Transisi Pemikiran Anti Rezim

Analisa

by Abdul Mughis

 

Nawaqidul Iman (Pembatal Iman), hanya saya hafalkan saja, tapi tidak sampai menjiwai sikap saya,” kata Umair Khaz.


***

Umair Khodimul Aziz atau lebih akrab disapa sebagai Umair Khaz, menunjukkan sosok aktivis muda progresif dan trengginas. Pemikirannya yang lugas, keras, sekaligus cerdas membuatnya ‘digadang-gadang’ menjadi sosok pemimpin masa depan.

Namun ustaz muda kelahiran Solo, 22 September 1991 yang saat ini didapuk menahkodai organisasi Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM) sebagai Ketua Umum periode 2021-2025 ini pun tak lepas dari kontroversi.

Ibarat buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Umair mengikuti jejak ayahnya, Muhammad Kalono, sang pendiri FKAM. Aktivitas organisasi berbasis masjid yang berpusat di Solo ini kerap memunculkan perdebatan panjang dalam dunia pergerakan aktivis Islam.

Jejak masa lalu FKAM sejak 1998 yang membawa ciri khas Islam ‘garis keras’ dengan sweeping kemaksiatan, hingga sekarang mengubah citra sebagai organisasi dakwah dan kemanusiaan pun tak lepas dari kontroversi.

Pasca berubah wajah, FKAM memiliki empat program yakni Lembaga Amil Zakat (LAZ) Baitul Mal, Search And Rescue (SAR), Dakwah dan Akademi Al-Quran. Namun justru gelagat perubahan wajah sebagaimana FKAM itu dicurigai oleh polisi sebagai taktik terselubung dengan jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI). Strategi ini dalam internal JI salah satunya dikenal sebagai metode Tamkin. FKAM pun santer dituding terafiliasi dengan JI.

Sebut saja salah satu contoh kasus penerapan Tamkin yang telah dibongkar oleh aparat penegak hukum, yakni Baitul Maal (BM) Abdurrahman bin Auf (ABA). Mereka mengumpulkan dana dengan cara menyebarkan kotak infaq di masjid, rumah makan, minimarket, hingga pusat-pusat perbelanjaan. Sebagian uang miliaran yang dikumpulkan digunakan untuk pembiayaan kegiatan terorisme jaringan JI.

Kalono sendiri tidak membantah kedekatannya dengan tokoh-tokoh JI di Solo Raya. Meskipun memiliki hubungan dekat dengan JI, dia menepis bahwa FKAM merupakan organisasi independen dan tidak ada sangkut-pautnya dengan gerakan JI. Tidak hanya JI, Kalono juga mengaku dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, bahkan dengan tokoh-tokoh partai.

Lantas mengapa putra-putra Kalono disekolahkan di Pondok Pesantren Darusy Syahadah Boyolali—yang selama ini dicap terafiliasi dengan JI?

Umair pun angkat bicara mengenai alasan mengapa ia masuk ke Pesantren Darusy Syahadah Boyolali. Setelah lulus dari SMP Al Islam Surakarta (2003 – 2006), ia mengaku diberikan beberapa pilihan sekolah oleh orang tuanya. Tersirat, dia ingin menjelaskan bahwa pilihan masuk Darusy Syahadah tersebut atas keinginannya sendiri, bukan dari orang tuanya.

“Nilai NEM (nilai ebtanas murni) saya waktu SMP Al Islam Surakarta  tinggi. Hampir seluruh pelajaran nilainya 100 semua,” kata Umair dalam wawancara di kantor FKAM Jalan Matoa Raya 1 Nomor 99, Karangasem, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, Senin, 26 September 2022.

Dengan berbekal NEM tinggi, Umair seharusnya berpotensi bisa memilik masuk ke sekolah favorit di Solo. Ia lantas disodori oleh orang tuanya beberapa pilihan sekolah, yakni SMAN 1 Surakarta, Ma’had Tahfidzul Qur’an Isykarima Magelang dan Darusy Syahadah Boyolali.

“Kalau masuk SMAN 1 Surakarta catatannya harus mengaji dinniyah biar bisa baca Al-Quran. Kalau mau masuk Isykarima bajunya di-laundry-kan dan belajar kehidupan, atau kalau masuk Pondok Pesantren Darusy Syahadah kamu belajar survive,” terang dia.

Umair justru terinspirasi oleh kakaknya, Aslam Asykarullah, anak pertama Kalono. Aslam terlebih dahulu menimba ilmu di Pondok Pesantren Darusy Syahadah Boyolali lulus 2008.

“Saya melihat kakak saya yang sudah terlebih dahulu masuk di Pondok Pesantren Darusy Syahadah. Waktu itu, kakak saya sakit tumor ganas, hampir diamputasi. Tapi dia bisa straggling di pondok dengan makanan sehat, tanpa penyedap rasa. Perban diganti oleh teman sendiri. Saya tertantang, sepertinya pondok pesantren ini jos (baik). Cuma itu saja (pertimbangannya),” terang lulusan SD Takmirul Islam Surakarta 1998–2003.

Umair menegaskan ulang bahwa tidak ada maksud dan tujuan lain selain terinspirasi oleh kakaknya. Ia kemudian masuk di Pondok Pesantren Darusy Syahadah 2006 dan lulus 2010. “Bagi saya, mondok itu ya sekolah saja,” ujarnya.

