banyak Mas Arif. Dari 171 orang yang diundang hanya 8 orang. Belum terwakili sebenarnya, karena kurang dari 10 persen itu”, begitu kata sambutan Pak Luqman begitu kami sudah duduk bersama di ruang tamu yang dindingnya dipenuhi buku-buku di rak.
“Ya sebenarnya penginnya kami mengundang lebih banyak lagi, tetapi karena keterbatasan kami baru bisa mengundang 8 perwakilan saja. Tapi setidaknya itu sudah membuka jalur silaturahmi untuk membuat kerja-kerja yang lebih baik lagi di masa depan. Yang penting kan bagaimana ke depannya pak,” ujar saya mencoba menjelaskan dan disambut tawa kami semua.
Jika dipikir-pikir kegiatan kecil yang berkelanjutan dan berdampak besar lebih baik daripada kegiatan skala besar tapi dampaknya kecil. Itulah yang coba dilakukan oleh KPP selama ini. Maka yang terpenting adalah apa yang bisa dikembangkan lagi dari kegiatan yang sudah pernah dilakukan. Itulah sebenarnya tujuan utama dari silaturahmi dan diskusi kami siang itu, yaitu mencari tahu apa yang bisa dilakukan selanjutnya setelah saling mengenal melalui acara FGD.
“Persoalan di kami itu banyak dan pasti butuh waktu untuk menyelesaikannya. Kami juga sadar kemampuan pemerintah juga terbatas. Maka, kami berusaha untuk menyelesaikannya dimulai dari apa yang mampu kami lakukan tanpa kehadiran pemerintah. Kalau kemudian ada pihak yang datang untuk membantu kami, tentunya kami akan sangat gembira. Artinya ada yang memperhatikan kami,” tutur Pak Safrudin dengan antusias.
“Kehadiran lembaga non pemerintah seperti KPP itu cukup membuat kami senang. Ada pihak lain di luar pemerintah yang peduli. Apalagi kemudian kami tahu, aktivis yang ditugaskan adalah orang yang memiliki semangat yang sama dengan kami, yaitu semangat pembuktian bahwa mantan anggota JI itu bisa berkarya untuk bangsa. Itu menginspirasi kami”, tambahnya lagi.
Pak Luqman kemudian menimpali, “persoalan pertama yang harus dibenahi menurut saya itu mental dulu. Banyak di antara kami ini yang perlu pencerahan. Mau ngapain setelah ikrar. Juga ada beberapa di antara kami yang trauma dan bingung”.
“Trauma dan bingung karena apa pak?,” tanya saya penasaran.
“Ini terjadi pada teman-teman yang tinggal di lingkungan JI di mana di situ ada DPO yang dicari. DPO nya memang tidak ada di situ, tapi itu justru yang membuat tidak nyaman. Adanya petugas surveillance yang terus memantau membuat khawatir bila sewaktu-waktu DPO itu pulang, dan teman yang sudah ikrar itu tidak melaporkan bisa dijadikan tersangka. Mau melaporkan kok ya sama tetangga sendiri dan pernah satu jamaah. Ini menjadi dilema lho bagi mereka,” jelasnya.
“Makanya, saya usul bagaimana kalau kita membuat acara mancing bersama di pantai atau refreshing bersama, terus kami undang Mas Arif untuk memberikan suntikan semangat gitu. Kami-kami ini kan jenuh juga kadang ya. Kayaknya memang perlu itu acara refreshing,” pungkasnya diiringi tawa kami.
“Nah, saya jadi kepikiran gini mas,” ujar Pak Safrudin sambil menggeser posisi duduknya dan wajahnya berubah jadi lebih serius.
“Bagaimana kalau kita menghidupkan gerakan infaq rutin kita lagi tapi kali ini bukan untuk jamaah (JI), melainkan untuk pemberdayaan teman-teman yang sudah lepas baiat? Misalnya, untuk menyantuni keluarga ikhwan yang di penjara dan sudah ikrar, menjadi modal koperasi, atau bila ada ikhwan yang membutuhkan bisa dipinjami dari situ, dan lain-lain. Termasuk bisa juga kegiatan pembinaan mental melalu acara refreshing itu. Saya kira potensi 171 orang yang sudah ikrar ini besar. Minimal bisa menjadi percontohan,”
Saya tertegun beberapa saat mendengar penuturan Pak Safrudin barusan. Bagi saya itu sebuah gagasan yang sangat brilian. Itu bisa membuktikan betapa para mantan anggota JI itu ingin berubah menjadi lebih baik dan berkarya dengan kendaraan yang baru. Bahkan mereka ingin membuktikan tanpa kehadiran pemerintah pun mereka tetap berusaha menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.
Melihat tekad dan kegigihan Pak Safrudin dan kawan-kawan ini, saya hanya bisa menjanjikan kepada mereka untuk menceritakan hal-hal baik pencapaian mereka melalui lisan dan tulisan. Hal-hal baik itu harus dikomunikasikan kepada masyarakat agar bisa berdampak lebih besar lagi. Bukan tidak mungkin, jika dikomunikasikan dengan baik, akan ada pihak-pihak lain yang tertarik untuk membantu teman-teman mantan anggota JI di Lampung ini. (*)
Komentar