Napiter Kembali Ke Pangkuan NKRI: Kesadaran, Buah Pembinaan dan Tersudut oleh Keadaan

Analisa

by Munir Kartono

Ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik lisan maupun tulisan jadi salah satu syarat narapidana terorisme (napiter) di lembaga pemasyarakatan untuk memperoleh hak-haknya.

Fenomena napiter menyatakan ikrar setia NKRI ini juga terjadi pada mereka yang ditahan di lembaga pemasyarakatan (lapas) di Nusakambangan, imbas dari tragedi rusuh Mako Brimob Depok, Mei 2018 lalu. Mereka ini dipindah penahananya ke Nusakambangan dari Mako Brimob. Beberapa napiter kemudian menyadari kesalahannya dan mengucapkan ikrar. Alhasil, hari ini, napiter yang menyatakan ikrar setia NKRI terus bertambah.

Namun, di balik fenomena itu muncul pertanyaan: apakah fenomena ini merupakan hasil refleksi napiter? Apakah ini juga buah pembinaan yang dilakukan negara lewat aparaturnya? Atau justru strategi pelaku teror yang sudah terhimpir oleh keadaan di dalam lapas yang berkategori super maksimum untuk mendapat keringanan?

Efek Tragedi

Tragedi berdarah yang terjadi pada 8 Mei 2018 di Mako Brimob memang mengejutkan semua pihak. Bahkan tak hanya pemerintah dan masyarakat luas yang mengutuk dan menyayangkan terjadinya tragedi tersebut, banyak kalangan dari mantan narapidana dan narapidana kasus terorisme yang menyayangkan dan mengutuk keras terjadinya tragedi tersebut.

Apalagi efek yang ditimbulkan pascatragedi tersebut, tak hanya napiter  yang berada di Rutan Mako Brimob saja yang harus dipindahkan ke beberapa lapas dengan pengamanan ekstra ketat di Nusakambangan, banyak narapidana yang sebelumnya telah berada di beberapa Lapas pun pada akhirnya dipindah ke lapas berkategori super maksimum sekuriti di pulau penjara itu.

Kondisi tersebut yang akhirnya membuat pro-kontra di antara para napiter. Tak berhenti di situ, pemindahan narapidana ke lapas dengan pengamanan ekstra juga berefek pada psikologis dan mental mereka. Mereka yang sudah terbiasa berkumpul dalam 3 blok di Rutan Mako Brimob, bercengkerama bahkan saling menguatkan satu sama lain, harus menghadapi kondisi terisolasi sendirian dalam sel masing-masing. Hingga tak sedikit dari narapidana terorisme yang kemudian goyah dan menerima prasyarat Ikrar NKRI untuk proses asessement dan dipindah ke lapas yang lebih longgar.

Tak hanya itu, kondisi one man one cell juga membuat para narapidana terorisme memiliki ruang dan waktu sendirian untuk berkontemplasi atas perjalanan yang telah mereka lewati. Sebab, banyak di antara para napiter yang sebenarnya telah mengakui kesalahannya namun terpaksa dan dipaksa untuk ‘istiqomah’ karena meskipun mereka telah di penjara tapi masih serasa berada dalam kelompoknya.

Mereka tidak sanggup untuk dimusuhi dan bermusuhan dengan orang-orang dalam jaringannya yang bisa berefek fatal tak hanya pada dirinya melainkan juga dengan nasib keluarganya di luar penjara.

Kekalahan ISIS di Suriah juga berperan dalam meningkatnya jumlah narapidana teror yang mengambil jalan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Seolah kehilangan induk dan dan semangat, kekalahan ISIS juga membuyarkan jargon sebagai kelompok panji hitam yang akan selalu dimenangkan, sebagaimana yang sering dipropagandakan ideolog ISIS.

Proses rekrutmen karbitan yang dilakukan para ideolog teror yang lebih banyak dilakukan melalui media sosial terutama dari kalangan Jamaah Anshar ad-Daulah (JAD) dan organisasi yang berafiliasi ke ISIS juga berpengaruh dalam proses menghijaunya para narapidana terorisme.

