Antara Baper dan Ejakulasi Dini

Analisa

by Munir Kartono

Pagi ini, Senin 31 Januari 2022, saya membaca sebuah buku yang tersaji di perpustakaan yang ada di Omah Betakan, Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah rumah komunitas yang dibangun oleh ruangobrol.id, tempat asyik untuk berkumpul, berdiskusi dan menuangkan berbagai ide kreatif tentang fenomena yang terjadi di masyarakat.

Sebuah buku kecil berwarna hitam berukuran A5 sempat menggoda saya untuk membacanya. Saya pun mengambilnya. Dan setelah membaca judulnya, lalu saya pun membuka halaman daftar isinya. Memang menarik! Sebuah buku yang sempat viral di dekade lalu buah pikiran seorang profesor dari Harvard university yang bernama Samuel F. Huntington, "The Clash of Civilizations".

Buku-buku yang tersaji di sana, kebanyakan memang koleksi seorang Noor Huda Ismail, akademisi, peneliti sekaligus salah seorang yang kini saya anggap guru. Namun, ketertarikan saya pada buku hitam milik Pak Huda (biasa saya memanggilnya), tiba-tiba sirna saat di ujung mata sebuah buku berwarna hitam dengan ukuran lebih besar menyentil pupil dan merayu saya untuk menyentuhnya. Al Wala' Wal Bara' judulnya.

Seketika senyum sinis tersungging di bibir saya dan batin saya mengumpat, "Ada juga buku ini di sini!" Saya jadi senyum-senyum sendiri mengingat kejadian yang terjadi hampir 6 tahun lalu sesaat setelah saya ditangkap oleh Detasemen Khusus 88 Anti-Teror Mabes Polri. Saya dulu juga memiliki buku serupa. Dan kini buku tersebut menjadi salah satu buku yang raib pascapenggeledahan itu di rumah saya. "Dibawa oleh polisi," kata istri saya.

Sejak kecil saya memang sudah akrab dengan buku. Baik komik Tatang S. maupun Fujiko Fujio, baik itu buku-buku umum atau buku agama. Pun buku-buku yang bernafaskan kanan ataupun kiri. Buku-buku itu dulu turut menyesaki rumah kecil saya yang sudah berantakan.

Bagi saya buku tidak pernah punya dosa ataupun membuat kesalahan. Ibarat menu restoran, apapun yang disajikannya, selalu ada ruang bagi pelanggan untuk memilih menu apa yang akan dimakan bahkan ada ruang juga baginya untuk memilih apa yang akan ia lakukan terhadap menu yang tadi dipilihnya, mau dimakan atau malah dibuang. Dan saya adalah bagian dari orang-orang yang penyuka berbagai menu.

Dan setelah apa yang saya alami, saya pun menyadari bahwa buku tidak pernah bersalah atau bertanggungjawab atas kekelaman masa lalu saya. Buku memang sedikit memberikan ruang bagi saya menggali inspirasi namun, saya yang baper dan selanjutnya mengalami ejakulasi dini pascamembaca buku-buku tersebut. Ya, ejakulasi dini yang sepertinya cukup untuk menggambarkan ketergesaan dan kecerobohan saya dalam bersikap dan mengambil keputusan setelah membaca buku dan menghakimi dunia.

Seharusnya saya berlaku adil dalam belajar dan membaca buku. Saya tidak seharusnya membaca satu buku lalu mengejakulasikan dini pemikiran yang merupakan sajian dalam buku itu hingga berakhir pada aksi teror.

Saya seharusnya menelaah kembali pesan dan ilmu yang disajikan buku tersebut, membuka ruang sudut pandang lain dan pendapat dari pihak lain yang mungkin akan berseberangan.

Membaca buku adalah bagian dari proses belajar dan menempatkan diri sebagai seorang pelajar serta adab dan sikap yang harus dimiliki oleh seorang pelajar. Tidak ada kemapanan berpikir atau kefanatikan buta bagi seorang pembelajar. Bukan kemudian mendadak mengaku-aku sebagai seorang ahli yang pandai menghakimi atau yang lebih sadisnya, baper dan berjekulasi dini dalam fatwa dan aksi-aksi amoral, teror dan anti kemanusiaan.

 

Komentar

Tulis Komentar