Wartoyo Undercover (Part 1): Preman Tobat hingga Terperangkap Jaringan  Al-Qaeda

Interview

by Abdul Mughis 2

Pria berdarah dingin itu bernama Wartoyo. Pemuda kampung yang malang-melintang di dunia gengster ibu kota, jaringan narkoba, hingga masuk jaringan terorisme.


Sekilas tidak tampak wajah garang ketika menjumpai sosok lelaki bernama Wartoyo alias Abu Syamil. Penampilan lugu dan sederhana layaknya pemuda kampung pada umumnya. Namun di balik kesederhanaan, pria kelahiran Kota Tegal Jawa  Tengah 1977 itu menyimpan ‘darah dingin’ yang misterius.

Sejak kecil, ia ditempa dalam lingkungan kehidupan yang keras. Terbiasa menempuh perjalanan hidup dalam situasi pelik, malang melintang dalam dunia premanisme, jaringan narkoba, hingga hingga jaringan terorisme.

Celakanya, perjalanan spiritualitas itu pun tidak sertamerta mulus. Tanpa disadari, ia bahkan terperangkap dalam jaringan Islam garis keras yang terafiliasi Al-Qaeda. Puncaknya, pada pertengahan Juni 2011 silam, Wartoyo menjadi salah satu orang yang terlibat aksi terorisme bersama rekan-rekannya.

Mereka berencana menyebarkan racun Sianida dengan sasaran kantin-kantin di kantor polisi. Baik di wilayah Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Tengah. Jaringan teroris itu menganggap bahwa polisi adalah golongan “thogut’ yang harus dibunuh. Beruntung, aksi tersebut digagalkan oleh Densus 88 Anti Teror.

Wartoyo bersama teman-temannya ditangkap saat berencana meracuni anggota polisi di Polsek Kemayoran Jakarta. Akibatnya, Wartoyo mendekam di balik jeruji besi atas vonis empat tahun penjara.

Saat ini, Wartoyo bersyukur masih diberi kesempatan untuk memulai hidup baru secara normal di tengah masyarakat. Mengenang masa lalunya, dia mengakui memang cenderung ‘nakal’ sejak belia.

Masa Kecil

“Waktu saya kecil, saya jauh dari orang tua. Hidup dan besar bersama kakek dan nenek saya (almarhum). Ketika Kelas 4 SD pun saya sudah mulai nakal, sudah berani merokok.  Kelas 5 meningkat udah berani minum-minuman. Dulu di sini namanya minum ciu (salah satu minuman keras lokal),” ungkapnya saat diwawancarai ruangobrol.id, belum lama ini.

Begitu pun saat menginjak kelas 6 SD, kenakalan semakin meningkat. “Kelas 1 SMP, selain rajin minum (mabuk), rajin berantem, berkelahi, sering ditangkap polsek setempat hingga (polisi) bosen. Bahkan tetangga sebelah pun trauma melihat saya,” katanya.

Bahkan hingga sekarang pun, warga di sekitar tempat tinggalnya masih trauma ketika melihat Wartoyo pulang kampung. Warga bertanya-tanya “wah ada apa?” “Wah ada masalah apa ini?”. “Tapi setelah saya jelaskan Insya Allah selamat,” katanya.

Ketika kelas 2 SMP, Wartoyo mulai mengenal kehidupan terminal. Jaringan pertemanannya mulai banyak di kalangan pekerja di terminal.  “Mulai nyalo-nyalo bus. Ketika di kelas 3 SMP, saya bertemu dengan para pelaku kejahatan, ada yang copet, perampok dan seterusnya. Kehidupan di Tegal pada saat era tahun 80-90-an itu memang cukup keras. Siapa yang berani tampil di situlah dia pemenangnya,” terangnya.

“Tampil” yang dimaksud adalah berani. Intinya jangan menindas orang, tapi kalau ditindas jangan mereka dikasih kesempatan yang kedua kali. “Kita harus sikat semua, saat itu berpikir seperti itu,” imbuh dia.

Wartoyo sempat masuk di Sekolah Teknik Menengah (STM) Yayasan Perguruan Teknologi (YPT) Kota Tegal, mengambil jurusan mekanik umum dengan jurusan tambahan otomotif. Namun demikian, Wartoyo terlibat keributan antar warga desa karena dendam lama.

Saya pukul, saya bacok, pada tahun 1991-1992, saya melarikan diri ke Lampung,” katanya.


Dia pun drop out  dari STM dan menjadi “buronan”, baik warga maupun polisi. “Alhamdulillah, saya nggak sempet ketangkep. Saya mulai jarang ketemu orang tua, jarang ketemu saudara. Ketika di Lampung, saya kontak orang tua. Katanya sudah aman karena diberitakan saya sudah tewas,”

Usia Wartoyo saat itu 17-18 tahun, selanjutnya ia memutuskan untuk berangkat ke Jakarta. “Kalau bahasa Tegalnya itu “melipir” melalui pinggiran. Saya diperintahkan sama ibu untuk kerja di pabrik roti di wilayah Depok, kurang lebih pada tahun 1992-1993,” katanya.

