Maizidah (1): Jejak ‘Merah’ Agensi Pekerja Migran Indonesia

Interview

by Abdul Mughis

Maizidah bermaksud melepaskan diri dari eksploitasi oleh agensi, lantas dia kabur. Tetapi malah justru dia ditangkap polisi karena dianggap menjadi TKI ilegal.


Maizidah Salas terpaksa menyimpan memori kelam yang dialami sejak remaja hingga sekarang. Terlahir di keluarga miskin di Wonosobo Jawa Tengah, ia harus berjuang menaklukkan kerasnya kehidupan.

Di usia 16 tahun, dia menjadi korban kekerasan seksual. Hal itu membuat tekanan hidup semakin berat. Mau tidak mau, mengadu nasib sebagai pekerja migran di luar negeri adalah pilihan terbaik kala itu.

Namun pilihan itu ternyata membuatnya terperangkap eksploitasi agensi Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

“1999 saya berangkat bekerja di Korea,” ungkapnya saat diwawancarai ruangobrol.id dan ruangmigran.id, pada pertengahan Maret 2022.

Berbagai bentuk ketidakadilan dirasakan mulai dari proses pendaftaran hingga saat bekerja di Korea. “Selama 18 bulan, hanya bekerja kurang lebih 8 bulanan. Padahal 14 bulan gaji dipotong. ketika itu terjadi krisis global melanda dunia, perusahaan tempat kami bekerja kolabs,” katanya.

Akhirnya, dia diliburkan berbulan-bulan dan tidak pernah dapat uang. Sempat pindah ke perusahaan lain.

“Tapi perusahaan tersebut kolabs lagi, sehingga akhirnya saya  dipulangkan. Agensinya menyerah, tidak bisa mencarikan jobs order lagi,” ujarnya.

Saat hendak dipulangkan, Maizidah kabur menjadi TKI ilegal di Korea Selatan. “Belum genap satu bulan bekerja, saya ditangkap polisi hingga akhirnya ditahan dan dideportasi. Selama 14 hari menjadi tahanan imigrasi,” katanya.

Pada Oktober 1999, akhirnya pulang ke Indonesia. Satu tahun di rumah, Maizidah bingung karena ekonomi semakin terpuruk. Hutang semakin menumpuk. Anaknya masih kecil dan tidak punya penghasilan. Kesulitan mencari kerja karena ijazah hanya SMP.

“Bingung mau kerja apa, akhirnya pamit ke orang tua untuk berangkat kerja di Taiwan. Padahal uang hutang yang untuk berangkat ke Korea belum tercicil sama sekali. Akhirnya orang tua menjual tanah pekarangan untuk biaya ke Taiwan,” katanya.

Celakanya, dia malah ditipu oleh teman TKI saat di penampungan di daerah Rawa Mangun Jakarta Timur. Teman TKI tersebut mengaku hendak bekerja di Amerika seminggu lagi berangkat dan uangnya kurang.

“Dia pinjam uang saya, katanya nanti setelah sampai Amerika, gaji satu bulan pertama akan ditransfer ke saya. Dia malah menghilang. Kok bodoh sekali ya saya,” ungkapnya mengenang.

Akhirnya, dia tetap memutuskan untuk berangkat dengan memilih sektor pembantu rumah tangga (PRT).

“Saya merasakan betul sengsaranya saat di penampungan. Pelecehan seksual saat menjalani tes medical. Semua pakaian kecuali celana dalam harus dilepas. Semua TKW diminta masuk bareng-bareng di suatu ruangan. Kurang lebih 20 orang TKW diraba-raba semua. Petugas medical cek upnya dua orang laki-laki semua,” ungkapnya.

Fasilitas tidur tidak layak. Semua calon wanita pekerja migran itu tidur di ubin tanpa tikar dan bantal. “Kurang lebih 180-an orang di satu ruangan. Makan tidak layak, telur dadar satu dipotong-potong dibagi delapan. Kalau telat masuk pendidikan, dihukum disuruh lari, tidak boleh keluar,” katanya.

Di penampungan juga disuruh bekerja untuk melayani bos agensi. Membersihkan kamar mandi, mencuci, dan semua pekerjaan rumah di situ.

