“Mas, bisa minta tolong kabari anak saya nggak agar membelikan paket data? Saya kehabisan paket data, padahal harus terus komunikasi dengan anak saya yang akan menjemput setiba di Semarang nanti,"
Itulah kata-kata pertama yang keluar dari seorang ibu yang duduk di sebelah saya dalam perjalanan naik bus dari Jakarta ke rumah bulan lalu. Ibu itu saya perkirakan seumuran dengan ibu saya. Saya kemudian memberikan akses wifi dari ponsel saya agar dia bisa komunikasi sendiri dengan anaknya.
Dari situlah kemudian mengalir obrolan sejak bus masuk gerbang tol Bekasi Barat sampai rumah makan di daerah Cirebon. Ibu itu awalnya lebih banyak bertanya tentang saya. Mulai dari pekerjaan, soal pendidikan, anak-anak, keluarga, dan seterusnya. Tapi kemudian ia jadi lebih banyak bercerita soal pengalaman hidupnya. Mungkin merasa nyaman atau terinspirasi dari pengalaman saya yang menurutnya menarik.
Ia paling antusias bertanya soal pengalaman saya dan teman-teman mendampingi beberapa mantan teroris. Setelah menerima penjelasan panjang lebar soal sebab orang jadi teroris dan bagaimana perjuangan mereka memulai hidup baru, ibu itu mulai menanggapi dengan cerita pengalaman hidupnya yang mungkin ada kaitannya dengan upaya kami dalam mendampingi para mantan teroris.
“Saya ini pemeluk Hindu Jawa, asli Kulonprogo. Suami saya (meninggal 5 tahun yang lalu) asli Bali dan merupakan pemeluk Hindu yang sangat konservatif. Maklumlah, ia masih termasuk kasta Ksatria. Saya selalu menentang sikap konservatifnya itu. Karena menurut saya sikap seperti itu justru akan menyusahkan hidup kita. Apalagi kami ini minoritas di negeri ini," ujar ibu itu datar memulai ceritanya.
“Dua sikap konservatif suami yang paling saya tentang adalah soal anak-anaknya kalau sudah dewasa harus menikah dengan sesama Hindu dan tidak boleh keluar dari keyakinan Hindunya. Menurut saya seiring kemajuan zaman dan luasnya pergaulan, hal itu akan mempersulit anak-anak kami nantinya. Kenapa tidak dibebaskan saja, biarkan semesta yang menuntunnya. Mau jadi pemeluk Islam, Katolik, Budha atau agama apapun itu biarkanlah. Selama mereka tetap menyayangi orangtuanya itu sudah cukup,"
“Akhirnya lambat laun suami mulai berubah. Anak-anak saya tiga orang semua laki-laki. Dua orang yang sudah sama-sama menikah memilih memeluk Islam, tinggal si bungsu yang baru lulus SMA dan tinggal bersama saya yang masih Hindu. Tapi semua anak kami dikhitan lho mas sejak kecil. Selain karena alasan kesehatan juga agar kelak tidak repot bila memilih agama mayoritas (Islam). Awalnya suami menentang tapi akhirnya setuju,"
“Selama hidup saya di tengah orang-orang Islam, mereka memperlakukan kami dengan cukup baik. Kalau ada orang Islam yang jahat itu pasti orang yang tidak mengenal Islam dengan baik. Kedua anak saya yang muslim itu sudah masuk Islam sejak di bangku kuliah. Dan perilakunya kepada orangtua dan adik-adiknya justru semakin bagus setelah masuk Islam,"
“Jadi, saya tidak habis pikir. Ada orang Islam yang mengebom di Bali yang dianggap merupakan bagian dari perang suci membela Islam. Memangnya ada yang memerangi umat Islam di Indonesia ini? Kalau mau menyerang para bule, carilah bule yang di negerinya sana. Jangan di sini. Kan jadi mengganggu kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Suami saya marah sekali mas pasca bom Bali 2002 itu. Ia sempat menganggap umat Islam itu bisa menjadi musuh suatu saat nanti dan mendebat kembali soal kesepakatan kami untuk tidak konservatif lagi. Wah berat itu mas. Bom Bali itu menjadi ujian saya juga. Untunglah itu hanya sementara saja,”
Beliau menghentikan sejenak ceritanya karena ada pesan WhatsApp masuk.
“Bisa minta tolong daftarkan paket internet, ini ternyata yang dikirim anak saya berupa pulsa, bukan paket data,"pinta ibu sopan. Rupanya pesan yang masuk itu pemberitahuan dari anaknya. Saya pun dengan senang hati membantunya mendaftarkan paket internet untuknya. Setelah selesai urusan paket internet, ibu itu kembali melanjutkan ceritanya.
“Berdasarkan cerita tentang para mantan teroris itu, saya kira orang Islam yang jadi teroris itu adalah karena mereka menutup diri atau membatasi diri dalam berjuang untuk agamanya. Mungkin mereka hanya tahu satu jalan perjuangan itu. Padahal pastinya tidak hanya itu kan jalan yang bisa ditempuh dalam membela dan memuliakan agama?”
“Betul sekali Bu,” jawab saya spontan.
“Nah, itulah Mas. Kalau kita menutup diri atau mempertahankan sikap konservatif, yang seakan-akan tidak ada jalan lain selain jalan yang kita ketahui, maka peluang penyimpangan dari tujuan kita beragama itu justru semakin terbuka. Hidup itu untuk berdampingan dan menerima perbedaan. Ada orang-orang yang berbeda pendapat, beda warna kulit, beda agama, dan sebagainya. Perbedaan bukan untuk menghasilkan permusuhan, tetapi menghasilkan harmoni. Sayangnya, keadaan dunia saat ini sepertinya semakin banyak manusia yang sibuk mempermasalahkan perbedaan daripada yang fokus pada persamaan. Betul tidak?,” pungkasnya dengan kata tanya sambil menoleh ke arah saya.
Saya hanya balas menoleh dan tersenyum tidak menjawab. Mencoba mencerna kata-kata terakhirnya. Apa benar sekarang ini semakin banyak manusia yang sibuk mempermasalahkan perbedaan daripada yang fokus pada persamaannya?
Obrolan kami pun masih terus berlanjut ke hal-hal yang ringan. Tentang pengalaman naik bus, pengalaman merantau, tentang kelakuan cucu-cucunya, konflik-konflik kecil dengan besannya, dan lain-lain. Hujan yang mengiringi perjalanan sejak masuk tol Cipali menambah syahdunya obrolan seorang mantan teroris dengan seorang ibu yang beragama Hindu tapi dianugerahi sikap yang bijaksana.
Tapi ibu itu tidak tahu bila orang yang di sampingnya adalah mantan teroris. Ia hanya tahu bahwa saya adalah aktivis penanganan mantan teroris.
Komentar