Ketika Kawanan Teroris Tidak Mampu Beli Bahan Peledak dan Senjata

Analisa

by Kharis Hadirin

Tanpa modal uang, sebuah aksi terorisme tidak akan pernah bisa berjalan.


Kita semua sepakat, bahwa aksi teror yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari paham ideologi agama tertentu. Jika ada pihak yang berusaha menolak pendapat ini, bisa dipastikan itu hanya sebatas cari aman saja. Namun pernah tidak kita terpikirkan bahwa kejahatan terorisme sesungguhnya tidak akan pernah bisa berjalan optimal jika tanpa ada dukungan modal uang!

Sederhananya, tanpa dukungan dana maka aksi terorisme tidak akan pernah bisa berjalan mulus. Ujung-ujungnya, gembar-gembor aksi teror hanya akan berakhir sebatas wacana seperti yang sudah-sudah.

Lalu mengapa perihal modal atau dana ini menjadi faktor krusial dalam aksi teror?

Fathali Moghaddam, seorang psikolog dari Universitas Georgetown, Amerika Serikat dan berdarah Iran, pernah menulis satu buku berjudul “The Staircase to Terrorism”. Buku ini, ia tulis sebagai hasil dari penelitiannya terutama pasca serangan 9/11 yang menyebabkan hampir tiga ribu warga Amerika tewas.

Dalam buku tersebut, Fathali menjelaskan bahwa ada enam tahapan seseorang sampai ia berkomitmen untuk melakukan aksi teror.

Pertama, diawali dengan perasaan marah dan frustrasi terhadap ketidakadilan. Jika persepsi dan perasaan yang sama terus berlanjut, maka orang akan naik ke tangga kedua, yakni mulai untuk mencari solusi dengan melakukan perubahan. Ketiga, mengalihkan agresi dengan mengembangkan pikiran “kami dan mereka”. Dengan kata lain, pada tahap ini individu mulai memilah mana lawan dan mana kawan.

Di tangga keempat, orang mulai terikat secara moral dengan bergabung bersama kelompok teror. Juga terjadi penguatan pola pikir kategoris (categorical thinking) dan legitimasi terhadap kelompok. Tangga kelima, yakni mengikuti persiapan-persiapan aksi termasuk pelatihan fisik dan militer. Sementara fase keenam atau terakhir, seorang individu berada pada puncak keyakinan untuk melakukan aksi teror (Mughoddam, 2005).

Dari enam tahapan versi Fathali tersebut, barangkali dia lupa menyebut peranan bagaimana dana menjadi hal penting.


Secara sederhana, mari kita lihat pada beberapa kasus teror yang terjadi di Indonesia. Pada 2018, beberapa simpatisan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) asal Banten pernah diketahui akan melakukan aksi amaliyah dengan menargetkan para pekerja tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok di kawasan Pandeglang.

Kelompok ISIS asal Banten ini pun bahkan sudah melakukan survey lapangan. Seperti mengikuti jadwal kerja, aktivitas harian, hingga mengetahui titik lokasi yang menjadi tempat tinggal atau shelter para TKA asal Tiongkok ini. Tujuan dari survey ini, nantinya akan memungkinkan bagi mereka untuk melakukan penyerangan secara langsung.

Mengapa TKA asal Tiongkok menjadi target dari serangan? Sebab, mereka dianggap sebagai bagian dari pemerintah Tiongkok yang notabene berideologi komunis. Selain juga dikait-kaitkan dengan sentimen isu Uighur.

Beruntung, rencana aksi amaliyah ini tidak sampai terjadi. Bahkan para pelaku akhirnya ditangkap oleh Densus 88 pada pertengahan 2018 lalu. Usat punya usut, wacana aksi teror ini batal terjadi karena para pelaku yang umumnya hanya buruh dan wiraswasta ini tidak memiliki modal sama sekali untuk membeli bahan peledak dan peralatan senjata.

Atau duo siska, dua perempuan yang tertangkap dalam kasus kerusuhan di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok pada Mei 2018 silam. Keduanya diketahui hendak melakukan penyerangan ke petugas kepolisian hanya dengan modal gunting.

Nah, kedua kasus di atas berbeda cerita dengan apa yang terjadi pada aksi bom bunuh diri di 3 gereja di Surabaya yang melibatkan satu keluarga. Peristiwa ini terjadi tidak lama setelah kasus duo Siska di Rutan Mako Brimob.

BACA JUGA: Tren Pendanaan Terorisme di Indonesia

Meski sama-sama melakukan aksi teror, namun dampak yang terjadi jelas terasa berbeda. Apa yang dilakukan oleh duo Siska tidak menimbulkan kerugian sama sekali ke pihak petugas, bahkan mereka berdua harus menanggung akibat dari perbuatannya. Sementara yang terjadi di Surabaya, menimbulkan banyak korban jiwa. Faktor pembedanya, selain persiapan yang matang, juga ditopang dengan pendanaan yang cukup.

Oleh karena itu, dengan melihat beberapa contoh kasus di atas, tentu kita bisa menarik satu kesimpulan, bahwa ideologi teror hanya bisa berjalan jika didukung oleh fasilitas, terutama dana yang kuat. Tanpa itu, maka semua narasi yang ada hanya akan menjadi wacana dan sebatas angin lalu. (*)

Komentar

Tulis Komentar