Lebih Dekat dengan Dhania: ‘Hidup di Bawah Sayap Malaikat’

Interview

by Abdul Mughis

Kehidupan di sana dalam harapan saya perfect gitu. Persis banget seperti zaman nabi.


Sosok perempuan muda itu akrab disapa Dhania. Sejak belia, pemilik nama lengkap Nurshadrina Khairadhania itu memiliki pengalaman unik—yang barangkali tidak pernah atau jarang dialami oleh remaja lain. Hal itu justru menjadi pengalaman berharga yang bisa bermanfaat bagi banyak orang.

Pada 2015 silam, ia bersama keluarganya sempat memiliki perjalanan hidup akibat terpengaruh propaganda gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dari media sosial (medsos). Kala itu, ia berusia 16 tahun, sempat memutuskan untuk hijrah dan berjihad menjalankan hidup di Suriah di bawah kekhalifahan ISIS selama dua tahun lebih.

Titik baliknya pada 2017, Dhania bersama keluarganya mendapat jalan keluar menjadi returnees. Ia kembali ke tanah air untuk menjalani aktivitas hingga sekarang. Saat ini, Dhania menjadi salah satu kontributor utama di ruangobrol.id. Ia aktif menulis tentang isu perdamaian, toleransi, narasi kontra-terorisme atau kekerasan, hingga refleksi pengalaman pribadinya.

Tidak hanya itu, Dhania juga mengembangkan kreativitas usaha mandiri aneka makanan ringan seperti macaroni, schootel, frozen food, keripik dan lain-lain, dengan memanfaatkan market place dan media sosial.

Nurshadrina Khaira Dhania. (dokumen pribadi)

Kali ini, yuk, ngobrol lebih dekat dengan Dhania.

Bisa cerita kehidupan kamu sewaktu SMA seperti apa?

SMA, ya seperti anak-anak kebiasaan sih. Ya sibuk, belajar. Kalau kata anak-anak zaman dulu istilahnya Butani, buta nilai. Ambisius banget sama nilai gitu. Pokoknya pengin nilai tinggi, kayak gitu.

Sewaktu SMA, tidak terlalu aktif organisasi, tidak seperti waktu SMP. Karena memang saat SMA tuh agak mulai berubah. Udah mulai berpikir memperbaiki diri lah, tanda kutip. Mulai banyak belajar, baca-baca sejarah nabi, baca-baca soal Islam lewat internet.

Sifat yang agak kekanak-kanakan sebagaimana waktu SMP itu udah agak mulai berubah saat SMA. Walau pun, kadang, SMA pun sewaktu kelas 1 juga suka ramai sendiri. Agak ngeselin juga sih.

Mulai kelas 2 SMA, kayak kerjanya belajar, belajar, belajar aja. Seperti tidak ada tempat favorit selain meja belajar.

Bagaimana kamu mulai ingin tahu tentang Islam?


Sejak SMP, mau ke jenjang SMA. Waktu itu, saya pernah melihat postingan teman di facebook. Saya lihat dia bersama teman-temannya mengenakan pakaian panjang. Kok terkesan cantik dan anggun. Aku sendiri waktu itu sudah pakai kerudung sih. Cuma masih kadang-kadang kerudung pendek. Masih ada unsur disuruh juga. Dibilang atas keinginan sendiri karena melihat mereka di media sosial.

Di media sosial ada orang re-share artikel-artikel. Yaudah, aku coba baca artikel tersebut. Oh, soal perempuan, soal sedekah, soal pakaian. Masih sebatas itu saja. Mulai tergerak untuk baca buku sejarah nabi. Baik berupa komik atau buku tebal.

Karena merasa kok aku tidak tahu kisah hidup nabiku sendiri dan para sahabatnya, seperti itu.

Mengapa Dhania belajar agama melalui media sosial atau internet technology?


Karena waktu itu, aku setiap hari belajar di depan laptop (terhubung internet). Apa-apa yaudah di depan laptop. Bahkan interaksi dengan keluarga pun juga kurang. Bunda sibuk dengan adik. Ayah sibuk kerja. Kakak juga sibuk sekolah. Jadi ya, masing-masing.

Momen interaksi dengan keluarga terbilang sangat sedikit. Sehingga larinya ke media sosial, bisa bertemu teman online, ya kan. Melihat postingan teman-teman atau orang-orang lain yang membuat aku terinspirasi, seperti itu.

Internet memberi ruang informasi sangat luas. Banyak bermunculan platform baru. Jadi memang peran medsos itu luas banget. Sehingga, berperan banget dalam proses perubahan diri seseorang.

Setelah mendapatkan informasi dari internet, perubahan diri Dhania sendiri seperti apa?


Kelas 2 SMA, istilahnya lagi kencang-kencang bermain medsos. Saat itu, 2014, ada berita tentang kekhilafahan. Karena cukup viral, ramai di internet dan media sosial. Di sisi lain, sebelumnya memang dikasih tahu oleh salah satu kerabat.

