Melawan Strategi Jamaah Islamiyah

Analisa

by Kharis Hadirin

Sepanjang tahun 2021, ratusan tersangka teroris ditangkap di Indonesia. Data Polri menyebut, hingga Desember ini 370 orang terlibat terorisme di Indonesia ditangkap, sebagian besar berasal dari Jamaah Islamiyah (JI), kelompok yang dikenal rapi dalam “bermain”.

"(sebagian besar) Jamaah Islamiyah," kata Kepala Bagian Bantuan Operasi (Kabag Banops) Densus 88 Antiteror Polri Kombes Aswin Siregar seperti dikutip melalui laman Humas Polri, Jumat (24/12/2021).

Anggota JI yang ditangkap di tahun ini mengalami kenaikan secara tajam dibandingkan pada dua tahun sebelumnya, yakni di 2019 – 2020 di mana terdapat 89 kasus penangkapan terhadap jaringan JI. Tahun 2019, terdapat 25 anggota JI yang ditangkap. Kemudian tahun berikutnya, ada 64 orang dan semuanya terafiliasi dengan JI.

Banyaknya kasus penangkapan tersebut, lantas tidak membuat organisasi ini mati suri. Faktanya, di balik aktivitas bayangan tersebut, JI mampu merajut kembali serpihan kelompok yang tercecer pasca-penangkapan sejumlah besar tokoh-tokohnya. Dengan kata lain, JI yang sudah ditetapkan sebagai organisasi terlarang melalui Putusan PN Jakarta Selatan pada 21 April 2008, nyatanya masih tetap eksis hingga kini.

Karenanya, tidak mengherankan jika banyak publik lantas bertanya-tanya. Sesungguhnya, seberapa banyak anggota kelompok ini? Bagaimana pola perekrutan di JI? Dan siapa yang menjadi target dari perekrutan tersebut?

Paling tidak ada 2 pola yang menjadi trend di JI dalam menentukan soal segmen yang akan ditarget: Pertama adalah kalangan santri. Proses rekrutmen ini sudah umum terjadi, terutama di pesantren-pesantren milik JI. Jadi proses kaderisasi dilakukan sejak dini atau sejak terdaftar sebagai santri. Kemudian ada proses monitoring sampai dia lulus dan menjadi ustaz di pesantren. Proses seleksi biasanya dilakukan dengan melihat sejauh mana komitmen para alumni pesantren di bidang dakwah.

Jika lulus, nantinya mereka akan dibaiat sebagai anggota resmi. Proses baiat seperti ini pernah dilakukan secara serentak terutama menjelang tahun 2010. Adapun mereka yang dianggap tidak konsisten lagi, akan dicoret dalam daftar kandidat. Para santri yang terpilih ini, nantinya aka dipersiapkan sebagai dai atau ideolog. Ini dikarenakan mereka memiliki dasar pengetahuan agama yang baik.

Kedua adalah kalangan umum. Meliputi; akademisi (mahasiswa dari universitas), pegawai swasta/pemerintah atau masyarakat awam. Sebelum mencapai proses baiat, ada ada masa pelatihan untuk penguatan akidah (menyamakan ideologi). Dan biasanya ini dilakukan lewat kajian atau taklim di masjid-masjid.

Target JI pada kluster ini biasanya sangat spesifik, karenanya kajian-kajian yang mereka lakukan juga cukup terbatas pesertanya. Namun, belakangan JI sudah mulai terbuka. Jika di awal kualitas menjadi pertimbangan prioritas, saat ini hal tersebut sudah tidak lagi menjadi perhitungan. Inti dakwah JI sekarang lebih kepada kuantitas atau jumlah.

Semakin banyak masyarakat yang bisa didekati, maka akan menjadi lebih mudah untuk menyampaikan doktrin mereka. Karenanya, tidak mengherankan jika saat ini banyak ASN, aparatur negara, akademisi, hingga masyarakat sipil yang ikut menjadi bagian dari kelompok JI.

