Ustaz Moderat Terlibat Kasus Terorisme?

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Isu kriminalisasi ulama kembali bergaung di media sosial dalam beberapa hari terakhir ini. Pasalnya publik dihebohkan dengan adanya penangkapan yang dilakukan Densus 88 atas 3 orang ustaz yang dikenal moderat dengan sangkaan terlibat kasus terorisme. Salah satunya bahkan merupakan anggota komisi fatwa MUI pusat. Banyak pertanyaan dan prasangka dari masyarakat atas kejadian ini.

Benarkah mereka bertiga terlibat terorisme? Bagaimana mereka bisa terlibat? Apakah ini bukan kriminalisasi terhadap ulama? Sehebat apa sih Jamaah Islamiyah (JI) sampai bisa menempatkan anggotanya di lembaga sekelas MUI Pusat? Dan masih banyak pertanyaan lainnya.

Dari semua pertanyaan itu, pertanyaan bagaimana mereka bisa terlibat merupakan pertanyaan yang jawabannya bisa menjelaskan banyak pertanyaan lainnya. Maka, izinkan saya sebagai mantan binaan JI dan masih menjadi pemerhati perkembangan JI hingga hari ini untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Menguraikan apa itu JI dan bagaimana pola gerakannya serta kiprahnya hingga hari ini mungkin satu atau dua buku tidak cukup untuk menjelaskannya. Tapi secara ringkas saya akan menyederhanakannya untuk Anda.



Dakwah Ala JI

Sebagai sebuah gerakan, JI punya sebuah ideologi dan cita-cita. Menegakkan syariat Islam melalui dakwah dan jihad adalah jalan perjuangan JI. Itulah mengapa kerja JI itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian dakwah dan bagian militer (jihad).

Bagian dakwah adalah bagian yang terbuka, legal, dan bersentuhan langsung dengan umat Islam pada umumnya. Sedangkan bagian militer (jihad) adalah bagian sirri (yang dirahasiakan) yang bahkan mayoritas anggota –apalagi simpatisannya-- tidak mengetahuinya. Aktivitas dakwah dan membangun umat inilah yang akan terus mereka gencarkan. Tak peduli dengan adanya dinamika di bagian jihad.

Para kader JI pun terbagi ke dalam dua golongan, yaitu para kader yang bergerak di bidang dakwah dan kader yang bergerak di bidang jihad.

Kader di bidang dakwah tugasnya adalah turut serta dalam membangun umat dengan cara-cara yang simpatik. Termasuk di dalamnya membaur ke dalam organisasi atau lembaga Islam yang bisa mendukung upaya dakwah mereka. Maka Anda akan menemui sosok orang-orang dakwah ini adalah sosok yang moderat, santun, dan dermawan. Dan mayoritas anggota JI adalah orang-orang dakwah, karena dakwah itu bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja.

Sedangkan para anggota JI yang bergerak di bidang jihad, di samping mengerjakan tugas-tugas di bidang jihad, sebagian dari mereka masih terlibat dalam kegiatan di bidang dakwah. Kenapa demikian? Sekali lagi, karena urusan jihad adalah sesuatu yang disembunyikan sehingga perlu kover.

Maka, di mata para simpatisan dan anggota biasa, tidak akan tahu bila seorang tokoh di bidang dakwah itu merupakan kader bidang jihad atau tidak. Mereka bahkan sangat mungkin baru mengetahuinya setelah terjadinya penangkapan atas tokoh tersebut.

Yang menjadi sumber masalah adalah di bagian jihad (militer). Meskipun sejak setelah Bom Bali 1 di dalam tubuh JI mulai ada pertentangan tentang boleh tidaknya melakukan amaliyah (operasi jihad) di Indonesia, tetapi dalam hal persiapan menuju jihad atau kami biasa menyebutnya dengan I’dad (persiapan) mayoritas anggota dan kader JI masih sepakat akan kewajiban itu. Sehingga semuanya sepakat bila salah satu alokasi pendanaan jamaah adalah untuk keperluan I’dad. Dan di sinilah titik keterkaitan banyak anggota JI dalam delik kasus terorisme.

I’dad atau persiapan yang meliputi kegiatan pelatihan fisik ala militer, pengiriman kader ke medan konflik seperti Suriah, Filipina Selatan dll, membangun bengkel senjata, dan menjaga aset ahli yang menguasai ilmu di bidang jihad, termasuk dalam pasal perencanaan aksi terorisme yang menurut undang-undang terorisme No. 5 tahun 2018 dapat dikenai pidana.

Khusus dalam hal menjaga aset ahli di bidang jihad, salah satunya adalah dengan menjaga DPO agar tidak ditangkap dan bisa terus berkarya untuk jamaah. Di mana hal ini bisa dikenakan pasal menyembunyikan informasi dalam UU No. 5 tahun 2018.

Sehingga bila ada sebagian dari dana jamaah yang digunakan untuk membiayai I’dad dan merawat aset, maka setiap penggalangan dana oleh jamaah meskipun sebagian besarnya untuk keperluan dakwah, bisa dianggap sebagai pendanaan terorisme yang bisa dijerat pasal pidana terorisme.

Sumber pendanaan Jamaah Islamiyah (JI) itu setahu saya hanya ada dua jenis, yaitu dari infak dan dari hasil usaha aset-aset produktif JI. Terungkapnya aset JI berupa kebun sawit, kebun coklat, dan beberapa perusahaan itu hanya sebagian saja. Fenomena penggalangan dana melalui kotak infak di minimarket-minimarket dan warung-warung itu adalah salah satu upaya mengumpulkan infak dari luar anggota/simpatisan JI.

Dari penjelasan di atas, kiranya dapat dimengerti mengapa para pengurus yayasan pengelola infak dari ribuan kotak amal itu ditangkap aparat kepolisian. Termasuk 3 orang ustaz moderat yang barusan ditangkap dan menghebohkan publik itu. Polisi menyebut ketiganya menjadi pengurus lembaga pengumpulan dana JI.

Komentar

Tulis Komentar