Sebelumnya aku sudah baca kisah hidup Nabi Muhammad dan para sahabat-sahabatnya. Bahwa kehidupan di sana penuh keadilan, kesejahteraan, ditambah saat itu memang aku melihat kehidupan di sini tuh…

Setiap hari melihat berita TV, beberapa macam masyarakat yang diperlakukan tidak adil secara hukum, gitu. Bukan hanya karena kurang mampu dan dia melakukan tindakan pencurian, tetapi ada yang lebih parah lagi. Ya seperti koruptor. Aku melihatnya seperti itu. Kasian kan saya melihatnya.

Keluarga saya sendiri, secara perekonomian, pendidikan, alhamdulillah baik. Melihat orang yang kurang beruntung diperlakukan tidak adil gitu kan kasian. Sedangkan kok yang lebih parah (seperti koruptor) malah hukumnya tidak tegas, seperti itu. Terus kehadiran kelompok ini di Timur Tengah sana mengakunya khilafah zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Saya okelah, Dhania aktif di media sosial. Tapi kurang kritis dan juga kurang tabayyun, gitu kan.

Karena saat itu benar-benar sendiri. Tabayyunnya pun dengan cara bertanya-nya kepada orang yang lewat di media sosial juga, kaya gitu. Berita apa pun yang di sebarkan mereka melalui internet atau media sosial ya aku percaya-percaya saja.

Ya, apalagi yang mereka sampaikan menggunakan dalil-dalil. Hingga saat ini pun Dhania masih belum paham banget soal agama. Ya kan masih sedikit ilmunya, sehingga ketika mereka menyampaikan itu dengan dalil ya aku percaya. Aku ngerasa gak mungkin dong mereka berdusta, seperti itu.

Bagaimana saat itu memutuskan untuk berangkat ke Suriah?


Sebenarnya waktu itu, ayah, bunda sudah ngasih warning gitu kan. Ngasih tahu, gitu. Ada argumen. Tapi ya balik lagi. Interaksi kami kurang dekat, kurang baik karena sibuk dengan urusan masing-masing. Saya lebih percaya dan lebih lama berinteraksi di media sosial. Jadi ketika orang tua memberikan argumennya ya saya enggak mau dengerin.

Saya melihat mereka tidak paham juga soal agama. Jadi, saya lebih mempercayai mereka. Memang, perjalanannya pun cukup kompleks dan panjang sih, sampai akhirnya Dhania dan keluarga bisa berangkat ke sana.

Apa yang membuat Dhania yakin tetap berangkat?


Ya, kelompok itu memang cukup kencang berkampanye di internet. Terutama di media sosial. Banyak banget berita, anak-anak muda seumuran aku waktu itu, 16-17, yang berangkat sendiri ke sana.

Mereka suka mengirim video, foto dan artikel-artikel. Di sisi lain, mereka menunjukkan beberapa orang-orang dari Eropa, Amerika, Australia yang sudah berhijrah berangkat ke sana (Suriah).

Mereka membuat medsos dan membagikan pengalamannya. Jadi, istilahnya testimoni sendiri. Karena kan testimoni biasanya lebih kita percaya, gitu. Puncaknya ketika di akhir 2014, sempat viral berita anak-anak muda asal London. Mereka bertiga doang ke sana. Itu yang mendorong Dhania gitu. Ih, mereka aja yang umur 1 tahun atau lebih muda dari aku udah ke sana. Aku kapan, kayak gitu. Aku merasa, kayaknya ini mereka benar-benar seperti zamannya para nabi. Terlebih narasi-narasi yang mereka sampaikan.

Ditambah lagi kampanye atau testimoni dari orang-orang yang sudah ke sana. Bahwa ini bumi Syam yang diberkahi, gitu kan. Terus orang yang berangkat ke sana atau yang berhijrah gitu akan mendapat pahala berupa surga. Jadi, istilahnya ya surga dunia dan akhirat kita bakal dapat, kayak gitu.

Tontonan video apa saja yang diperlihatkan?


Biasanya kondisi kehidupan di sana. Wah, ada lembaga-lembaga pengadilan. Terus ada gambar, shoot anak-anak kecil di sana yang hidup berbahagia. Bahwa, wah ini benar-benar ya menegakkan keadilan, seperti itulah, kayak gitu.

Gambaran tentang kekhalifahan di sana seperti apa?


Lebih ke kehidupan masyarakat di sana, sih. Anak-anak dapat sekolah gratis. Pokoknya mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan rumah sakit, kemudian setiap kaum muslimin berkumpul di sana bersama, gitu. Kemudian, apa lagi ya. Ya pokoknya kayak terkesan ya enak begitulah. Seperti kehidupan pada zaman nabi dan sahabatnya. Dulu pikiran aku begitu.