Fokus JI saat ini bukan pada doktrin jihad dan perang atau untuk melakukan aksi terror. Melainkan pada prioritas dakwah ke masyarakat dan menjaring simpatisan sebanyak-banyaknya. Jadi yang ditargetkan pertama adalah penanaman ideologi. Jika ideologi sudah masuk, baru mulai pada rencana aksi lebih besar, seperti penerapan syariat Islam, jihad, hingga khilafah.

Masuk Pemerintahan


Selain itu, saat ini berkembang narasi bahwa JI juga telah melakukan infiltrasi di berbagai sektor pemerintahan. Perihal ini, sepertinya bukan menjadi hal baru. Dalam arti, perkara ini sudah terjadi sejak lama. Bahkan beredar gosip pula yang menyebut bahwa ada beberapa politisi atau pejabat pemerintah yang dituding memiliki hubungan dekat dengan kelompok ini.

Kasus terbaru yang cukup menyentak kalayak publik, yakni dengan tertangkapnya Farid Ahmad Oqbah alias Ustaz Farid. Di mana dirinya diketahui sebagai Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) dan digadang-gadang akan maju pada bursa Pilpres 2024 mendatang.

Soal PDRI sendiri, menurut pandangan penulis, hal tersebut tidak lebih dari sekadar menguji arus gelombang. Artinya, lewat PDRI, Jamaah Islamiyah ingin melihat seberapa besar pengaruh partai tersebut di masyarakat, termasuk juga untuk menjaring suara dari kelompok puritan terutama kalangan ikhwan.

Fakta menarik lainnya dari Ustaz Farid yang tidak banyak diketahui, selain diketahui sebagai Pimpinan Islamic Center Bekasi, ia juga pernah ke Afghanistan pada 1993 untuk mengikuti pelatihan militer di Kamp Khust bersama kelompok mujahidin.

Sejak 2007, memang ada wacana di internal Jamaah Islamiyah untuk terjun ke dunia politik. Namun, mereka kesulitan menentukan soal siapa kandidat yang dipandang layak dan memiliki populeritas tinggi. Sebab itulah kelompok ini merangkul berbagai kalangan yang dianggap dekat dengan pemerintahan.

Lalu, benarkah JI terus mengalami peningkatan jumlah anggotanya? Menurut hemat penulis, paling tidak ada 4 faktor penting yang bisa dilihat. Pertama, meningkatnya jumlah lembaga pendidikan yang diketahui terafiliasi dengan kelompok Jamaah Islamiyah. Semakin banyak lembaga pendidikan, maka jumlah simpatisannya juga kian meningkat.

Kedua, gejolak politik di pemerintahan pusat juga dianggap memberikan sumbangsih lahirnya kelompok-kelompok Islam baru yang merasa kecewa dengan berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap bersikap represif terhadap mayoritas (umat Islam). Ini bisa dilihat dari banyaknya narasi-narasi negatif yang menyerang pemerintah atas berbagai kasus penangkapan terhadap tokoh-tokoh ulama. Seperti pada penangkapan Habib Rizieq Syihab, Farid Ahmad Oqbah, Muhammad Zain An Najah dan berbagai tokoh lainnya.

Dan kasus penodaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI, Ahok menjadi awal lahirnya gerakan kelompok puritan skala nasional. Dengan kata lain, kegaduhan yang terjadi saat ini “semua salah Ahok”.

Ketiga, isu soal Indonesia yang akan dikuasai China juga menjadi faktor penting meningkatnya kelompok-kelompok puritan Islam. Adanya rasa kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama di daerah-daerah soal Indonesia yang akan dikuasai China. Informasi ini diperkuat dengan banyaklah jumlah TKA asal Negeri Tirai Bambu ini yang masuk ke Indonesia. Dan momentum tersebut berhasil ditangkap oleh JI untuk dijadikan sebagai alat menjaring solidaritas massa sebanyak-banyaknya. Salah satunya dengan memainkan narasi kebangkitan PKI dan Komunisme.

