Ironi Dunia Pendidikan di Negeri Konoha

Analisa

by Kharis Hadirin

Membaca kasus yang dialami mahasiswi Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang yang menjadi korban pelecehan seksual oleh dosennya dan justru diancam balik dengan melaporkan ke pihak kepolisian, saya jadi sedikit geregetan ingin mencurahkannya dalam tulisan.

Kebetulan saya termasuk salah satu mahasiswa saat itu yang kalau ke kampus hanya sekedar "numpang ke toilet". Tidak pernah betah dan berlama-lama. Dan jika ditotal, saya sudah pernah mendaftar di 5 kampus berbeda, itu hanya untuk jenjang S1.

Dari keseluruhan kampus yang ada, hanya satu yang berhasil sampai lulus sarjana. Sisanya, gagal total. Makanya saya sebut hanya sekedar numpang toilet saja. Jadi cukup bisa dimaklumi, saat mendaftar di kampus terakhir, saya menjadi mahasiswa paling tuwir se-angkatan. Di saat mahasiswa lain saling panggil Bra-Bro atau nama langsung, giliran saya dipanggilnya "Abang".

Sehingga boleh dikatakan, jika ada mahasiswa yang tua di kelas karena tidak lulus-lulus, maka saya termasuk mahasiswa yang tua di jalan karena kebanyakan pindah kampus.

Nah, ngomongin kasus yang dialami mahasiswi Unsri ini, ada kasus serupa yang pernah terjadi di salah satu kampus yang saya pernah menjadi mahasiswa di dalamnya. Sebut saja Universitas Wakwaw dan berlokasi di kampung saya.

Di universitas tersebut, ada seorang dosen dengan gelar akademik yang cukup mentereng, seorang doktor dan lulusan luar negeri pula. Jelas bukan kaleng-kaleng. Usianya masih muda relatif muda, energik dan punya semangat tinggi. Soal integritas, saya angkat peci tinggi-tinggi.

Dibandingkan dengan dosen-dosen lain, dosen tersebut selalu ada dan berusaha meluangkan waktunya untuk berbagi pengetahuan akademik di luar jam pelajaran kepada para mahasiswanya yang membutuhkan bimbingan. Persoalannya, si oknum dosen ini (saya sebut oknum dosen saja) punya sifat pemilih. Jelas itu hak dosen tersebut. Namun, yang nggaple’i-nya itu, mahasiswa yang dipilih rata-rata perempuan dan sangat spesifik, good looking.

Jadi seumpama Hansel and Gretel yang gemar berburu penyihir hitam, si oknum dosen ini juga punya kegemaran yang sama, berburu mahasiswi-mahasiswi cantik dengan embel-embel untuk meningkatkan prestasi akademik. Setiap kelas yang pernah diajar oleh oknum dosen ini, pasti ada beberapa mahasiswi yang sudah ‘ditarget’. Prosesnya selalu sama, para mahasiswi yang terpilih ini akan didekati dan ditawarkan banyak hal. Mulai dari cara meningkatkan akademik, mengikuti konferensi ilmiah, tips menulis jurnal, studi banding, penelitian hingga akses beasiswa ke luar negeri.

Namun berikutnya, hal yang tadinya berfokus pada akademik, mulai bergeser pada ranah yang bersifat personal seperti mengeluh soal kehidupan rumah tangganya. Dan di balik itu semua, ujung obrolan sering ke arah flirting dan menyentuh arah erotisme.

Tadinya, saya berpikir informasi ini hanya sekedar hoax. Namun, setelah mendengar langsung cerita dari beberapa mahasiswi yang pernah didekati oknum dosen tersebut, saya jadi mengeryitkan dahi. Bahkan belakangan terungkap, korban flirting si oknum dosen ini rupanya tidak sedikit. Rata-rata merupakan mahasiswi primadona di kelasnya.

Bahkan pernah suatu ketika si oknum dosen tersebut mengatakan jika dirinya rela menceraikan istri dan meninggalkan anak-anaknya asalkan si mahasiswi bersedia menikah dengannya.

Pernah kasus si oknum dosen ini dilaporkan ke pihak Dekan Fakultas oleh salah satu mahasiswi yang merasa menjadi korban. Bahkan mahasiswi tersebut mengaku trauma untuk mengikuti kelas yang dipegang oleh si oknum tersebut. Namun, pihak fakultas mengaku tidak bisa berbuat banyak. Selain karena gelar akademik si oknum dosen jauh lebih tinggi, jabatan oknum dosen tersebut berada di bawah langsung kewenangan rektor. Satu-satunya jalur yang bisa ditempuh oleh pihak kampus yakni dengan mencabut kewenangan untuk mengajar di fakultas tersebut.

Ironisnya, korban oknum dosen ini tidak saja di satu fakultas, tapi juga ke beberapa fakultas lain. Walaupun rumor tentang oknum dosen ini sudah tersebar luas di kalangan mahasiswa dan dosen, nyatanya sampai kini masih bebas beraktivitas dengan menyandangnya gelarnya sosok akademisi.

Selain Universitas Wakwaw yang jauh di pelosok kampung ini, kasus-kasus serupa juga pernah terjadi bahkan di kampus bergengsi sekalipun. Dengan membaca fenomena ini, cukup miris memang. Sebab dunia pendidikan yang harusnya menyenangkan justru kadang menjadi petaka oleh oknum yang tak bertanggung jawab.

Kasus mahasiswi Unsri ini, barangkali hanya satu dari sekian banyak peristiwa yang tak terungkap ke media. Selain perasaan malu, butuh mental baja bagi korban untuk berani speak up ke publik. Sebab realita yang sering terjadi di “Negeri Konoha”, korban yang seharusnya mendapat perlindungan dan keadilan yang layak, justru didiskriminasi dan diperlakukan layaknya seorang tersangka.

Komentar

Tulis Komentar