Kisah Pilu Para ‘Pelaut’ di Ujung Maut

Interview

by Abdul Mughis

Kami tidak paham bahasa mereka. Mereka tidak paham bahasa kami. Karena salah paham, kami terlibat baku hantam,”


Dari kampung Jonjang, Desa Merbuh, Kecamatan Singorojo, Kendal, Jawa Tengah, Ardi Ardika, bermodal nekat untuk ikut kerja di kapal asing pada 2019 silam. Tekadnya bulat mengingat ia telah lama frustrasi lantaran belasan lamaran pekerjaan ditolak.

Satu-satunya lamaran yang diterima adalah bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) pencari ikan di kapal asing. Hari itu, dia was-was dan diliputi keraguan. Tapi dia berusaha menepis.

“15 kali lamaran ditolak. Akhirnya modal nekat, saya berangkat untuk ikut kapal asing,” ungkapnya usai acara diskusi pemutaran Film dokumenter perbudakan ABK berjudul ‘Before You Eat’ di gedung eks kantor Lembaga Pendamping Usaha Buruh Tani dan Nelayan (LPUBTN) Jalan Taman Srigunting, Kota Lama Semarang, Senin (21/3/2022) malam.

Saat itu, gaji 300 US dollar per bulan adalah tawaran nilai yang cukup besar bagi Ardi yang belum memiliki pengalaman kerja. Pemuda lulusan SMK YPPM Boja Kendal itu berpikir, ini diperlukan tekad. Alih-alih mengumpulkan modal usaha di darat kelak.

Tapi ternyata kerja di kapal itu susah. Kami disuruh kerja keras, tenaga diperas hampir 24 jam, makan tidak layak,” katanya.


Hari demi hari, dia hanya bisa memandang lautan lepas di sebuah kapal berbendera Cina. Tidak tahu arah, ke mana akan berlabuh. “Ada 26 orang di atas kapal. Mereka berasal dari berbagai negara, yakni Indonesia, Myanmar, Filipina dan Cina,” terangnya.

Setiap hari, aktivitasnya memancing dan menjaring ikan dipantau oleh kapten kapal melalui CCTV. Begitu terlihat istirahat, kapten kapal marah-marah. Belum lagi, persoalan dengan sesama ABK.

“Kami tidak paham bahasa mereka. Mereka tidak paham bahasa kami. Karena salah paham, kami terlibat baku hantam. Mau tidak mau kami harus pelajari apa maunya, prinsipnya jangan sampai kami ditindas,” katanya.

Ardi semakin merasa sengsara. Saat itu, gaji para ABK rata-rata Rp 300 US dollar per bulan atau kurang lebih Rp 4,3 jutaan. Nilai itu dipotong oleh perusahaan penyalur selama enam bulan.

Kami hanya menerima gaji 50 US dollar (kurang lebih Rp 700 ribu). Dalam kontrak, tidak boleh pulang selama dua tahun,” katanya.


Selepas enam bulan, gaji yang diterima senilai 250 dollar. Namun prosesnya ditransfer ke rekening keluarga di rumah tiga bulan sekali. Itu pun baru ditransfer satu kali. Transfer berikutnya menunggu delapan bulan. Sedangkan di atas kapal setiap bulan hanya mendapatkan 50 dollar.

“Kondisinya sangat menyedihkan. Makan berebut nasi, kalau tidak kebagian ya tidak makan,” katanya.

Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia mengatakan, praktik perbudakan di atas kapal asing ini sangat memprihatinkan. Para ABK ini mendapatkan berbagai perlakuan tidak manusiawi.

“Mulai tindak kekerasan, dipaksa kerja tanpa istirahat, makan tidak layak, dipukul, ditombak, dan seterusnya, laporan yang masuk ke kami seperti itu,” katanya.

Bahkan ada ABK yang hilang di laut karena tidak mampu menahan derita di atas kapal. Kemudian dia melompat ke laut membawa pelampung. “Tapi dia dilaporkan bunuh diri,” katanya.

BACA JUGA: Membongkar Praktik Perbudakan ABK Kapal melalui Film Before You Eat

Ada juga ABK yang dipindahkan ke kapal lain di tengah laut. Hal melanggar aturan. “Para ABK tidak punya akses komunikasi, tidak mendapatkan layanan kesehatan, tidak mendapatkan perlindungan. Bahkan banyak ABK meninggal, jenazahnya dilarung di laut lepas tanpa persetujuan keluarga,” katanya.

Berbagai kondisi yang dialami ABK Indonesia itu diungkap melalui film dokumenter ‘Before You Eat’yang diproduksi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan didukung oleh Greenpeace Indonesia. (*)

Komentar

Tulis Komentar