Seni Perang ala JI


Berbeda dengan rivalnya, Jamaah Anshorud Daulah (JAD), Jamaah Islamiyah saat ini menerapkan strategi “memukul kepala ular” atau “the head of snake strategy”. Strategi ini sebenarnya diadopsi dari plot Al Qaedah tentang Masterplan 2020, di mana untuk mengalahkan sebuah kekuatan besar, maka harus “menghancurkan” dulu kepalanya. Jika sudah terjadi, maka akan menjadi lebih mudah untuk menguasai ke bawahnya.

Nah, JI sadar bahwa mereka tidak akan pernah menang melawan pemerintah, apalagi dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Ini berkaca pada kasus pemberontakan DI/TII atau pada kasus bom Bali 2002 yang dianggap gagal dan menyebabkan banyak anggotanya ditangkap atau ditembak mati. Karenanya, dilakukanlah strategi memukul kepala ular.

Jadi, untuk menguasai negara tidak perlu menggunakan cara-cara militer, cukup dengan menyebarkan doktrin-doktrin mereka. Dan jika berhasil, nantinya negara akan tunduk dengan sendirinya tanpa perlu ada pertumpahan darah. Strategi ini sudah dicoba dan cukup berhasil, yakni pada saat aksi 411 dan 212 di Jakarta. Pada peristiwa tersebut, banyak spekulan muncul bahwa JI juga ikut bermain di dalamnya.

Pelibatan Publik


Lalu narasi apa yang perlu dikembangkan oleh pemerintah untuk melawan ideologi dan penyebaran ajaran JI? Pemerintah saat ini sedang giat-giatnya melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai tokoh di JI. Jika langkah ini tidak diimbangi dengan narasi yang seimbang dan transparan dari pemerintah, maka tidak menutup kemungkinan hal tersebut justru akan menciptakan kebencian di kalangan masyarakat, sekaligus juga mempertegas bahwa pemerintah “anti” terhadap Islam.

Karenanya, pemerintah tidak bisa bermain sendiri. Pemerintah harus aktif melakukan kolaborasi dengan berbagai lembaga di luar pemerintahan itu sendiri, sehingga proses countering ideology of terror bisa dilakukan secara top down.

Misalnya pada sejumlah penangkapan yang terjadi belakangan ini. Banyak di antara mereka yang dikenal di tengah masyarakat sebagai seorang ustaz atau guru yang baik dan ramah kepada masyarakat. Misalnya pada penangkapan Ustaz Farid Oqbah, Ustaz Zain An Najah dan Ustaz Anung Al Hamat. Bahkan dalam setiap ceramah-ceramah mereka, hampir jarang ditemukan narasi-narasi yang mendorong masyarakat atau jamaah untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah dengan alasan sebagai negara thoghut dan sebagainya.

Mereka juga termasuk aktif melawan berbagai ideologi Takfiri (ISIS). Dan di waktu yang sama, mereka tiba-tiba ditangkap oleh Densus 88 dengan tuduhan keterlibatan dalam jaringan teroris.

Nah, ini kalau tidak dijelaskan secara baik dan terbuka soal peran dan keterlibatan masing-masing dalam jaringan, maka tidak menutup kemungkinan masyarakat justru akan menjadi apatis terhadap pemerintah.

Sementara selama ini, yang mengambil peran tersebut hanya dari pihak kepolisian saja yang notabenenya mereka juga yang menangkap orang-orang yang dianggap sebagai pelaku. Jelas publik pasti akan meragukan statemen tersebut. Ini terbukti dengan adanya berbagai pernyataan terbalik yang disebar di grup-grup WhatsApp maupun sosial media. Seperti tidak adanya bukti keterkaitan mereka dalam jaringan dan tanpa adanya surat penangkapan secara resmi dari Polri.

Informasi yang tidak utuh seperti ini pada akhrinya justru menjadi blunder tersendiri bagi pemerintah. Dan inilah fungsinya pemerintah dengan melibatkan kalangan sipil (non-goverment), agar mereka bisa memberikan informasi berimbang yang bukan saja dari pihak aparatur negara.

Komentar

Tulis Komentar