Di penampungan itu sengsaranya minta ampun. Saya tiga bulan. Tapi ada teman lain yang enam bulan, sembilan bulan, bahkan ada yang 1 tahun tidak dibayar,” ungkap dia.


Dia disuruh menandatangani kontrak dengan tulisan tangan yang tidak jelas. “Saya sendiri tidak tahu isinya apa. Tas digeledah, tidak boleh bawa handphone, kosmetik, pakaian seksi, rambut dipangkas pendek, dan lain-lain. Dokumen dimasukin map tidak boleh dibuka,” katanya.

Sesampai di Taiwan, Maizidah masih juga diminta ikut training di kantor agensi. Di sana, dia kembali disuruh bekerja tanpa digaji. “Diminta bersih-bersih kantor, cuci mobil dan seterusnya selama tiga hari,” ujarnya.

Setelah itu, dia diantar ke rumah majikan yakni pengusaha restoran masakan babi. “Rumahnya besar, tiga lantai. Satu keluarga ada delapan orang. Di situ, saya diminta kerja dari pukul 04.00 hingga pukul 01.00, nonstop. Semua pekerjaan diminta ikut terlibat. Mulai dari mencuci baju, masak, hingga membantu jualan di restoran,”.

Setiap pukul 23.00 baru pulang. Sesampai di rumah, diminta mencuci dan menyetrika baju hingga pukul 01.00. “Tidak bolah sholat, tidak boleh keluar, tidak boleh membawa handphone, tidak boleh menerima gaji dan tidak boleh libur,” katanya.

Kurang lebih empat bulan, kemudian dia dijemput oleh agensi untuk dipindahkan ke majikan kedua. Alasannya kinerja tidak baik. “Nah, di majikan kedua ini orangnya sangat baik. Rumahnya berlantai tiga. Hanya tinggal berdua, karena tidak punya anak,” katanya.

Bahkan Maizidah tidak diperbolehkan ikut memasak, karena majikan perempuan suka memasak. “Tugasnya hanya menjaga rumah dan merawat anjing peliharaan yang lucu-lucu. Ada tiga anjing. Majikan sering kerja di luar. Baru kerja satu minggu, majikan ini membelikan baju, celana, jam tangan, handphone plus kartunya. Udah enak banget,” katanya.

Tapi baru tiga bulan, agensi datang menjemput Maizidah dan mau dipulangkan ke Indonesia. Alasannya, pengurusan Tenaga Kerja Asing (TKA) tidak bisa dilakukan apabila belum pulang ke Indonesia.

“Waktu itu, juga masih dalam kondisi gaji dipotong. Saya juga masih terlilit utang,” ungkapnya.

Saat perjalanan dari rumah majikan ke kantor agensi, Maizidah kembali menjadi korban pelecehan seksual.

“Saya berontak, dipukulin, baju ditarik, kepala dijedotin ke jendela mobil, diludahi dan kata-kata kasar keluar semua,” katanya.

Dalam hati, dia tetap ingin melawan apabila mendapat perlakuan kasar. “Saat hendak dibawa ke bandara, saya berontak, teriak dan mengancam akan melapor polisi. Rupanya mereka ketakutan. Akhirnya saya dibawa lagi ke kantor agensi,” katanya.

BACA JUGA: Segera Hadir Aplikasi RUMI, Ruang Kreativitas Pekerja Migran di Singapura

Saat itulah, Maizidah kabur dan kembali menjadi TKI ilegal. “Ternyata keputusan saya melarikan diri itu juga bukan keputusan yang tepat. Nasib saya justru lebih buruk bahkan berkali-kali menjadi pelecehan seksual, berkali-kali kerja tidak dibayar,” ujar dia.

Saat itu, gaji PRT di Taiwan, kurang lebih Rp 4 jutaan. Potongan gaji berlangsung selama 10 bulan. “Rata-rata, selama 10 bulan pertama hanya sisa Rp 500 ribu. Itu habis untuk biaya hidup. Jadi, selama 10 bulan pertama itu belum mendapatkan uang sepeser pun,” katanya.

BACA JUGA: Membongkar Praktik Perbudakan ABK Kapal melalui Film Before You Eat

Lagi-lagi, Maizidah tertangkap polisi karena menjadi TKI ilegal. Akhirnya ia selama 16 hari ditahan di penjara bawah tanah. (bersambung)

Komentar

Tulis Komentar