Cerita Sopir Mobil Rental yang Tinggal di Lingkungan Pendukung ISIS

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Selama kurang lebih empat hari menjadi local fasilitator bagi kegiatan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (PSKP UGM) di daerah Paciran Lamongan dan sekitarnya, ada banyak cerita yang saya dapatkan dari orang-orang lokal. Baik yang saya temui ketika kegiatan PSKP berlangsung maupun di luar kegiatan.

Salah satu yang menarik adalah cerita sopir mobil rental yang kami sewa untuk menjemput tim PSKP UGM ke Surabaya. Dalam perjalanan ke Surabaya, Mas Adit, begitu dia memperkenalkan diri, bercerita banyak soal dinamika pendukung ISIS sejak awal kemunculannya hingga saat ini. Dia menceritakan berdasarkan pengamatan dan interaksinya dengan para pendukung ISIS. Kebetulan dia tinggal di lingkungan yang terdapat banyak pendukung ISIS.

Mas Adit jadi bersemangat bercerita setelah saya jelaskan sekilas tentang kegiatan PSKP UGM dan setelah mengetahui status saya yang merupakan mantan narapidana teroris (napiter).




Saya itu sempat pernah ikut ngaji kelompoknya Pak Zainal Anshori. Kira-kira bertahan 2 bulan. Saya keluar karena lama-lama materinya kok aneh. Mengajak untuk membenci pemerintah,” begitu kata Mas Adit mengawali ceritanya.

Zainal Anshori yang dia sebut merupakan mantan Amir (ketua) Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang kini masih mendekam di penjara dengan vonis 7 tahun.

“Saya dulu tidak tahu kalau kelompoknya Pak Zainal Anshori itu pendukung ISIS. Yang saya tahu mereka ini dulunya ngaji ke ustaz-ustaz dari Pesantren Al Ikhlas Sedayulawas. Kemudian belakangan punya kelompok pengajian sendiri yang diasuh oleh ustaz Siswanto dan Zainal Anshori. Bahkan sampai punya musala dan TPA sendiri yang hanya dipakai oleh kelompok itu. Nah, ketika ramai berita tentang ISIS kemudian ada banyak jamaah ngajinya Pak Zainal Anshori yang pergi ke Suriah. Baru saya tahu ternyata mereka ini pendukung ISIS”, lanjut Mas Adit sambil terus berkosentrasi mengemudikan mobil.

Mendengar hal itu, saya penasaran. Saya pun kemudian bertanya,“Bagaimana reaksi masyarakat setelah tahu kelompok Zainal Anshori adalah pendukung ISIS atau anggota JAD, terutama setelah adanya penangkapan beberapa anggota JAD di wilayah sini mas?”

“Masyarakat di sini itu cuek mas. Biasa saja. Karena di daerah Blimbing dan sekitarnya ini merupakan kawasan desa terpadat se-Jawa Timur atau mungkin malah se-Indonesia. Masyarakatnya cukup terbiasa dengan adanya perbedaan. Bahkan--maaf--ada banyak perempuan yang jual diri pun diperlakukan sama sebagai warga. Maksudnya, tidak ada pengucilan atau sanksi sosial lainnya. Cuma, biasanya justru keluarga orang pergi ke Suriah atau yang ditangkap polisi itu yang menutup diri. Namun itu hanya di awal-awal saja. Mungkin mereka malu gitu ya. Sekarang sudah biasa,”

Cerita ini terhenti sejenak karena di depan kami tiba-tiba ada sepeda motor yang keluar dari gang tanpa melihat kendaraan di belakangnya. Sehingga memaksa Mas Adit untuk mengerem mendadak.




Sekarang di lingkungan kami malah banyak orang tua yang mengajikan anak-anaknya di musala kelompok itu mas. Ada juga yang meminta les privat,” sambungnya lagi setelah kendaraan kembali melaju dengan tenang. Saya kaget dong.

“ Lho kok bisa mas? Apa nggak takut anak-anaknya terpapar ajaran yang menurut sampean aneh itu?”, tanya saya spontan.

“Nggak lah mas. Sekarang mereka murni ngajar ngaji Al Qur’an seperti kebanyakan TPA pada umumnya. Kalau dulu sih iya mas, sebelum Pak Zainal Anshori tertangkap, ada ajaran kepada murid-murid TPA seperti misalnya tidak boleh hormat bendera. Begitu orangtuanya tahu, dilarang ngaji ke TPA kelompok itu lagi,” jelasnya.

Saya kemudian kembali bertanya.




Menurut sampean, kenapa ajaran yang menurut sampean aneh itu bisa mendapatkan banyak pengikut di sini?”

“Kalau itu menurut saya, karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di sini. Karena saya pernah sempat ikut, jadi saya tahu bahwa mayoritas masyarakat sini yang ikut kelompok itu dan loyal sampai sekarang merupakan orang-orang dengan pendidikan rendah, setingkat SD dan SMP. Kalau ada yang pendidikan di atas itu biasanya orang pendatang. Nah, yang jadi guru ngaji itu tadi yang pendatang ini mas,” jawabnya.

Penjelasan Mas Adit benar-benar menggelitik jiwa peneliti saya. Bagi saya, pertanyaan yang perlu dijawab melalu penelitian lanjutan adalah: bagaimana para anggota JAD atau pendukung ISIS bisa hidup berdampingan dengan masyarakat? Ini harus ditanyakan kepada kedua kubu dan mengambil beberapa sampel.

“Kalau sampean penasaran dan barangkali mau melakukan penelitian terkait kelompok itu di daerah sini, saya siap membantu. Simpan saja nomor HP saya, biar mudah kalau mau menghubungi”, pungkas Mas Adit seakan tahu apa yang saya pikirkan.

Setelah itu dia gantian menginterogasi saya soal bagaimana ceritanya saya dulu bisa jadi teroris. Cerita saya tentu saja panjang dan lebar. Tidak terasa, kami telah tiba di Kota Surabaya dan obrolan itu harus kami akhiri. (*)

Komentar

Tulis Komentar