Namun dia menyadari bahwa saat menimba ilmu di Darusy Syahadah ia berada di lingkungan JI. Maka setiap ada pelajaran maupun materi di Darus Syahadah yang dianggapnya tidak penting, Umair mengaku memilih tidur.

“Misalnya Daurah, saya tidur. Saya tidak belajar buat yang begini-begini,” ungkap anak kedua dari empat bersaudara ini.

Daurah merupakan salah satu aktivitas mengumpulkan sejumlah santri yang relatif banyak di suatu tempat. Para santri kemudian diminta untuk mendengarkan ceramah, kajian, maupun mengupas tentang suatu masalah. Biasanya mengangkat isu tertentu berkaitan dengan Islam.

Umair juga tidak memungkiri, ada sejumlah temannya di Darusy Syahadah yang memutuskan untuk berangkat ke Suriah. Santri Darusy Syahadah tersebut lantas dikirim ke Suriah oleh JI.

Dia kemudian ditangkap dan sekarang sudah bebas murni. Saya yang ngopeni dan lapor ke BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme),” katanya.


Umair mengaku sempat berdiskusi dengan temannya yang berangkat ke Suriah karena dikirim oleh JI. “Dia sendiri mengaku merasa terzalimi oleh kelompok JI, karena merasa dibohongi. Katanya berangkat ke Suriah hanya untuk belajar, tapi setelah sampai di sana tidak bisa pulang. Maka dia justru memaki-maki (JI),” katanya.

Saat ditanya apakah pernah dibaiat JI? Umair tidak menjawab secara jelas; pernah atau tidak pernah. “Saya terus terang tidak tertarik. Makanya saya bilang, ketika di Darusy Syahadah ada daurah-daurah—yang ustaznya entah dari mana, saya selalu tidur,” katanya.

Karena sering tidur saat Daurah, Umair mengaku pernah dipanggil seorang ustaz senior. “Diomongi soal baiat. Kalau Antum berbaiat untuk kaum muslimin itu baiat sugra atau kubra? Saya tidak paham karena saya sering tidur. Tapi di kelas, saya selalu rangking satu terus,” katanya.

Dia mengaku saat di Darusy Sahadah tidak konsen belajar mengenai materi dari kitab-kitab yang disampaikan oleh ustaz. “Misalnya Nawaqidul Iman (Pembatal Iman), hanya saya hafalkan saja, tapi tidak sampai menjiwai sikap saya,” katanya.

Umair mengakui, bahwa Pondok Pesantren Darusy Sahadah tidak terlepas dari aktivitas JI.

Ya mungkin aktivitas (JI) itu ada. Tapi saya tidak tertarik dari dulu,” katanya.


Setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Darusy Syahadah, ia kemudian melanjutkan pendidikan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta pada Program Takmili 2012–2013 dan Program Syari’ah (setingkat S1) 2013–2016.

LIPIA merupakan cabang Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Saud di Riyadh, Arab Saudi. Institusi pendidikan asing pertama di Indonesia, yakni berdiri sejak 1980 bercorak wahabisme. Dia tidak menampik bahwa LIPIA cenderung menjadi kepanjangan tangan Wahabi.

“Tapi justru pemikiran saya terbuka di LIPIA, karena di LIPIA sangat kompleks. Saya bertemu dengan banyak orang dengan latar belakang berbeda-beda. Ada yang dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU). Semua ada di sana meski Wahabi,” katanya.

Ditanya apakah terasa ada “wahabisasi” di LIPIA? Secara kurikulum, Umair membenarkan; iya. “Tapi kalau dipaksa kamu harus jadi wahabi, tidak. Mahasiswa di situ murni belajar. Saya ini termasuk mahasiswa LIPIA yang berasal dari pondok “kanan”. Lulusan Darusy Syahadah yang memiliki gelar LC tidak banyak. Mungkin saya orang nomor tiga atau empat,” katanya.

Menurut Umair, output seseorang itu tergantung inputnya apa. Selama di Pondok Darusy Sahadah, misalnya belajar Fiqih, maka yang dia kenal adalah Fiqih Ulama Jihad. “Setelah saya di LIPIA, saya mengenal banyak sekali referensi. Ternyata Fiqih itu harus belajar Fiqih tempatan. Seperti halnya kalau hidup di Indonesia,” katanya.

Menurut dia, proses transisi pemikiran anti rezim atau anti pemerintah muncul saat melihat kezaliman-kezaliman. “Justru kalau di Darusy Sahadah, saya tidak melihat seperti itu. Hanya sekolah aja. Tetapi di Darusy Syahadah memang akrab dengan mustholah-mustholah, istilah Thoghut dan seterusnya. Buku-buku di perpustakaan pondok juga terbitan teman-teman (kelompok Islam ‘garis keras’) itu,” terang dia.

Selesai dari LIPIA, Umair juga menyelesaikan Magister Hukum di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) 2017–2019. Ia juga sempat mengikuti daurah di Jeddah, Makkah dan Madinah untuk memperdalam kitab Fiqh, Ushul Fiqh dan Maqosid.

“Saya justru mengkritisi di Pondok Pesantren Islam Al Mukmin Ngruki yang menggunakan Kitab Minhajul Muslim sebagai referensi Fiqh. Minhajul Muslim itu ilmu umum, tapi digunakan referensi Fiqh. Kalau mau serius mendalami ilmu syar’i seharusnya bukan Minhajul Muslim. Harus sistematis, urut dari awal atau dasar. Kita perlu mencontoh teman-teman NU,” katanya. (*)

Komentar

Tulis Komentar