Tragedi Bom Mapolresta Surakarta: 500 KM untuk Kemaafan (Habis)

Analisa

by Munir Kartono

Hotel Harris Surakarta, 4 November 2021

Sebuah pesan singkat muncul di layar ponsel saya pagi itu,

“Mas, bisa masuk ke ruangan sekarang,” ternyata pesan itu dari Pak Andy.

Pagi ini saya memang dijadwalkan untuk mengisi sebuah sesi sharing pengalaman bertema deteksi dini ekstremisme dan radikalisme di Lokakarya mengenai "Inclusive Governance" yang diselengarakan oleh Pemerintah Kota Surakarta dan Setara Institute. Sebuah rangkaian acara di beberapa kota, dari Bogor, Bandung, Makassar dan terakhir di Surakarta.

Di lokakarya itu saya bertemu kembali dengan seorang pembina saya semasa di Pusat Deradikalisasi (Pusderad), yang juga aktif  di Setara Institute. Bu Iif, demikian saya biasa menyapanya. Saya bersyukur Ibu Iif dan Setara Institute mengajak saya untuk berpartisipasi dalam kegiatan semacam ini. Di bawah paparan berjudul “Hanya Ada Satu kata; LAWAN” saya berkesempatan membagikan pengalaman hidup saya sejak kecil, terpapar radikalisme hingga akhirnya terlibat tindak pidana terorisme.

Pengalaman hidup yang saya alami setidaknya memang menunjukkan bahwa radikalisme dan terorisme bisa memapar siapa saja. Bahkan pengalaman hidup saya mungkin juga bisa menjelaskan bahwa terorisme itu ada, nyata dan tidak terkait dengan agama apapun. Terorisme justru menjadi sebuah parasit berbahaya yang bisa menggembosi ajaran agama manapun dan terutama menjadi fitnah terbesar bagi ajaran Islam, keyakinan yang saya anut.

Saya berharap, semua peserta lokakarya dapat mengerti pengalaman hidup saya dan menjadi salah satu modal dalam membaca arah dinamika yang muncul di masyarakat, terutama anak-anak muda di daerah urban.

Balai Kota

“Selepas ini kita langsung ke Balai Kota ya, Mas,” ujar Pak Andy. “Nanti Mas saya dampingi sama Bu Iif. Acaranya dua sesi, yang pertama tertutup dan kemudian ada konferensi pers,” sambungnya.

Akhirnya saya didampingi Pak Andy dan Ibu Iif menuju Balai Kota Surakarta. Tak perlu waktu lama, kami pun sampai di sana. Setelah menunggu sejenak, Pak Andy yang sempat pergi untuk berkoordinasi, kemudian menghampiri saya.

“Mas, ada perubahan acara, nih. Nanti acaranya akan langsung terbuka. Tidak ada sesi pertemuan tertutupnya,” kata dia.

Saya terdiam mendengar ucapan Pak Andy, tapi saya juga tidak mau berpikiran negatif atas perubahan acaranya. Mungkin hanya untuk mempersingkat acara dan ujian untuk ketulusan hati saya untuk memohon maaf dan ini bukan sebuah masalah yang besar bagi saya.

Saya sudah bertekad bahwa saya harus meminta maaf tidak hanya kepada Pak Bambang dan keluarganya, tapi juga kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya warga Kota Surakarta dan Keluarga Besar Kepolisian Republik Indonesia khususnya jajaran anggota Polresta Surakarta.

“Biar semuanya menjadi saksi atas niat tulus saya dan biar semua menjadi saksi bahwa Munir yang sekarang bukan lagi Munir yang dulu”

Suasana Aula Balai Kota Surakarta sudah ramai saat saya menginjakkan kaki di sana. Wartawan, Satpol PP, para ASN Pemerintah Kota Surakarta dan personel kepolisian sudah memadati. Saya masuk ke dalam, saya kembali berkumpul dengan kru dari ruangobrol.id dan Setara Institute. Tak lama, Pak Jim Brilliant dari Idensos Densus 88/AT menyapa saya. “Insya Allah semuanya akan baik-baik saja. Dan insya Allah ini akan jadi awal kebaikan ke depan. Istiqomah, ya,” pesannya.

Saya memahami pesan “istiqomah” yang diucapkan Pak Jim. Untuk berubah, untuk keluar dari jaringan sekaligus tampil menjadi pembawa pesan perdamaian tidak cukup dengan semangat, keberanian dan kebulatan tekad. Hingga ada orang-orang yang terjerat lagi jaringan terorisme. Apa yang muncul dari dalam diri harus juga didukung oleh support system yang kuat. Kekuatan inilah yang saya rasakan saat itu. Dukungan dari Densus 88, tim ruangobrol dan Setara Institute juga pemerintah Kota Surakarta dan keluarga yang saya tinggalkan di rumah menambah keyakinan saya bahwa yang saya lakukan adalah kebenaran. Saya harus meminta maaf.