Di Indonesia, Dhania tinggal di Batam dalam kondisi memiliki ‘previlage” yang baik. Mengapa masih tetap ingin berangkat ke Suriah?


Memang, secara perekonomian, pendidikan, keluarga saya tidak ada masalah atau baik. Tapi di dalam hati merasa “hidup kok gitu-gitu aja”. Sibuk belajar, pulang, belajar lagi, makan, udah. Terus diulang. Rutinitas kok gini-gini aja. Ada rasa kebosanan gitu. Mulai muncul kegalauan.

Seperti hidup tidak menemukan sesuatu. The meaning of life nya enggak dapet gitu kesannya. Aku merasa seperti itu. Melihat kondisi masyarakat di sini seperti itu, kok kasihan melihatnya. Yang kurang beruntung kadang malah diperlakukan kurang baik. Kondisi ini bertolak belakangan dengan berita-berita yang menggambarkan kondisi di Suriah. Saya merasa klik gitu melihat gambaran kehidupan di sana.

Pas nih, the next life gitu. Kehidupan membangun. Bukan membangun hidup. Ditambah lagi testimoni yang menunjukkan bahwa orang-orang cerdas pun datang, dari Canada hingga Eropa. Orang-orang yang ber-privilage baik pun juga banyak tuh mereka yang berangkat ke sana. Kehidupan yang diberkahi, hidup di bawah naungan sayap-sayap malaikat. Pahalanya dua kali, kita mendapatkan pahala dunia dan akhirat. Seperti itu sih.

Perjalanan dari Batam menuju ke Suriah seperti apa?


Awalnya pengin berangkat sendiri. Karena terinspirasi dari remaja-remaja di Eropa itu. Tetapi akhirnya menyadari secara ekonomi belum sanggup. Belum mengerti soal visa dan sebagainya. Udah enggak fokus ke pendidikan. Fokusnya pengin berangkat ke sana. Bahkan nilai sekolah sudah drop. Waktu itu sempat kabur dari rumah.

Saat itu, pengin agar orang tua mau mendengarkan keresahan aku, gitu. Biar aku bisa cepet keluar dan segera berangkat. Akhirnya orang tua mendengarkan. Bahkan orang tua bersedia untuk ikut karena demi menjaga anaknya. Jadi ya akhirnya berangkat bareng-bareng dari Jakarta bersama beberapa keluarga besar. Keluarga besar pun punya niat dan latar belakang yang berbeda-beda. Ya, berangkat bareng-bareng. Tapi ada yang sampai, ada yang dikembalikan ke Indonesia.

Sesampai di sana apa yang kamu temukan?


Awalnya seneng gitu. Karena apa yang diinginkan bisa terwujud seperti itu. Kami bertemu dengan beberapa warga negara berbeda, beberapa orang dari Eropa, Arab, dari Amerika. Warga dari berbagai negara berkumpul di situ. Ternyata niat mereka berbeda juga. Latar belakang berbeda dan juga kebiasaan behaviour (perilaku) mereka berbeda-beda. Kami waktu itu di asrama dulu beberapa hari.

BACA JUGASyarafina Nailah: Bolehkah Saya Sewa Rumah? ‘Boleh, Kecuali Teroris’

Apa yang kamu rasakan hidup di sana?


Ya, bisa dibilang biasa aja ternyata. Ya ada jadwal masak, ada beres-beres, mungkin tambahan ada isi air. Karena ternyata di sana kesulitan mencari air bersih gitu. Jadi harus beberapa hari sekali nampung air. Makanya saya sempat kena sakit pinggang.

Ketika tinggal di asrama. Saya merasa kok kayak gini ya. Kok kurang bersih ya. Seharusnya mereka menjunjung tinggi nilai itu karena kebersihan sebagian dari iman. Bahkan perlakuan beberapa perempuan kok kasar, seperti itu. Ya kurang mencerminkan ajaran Islam.

Walau pun saya sendiri pun belum tentu benar, ya. Hanya saja, ekspektasi saya tuh udah tinggi banget. Kehidupan di sana dalam harapan saya hampir dibilang perfect gitu. Pokoknya gambarnya persis banget seperti zaman nabi.

Hingga pada suatu ketika kami menemukan banyak hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Setelah bisa kontak dengan beberapa saudara di Indonesia, kami menceritakan hal-hal yang kami temukan. Kami saling berdiskusi. Ternyata itu harusnya tidak sesuai. Beberapa saudara juga pernah menyampaikan ke pihak berwenang atau pemerintah di sana. Tapi ya tidak didengar. Banyak hal yang menurut kami aturan-aturan di sana berlebihan.

*) Wawancara ini dilakukan oleh Ani Ema Susanti saat pembuatan salah satu film dokumenter yang diproduksi oleh PT Kreasi Prasasti Perdamaian. 

Komentar

Tulis Komentar