Dunia Premanisme

Saat di Depok, Wartoyo pun tidak terlepas dengan dunia premanisme. Dia pernah dipalak oleh preman saat sedang makan pecel lele. Ia ditodong pisau dan dimintai uang Rp 300, waktu itu. Merasa sebagai orang yang telah terbiasa dengan kehidupan terminal, Wartoyo pun naik pitam.

“Piring saya dibanting, saya ambil pisau, saya bacok. Dalam hati, saya ini orang Tegal, nggak akan mundur karena kehidupan saya yang sudah seperti ini, sudah terbiasa hidup dengan luka dan darah seperti ini,” ungkapnya.

Di Jakarta, pada 1994, Wartoyo bertemu dengan sekelompok orang yang juga dekat dengan dunia kriminalitas. Ia kenal dengan seseorang bernama Bogel, dia kepala genk atau preman di salah satu wilayah di Jakarta.

Saya kenal dengan bos-bos narkoba. Di situlah saya jualan obat-obatan terlarang. Saya kenal diskotik dari Mas Bogel ini,”


Tepatnya, di daerah Glodok Jakarta Barat. Wartoyo mengaku sempat terlibat dengan kelompok “Genk Ambon”. “Kalau susah diatur, baku hantam. Kelompok kami memang kerjanya dibayar untuk melakukan itu,” katanya.

Luluh karena Cinta

Setelah lama berkecimpung dalam dunia hitam, hati Wartoyo ternyata mulai luluh saat mengenal seorang perempuan yang kelak menjadi istrinya. Wartoyo yang berdarah dingin dan sering baku hantam di dunia premanisme ibu kota itu tercengang ketika disebut “kamu bukan laki-laki” oleh perempuan itu.

“Iya, kamu bukan jiwa laki-laki. Kamu berjiwa preman!,” ucap Wartoyo menirukan perkataan perempuan tersebut.

“Kamu jauh-jauh dari Tegal ke Jakarta cuma melakukan seperti ini, kamu jangan jadi laki-laki. Percuma kalau kamu nggak mau nurut sama orang tua. Kalau saya dari sana (kampung) ke sini (Jakarta) cari nafkah, saya cari uang untuk kedua orang tua saya. Tapi kalau kamu cuma cari kesenangan sendiri, hati-hati kamu nanti,” ungkap Wartoyo menirukan lagi ucapan perempuan itu.

Wartoyo sempat naik pitam dan tersinggung atas perkataan perempuan tersebut. Bahkan ia hendak memukul perempuan tersebut. Aksi tersebut dicegah oleh anak buah Wartoyo. “Anak buah saya bilang ‘kamu jangan mukul wanita’,” katanya.

Dia kemudian menanyakan kepada perempuan itu mengenai apa maksud dan tujuan perkataan tersebut. “Perempuan itu menjelaskan; ‘saya kasihan kamu, kasihan orang tuamu,’. Dari situ lah, saya mulai berpikir. Saya mau sampai kapan berada di dunia hitam seperti ini,”

Wartoyo mulai berpikir bahkan ibunya selama ini merasa telah bosan mendapati surat penangkapan Wartoyo, pulang ke rumah kerap dalam kondisi tangan banyak darah.


“Tahun 2000-an itulah, setelah selesai kerja di diskotik di Gajah Mada Plasa itu, seperti pernah saya berjanji sama ibu bahwa suatu saat saya dapat jodoh saya bawa, nah saya bawa lah orang (perempuan) ini,” katanya.

Pada 19 Februari 2001, Wartoyo menikahi perempuan warga Desa Pandansari Kecamatan Paguyangan Brebes itu. Kurang lebih setelah satu tahun menikah, Wartoyo mulai tobat dari kenakalan dan perbuatan di dunia hitam.

“Sebelum saya tobat, saya mau cari pekerjaan dulu. Prinsip saya apa pun pekerjaannya yang penting halal. Saya pengin cuci tangan. Dari baju sampai celana jangan dari uang seperti itu. Karena saya (waktu itu) ya sudah janji sama calon mertua dan sama calon istri saya,” katanya.

Titik Awal Tobat

Perjalanan hidup Wartoyo mulai berubah. Di saat kondisi batin membutuhkan ‘pencerahan rohani’ seperti itu, dia bertemu seseorang Betawi yang dianggap cukup paham mengenai pengetahuan agama. Keduanya sering terlibat obrolan dan diskusi.