Namun, perasaan saya berubah saat acara dimulai. Perang batin yang muncul di dalam dada saya membuat saya tidak bisa mendengar hiruk pikuk di sekitar. Dada saya bergemuruh. Gemuruhnya kian terasa saat saya melihat Pak Bambang yang duduk di sebelah kiri saya. Bayangan tragedi bom bunuh diri itu muncul lagi di kepala saya. Kengerian dan kekelamannya membuat perasaan bersalah muncul dan memenuhi hati saya.

Bayangan kondisi Pak Bambang dan berbagai hal yang saya alami selama di penjara, membuat air mata saya perlahan mulai menetes. Ibu Iif yang duduk di samping kanan saya mencoba menenangkan, tapi tangis saya mulai pecah.

Bahkan saat pembawa acara mempersilakan saya untuk bicara, tangis itu tak mereda. Sambil terisak saya memohon maaf kepada Pak Bambang dan keluarganya, kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya warga Kota Surakarta dan keluarga besar Kepolisian Republik Indonesia khususnya jajaran Polresta Surakarta.

Saya tidak bisa merasakan kerumunan para pemburu berita yang ada di hadapan saya dengan blitz dan lampunya. Perasaan bersalah itu terlalu besar dan menghilangkan rasa yang lain.

Perasaan bersalah itulah yang membuat saya segera memeluk Pak Bambang setelah beliau berbicara. Meskipun sehari sebelumnya kami telah bertemu, perasaan bersalah itu masih selalu lekat bahkan sampai tulisan ini saya buat. Surakarta, maafkan saya.

Bertemu Ganjar

Selepas acara, saya mencoba untuk menenangkan diri. Pak Andy, Ibu Iif, tim ruangobrol.id dan Setara Institute pun membantu memperbaiki keadaan saya. Mas Eka kemudian menghampiri saya dan bilang bahwa Gubernur Jawa Tengah Pak Ganjar Pranowo ingin bertemu dengan saya dan Pak Bambang. Akhirnya pasca-berpamitan dengan Pak Andy, Ibu Iif dan tim dari Setara institute, saya dan tim dari ruangobrol.id berangkat ke Semarang. Disusul kemudian dengan Pak Bambang.

Rintik hujan menemani saya, Pak Bambang dan tim ruangobrol.id saat tiba di Puri Gedeh Kota Semarang, kediaman Pak Ganjar Pranowo. Sambutan hangat dari orang nomor satu di Jawa Tengah membuat saya lebih sumringah. Beliau dengan rendah hati dan santun menyapa dan mengajak kami ngobrol. Sampai akhirnya beliau mengajak kami ke ruangan podcastnya.

Saya sangat bersyukur beliau memberi kesempatan kepada saya untuk berbicara dan menjelaskan masa lalu hingga terjerat dalam terorisme. Saya sangat ingin berkata, tolong sudahi segala bentuk teror di negeri ini. Tolong, jangan ada lagi orang-orang terutama anak-anak muda yang mau melewati jalan hidup seperti yang telah saya lalui. Akhiri terorisme sampai di sini!

Pada akhirnya, saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh keluarga, Kadensus 88/AT Bapak Marthinus Hukom dan Direktur Idensos 88/AT Bapak MD. Shodiq beserta jajaran Densus 88/AT Mabes Polri, Bapak Ganjar Pranowo dan timnya, Bapak Gibran Rakabuming Raka dan seluruh jajaran pemerintahan dan masyarakat Kota Surakarta, Bapak Kapolresta Surakarta dan jajarannya, Bapak Noor Huda Ismail dan seluruh tim ruangobrol.id, Ibu Iif dan seluruh tim Setara Institute, dan semua pihak yang telah membantu saya untuk memenuhi janji diri ini dan memberi kesempatan bagi saya untuk berubah.

Jalan perubahan masih sangat panjang dan mungkin tak akan mudah. Namun, saya harus semangat dan istiqomah. Saya juga memohon support dari seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah. Dan Surakarta, maafkan saya!

FOTO: RUANGOBROL.ID/EKA SETIAWAN

Suasana podcast bersama Gubernur Jateng Ganjar Pranowo di Puri Gedeh Kota Semarang, Kamis 4 November 2021 petang.

Komentar

Tulis Komentar