Credible Voices Goes To International: Perjalanan

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Perjalanan ke Manila dimulai dengan mencetak lembaran dokumen yang diperlukan selama perjalanan. Di antaranya: tiket, itenary perjalanan, itenary kegiatan, sertifikat kesehatan kelayakan masuk Filipina, dan bukti pemesanan hotel.

Selanjutnya membuat janji ketemuan di bandara dengan sesama peserta workshop dari Indonesia. Ada dua orang yang saya hubungi, yaitu Mbak Erni dari Division for Applied Social Psychology Research (DASPR) dan Mas Rizki dari Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP). Saya bertemu dengan Mbak Erni terlebih dahulu sebelum antre di imigrasi. Sementara Mas Rizki mencari-cari saya setelah proses di imigrasi selesai. Terakhir, 30 menit sebelum boarding, Bu Mira dari Empatiku bergabung dengan kami.

Di imigrasi bandara Soekarno-Hatta relatif lancar tanpa masalah dan cukup singkat prosesnya. Saya menyodorkan semua dokumen perjalanan dan tak lama kemudian petugasnya menyerahkan paspor dan dokumen perjalanan saya seraya mengucapkan, “Selamat jalan pak, semoga perjalanannya menyenangkan”.

Pesawat take off dari Bandara Soekarno-Hatta tepat pukul 20.00 WIB. Dua jam kemudian pesawat mendarat di Bandara Changi Singapura. Di Changi seharusnya kami hanya transit selama dua jam, namun karena gangguan cuaca ditunda 2 jam 40 menit. Hampir 5 jam kami transit di Changi.

Selama transit di Changi tak banyak yang bisa dilakukan selain mencoba tidur, bergeser posisi ke titik lain karena bosan, atau mantengin orang yang lalu lalang. Mau jalan-jalan keliling lingkungan bandara juga malas karena badan sudah lelah.

Kedatangan kami di tempat workshop pun jadi molor 3 jam lebih. Yang seharusnya jam 6 pagi, kami sudah tiba hotel, jam 9.15 kami baru sampai hotel. Di imigrasi Bandara Ninoy Aquino International Airport ada sedikit interview dari petugasnya. Ditanya rencana kegiatan selama di Filipina, tinggal di mana, dan berapa lama di Filipina.

Untuk mempersingkat dan membantu menjelaskan, saya menyodorkan dokumen perjalanan yang saya siapkan. Lalu terakhir ditanya apa peran saya di workshop yang akan diikuti. Dengan percaya diri saya jawab, “I’m researcher and consultant in terrorism issues”. Mbak petugas itu kemudian mencap paspor lalu memberikannya ke saya seraya berkata, “Welcome to Filipina Sir, thank you”.

Bu Mira, Mbak Erni dan Mas Rizki sudah lolos lebih dulu dan menunggu saya. Sepertinya mereka khawatir saya tidak lolos dari imigrasi mengingat status saya yang mantan teroris. Ekspresi mereka tampak lega begitu melihat saya lolos dari imigrasi.

Begitu keluar dari terminal kedatangan, driver yang ditugaskan menjemput kami sudah menunggu dengan mobil van premiumnya. Tanpa banyak membuang waktu langsung meluncur keluar bandara yang langsung disambut kemacetan. Soal macet Manila boleh diadu dengan Jakarta. Tapi menurut saya Manila sedikit lebih baik dari Jakarta, karena jalan-jalan utama di Manila tak selebar jalan-jalan di Jakarta.

Sepanjang jalan saya sangat tertarik dengan mobil angkutan umum khas Filipina, yaitu jeepney. Yang unik dari jeepney adalah model body-nya yang berbeda-beda meskipun dasarnya tetap jeep, tergantung selera pemiliknya dalam memodifikasi. Warnanya pun tidak seragam seperti angkot di Jakarta yang memiliki warna yang sama untuk sebuah rute atau berasal dari perusahaan yang sama. Jadi, penumpang harus benar-benar jeli membaca kode jeepney yang menunjukkan rutenya.

Satu jam kemudian atau tepatnya pukul 9.15 sampailah kami di hotel. Proses check in memakan waktu sekira 15 menit. Dan kami langsung menuju restoran untuk sarapan, karena restoran akan tutup jam 10 pagi.

Yang agak merepotkan di restoran hotel adalah tidak adanya pengelompokan makanan, mana yang halal dan mana yang tidak. Maklum, muslim di Manila minoritas. Jadi kami pilih yang pasti-pasti saja. Nasi, telur rebus, sushi, buah-buahan, sayur rebus, dan kentang panggang.

Setelah itu baru kami ke kamar untuk mandi dan relaksasi sebentar. Kami sepakat baru akan bergabung di workshop pada saat sesi morning tea jam 11. (*)

Komentar

Tulis Komentar