“Kalau saya tobat, syarat-syaratnya apa saja? Beliau mengatakan bersihkan diri,” katanya.

Pada 2002, Wartoyo mulai belajar salat meski sebetulnya dia sendiri sewaktu kecil tinggal bersama kakeknya yang juga sebagai kiai di kampung.

“Ya, orang Betawi ini sering membandingkan (soal cara ibadah) kelompok masyarakat. Ternyata yang dibandingkan adalah apa yang dilakukan orang muslim sebagaimana dilakukan oleh masyarakat NU dengan kelompok mereka. Kok tidak sama. Mereka mengedepankan pendapatnya, bahwa itu paling benar,” terang dia.

Begitu pun Wartoyo yang mengaku berlatar belakang NU mempertahankan pendapatnya bahwa cara ibadah NU benar. “Dari situ, saya mulai berpikir apa sih maunya mereka. Dikasih lah sebuah buku kemudian saya baca. Akhirnya berlanjut, saya ngaji tarfsir Al-Quran,” katanya.

Ketika itu ada kejadian Bom Bali. “Saya mulai bertanya-tanya mengenai Islam seperti apa sih? Kok ada bombardir segala. Meski demikian, saya tidak berpikir terlalu berlebihan,” imbuh dia.

Bertemu Abu Bakar Ba’asyir

Tahun 2004, Wartoyo mulai intensif memperdalam ilmu agama Islam. Dia sempat bertemu dengan Ustaz Abu Bakar Ba'asyir di Bekasi. “Kalau beliau ngaji, saya rasa bagus ya terus.  Saya juga pernah ngaji sama Ustaz Aman Abdurrahman. Menurut para peneliti di sini, beliau itu Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Tapi menurut saya itu biasa saja,” katanya.

Menurut dia, selama pernah bertemu langsung pada 2006-2007, Ustaz Aman Abdurrahman tidak pernah menyampaikan ajaran “mengkafirkan orang”. “Beliau enggak pernah mengajarkan seperti itu dari dulu setahu saya. Tokoh ISIS dulu enggak seperti orang-orang sekarang, baru bertemu aja belum-belum sudah bisa mengkafirkan orang,” katanya.

Pada 2007-2008, situasi mulai memanas, ada kasus Aceh dan lain-lain. Ustaz Abu Bakar Ba'asyir dan Ustaz Aman Abdurrahman tertangkap. “Di antara kami mengatakan ‘teman sesama mukmin itu bersaudara, oke lah kamu jangan enak-enak di rumah. Ayo lah kita besuk (menjenguk). Akhirnya, kami sepakat kumpulkan duit. Kami besuk mulai Bom Bali 1, kami bantu ikut besuk beliau,” ujarnya.

Dari situ, lanjut dia, mulai ada sentilan dari temen-teman Wartoyo. “Kalian enak makan tidur sama istri, sama anak-anak, harus kalian bales. Di antara kami ini, 7 orang ini kelompok saya. Ya udah, kalau gitu kapan mau berbuat?” ungkapnya.

Wartoyo mengiyakan, hal itu berkaitan harga diri sebagai seorang laki-laki. Terlebih sesama mukmin adalah bersaudara. Tapi mengapa tidak berbuat apa-apa.


“Kesalahan saya, saat itu saya ikut aja. Padahal biasanya, kalau mau berbuat suatu pemikiran (pertimbangan) saya matang. Bahkan ketika saya ikut pun, istri nggak pernah tahu. Dia tahunya, saya kerja dapat uang, saya kasih uang tiap hari. Waktu itu saya kerja di toko sparepart mobil terbesar di Asia Tenggara di Kemayoran. Gajinya sebenarnya sudah lumayan,” katanya.

Tidak Paham Afiliasinya Apa

Rencana terorisme itu dibentuk melalui halaqah (rapat) dulu, siapa yang dipilih saat itu adalah Ustaz Anam. Dia adalah seorang ahli IT yang di depan. “Rapat di kontrakan saya, kemudian kami memilih meracun polisi,” ungkapnya.

BACA JUGA: Tren Pendanaan Terorisme di Indonesia

Saat ditanya mengenai afiliasi kelompok ini termasuk dalam jaringan ISIS atau apa? Wartoyo mengaku saat itu tidak memahami atau mengetahui peta jaringan tersebut seperti apa. “Saat itu belum tahu, tapi setelah melihat dari rentetan-rentetan (peristiwa), kami itu Jamaah Islamiyah,” beber dia,

“Iya, tidak paham. Setelah dipenjara, oh jadi selama ini, kami afiliasinya Al-Qaeda. Berarti Jamaah Islamiyah. Saya sendiri dapat perintahnya bikin senjata, karena saya ahli senjata.  Otak-atik senjata apa saja,” ungkap dia. (bersambung)

Komentar

Tulis Komentar