Berbeda dengaan kelompok Jamaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi ke Al-Qaidah yang lebih terstruktur dan rapi dalam perekrutan dan pembinaan, para ideolog dari JAD memang lebih memilih jalan yang instan dalam merekrut anggota dan pelaku teror. Mereka lebih banyak mempropagandakan semangat kebencian terhadap pemerintah yang dibumbui dengan pemahaman keislaman versi mereka ketimbang melakukan perekrutan dan pengkaderan secara intensif ala JI. Walhasil, banyak pelaku teror yang berafiliasi ke JAD lebih mudah untuk berbalik arah dan sadar kembali.

Di sisi lain, peran dari negara lewat misalnya; Direktorat Identifikasi dan Sosialisasi (Idensos) Densus 88/Antiteror Polri, pamong lapas, hingga pertugas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), juga tak bisa dikesampingkan.

Para petugas ini sangat rajin menyambangi mereka di lapas-lapas. membuka pintu diskusi dan melakukan pembinaan persuasif kepada para narapidana terorisme hingga perlahan para narapidana terorisme pun berubah ke arah yang positif.

Bukan Soal Kesadaran, Buah Pembinaan atau Keterpaksaan

Menghijaunya para narapidana kasus terorisme pascatragedi kerusuhan Rutan Mako Brimob 2018 hingga saat ini memang menjadi gelombang dan fenomenal.  Hal ini tidak hanya dirasakan oleh para eks napiter yang telah kembali masyarakat namun juga kalangan pemerhati yang fokus di masalah ini hingga muncul bebagai pertanyaan, benarkah gelombang ikrar setia NKRI yang terjadi di kalangan napiter adalah hasil kontemplasi dan kesadaran mereka? Apakah kembalinya mereka ke pangkuan Ibu Pertiwi merupakan buah pembinaan yang dilakukan para stakeholder di masalah ini? Ataukah ini hanya strategi para narapidana kasus terorisme untuk mengurangi himpitan yang mereka rasakan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas dan semacamnya memang wajar muncul menanggapi fenomena tersebut. Namun, sangat sulit untuk menemukan parameter yang tepat untuk mengetahui apakah kesadaran ini betulan atau sekadar kepura-puraan atau ikrah (keringanan yang muncul dari kondisi keterpaksaan) sebagaimana kosakata yang sering dimunculkan oleh kalangan mereka.

Kondisi kesulitan dalam mengukur perameter kesadaran tersebut bukan tanpa dasar mengingat beberapa kali terjadinya residivisme yang dilakukan oleh mantan narapidana kasus terorisme yang sudah kembali ke pangkuan NKRI, sudah mendapatkan remisi tahanan, Pembebasan Bersyarat bahkan pernah juga ditempa di Pusat Deradikalisasi BNPT.

Namun, kesulitan tersebut menjadi sebuah kewajaran mengingat bahwa kesadaran adalah sebuah proses hati yang sulit untuk dibuktikan langsung tanpa melewati proses perjalanan waktu. Sehingga pertanyaan yang seharusnya muncul bukanlah pertanyaan di atas melainkan bagaimana langkah para narapidana terorisme kembali ke pangkuan NKRI menjadi sebuah pilihan yang tepat?

Kembalinya para narapidana terorisme merupakan sebuah langkah yang baik yang seharusnya disambut baik pula oleh seluruh stakeholder bahkan seluruh masyarakat. Namun, tak berhenti pada sambutan pascakembalinya mereka pada NKRI, langkah-langkah strategis juga harus dibuat untuk terus dapat membina dan membantu mereka sejak masih dalam lapas dan terus berlanjut sampai mereka kembali ke masyarakat. Inilah yang disebut dengan sustainable mentoring (pendampingan/pembinaan berkelanjutan)

Pendampingan berkelanjutan tidak hanya dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam hal ini Densus 88 AT dan juga BNPT sebagai lembaga koordinator melainkan harus melibatkan pemerintah daerah, LSM,  dan seluruh elemen masyarakat termasuk para eks napiter yang telah terlebih dahulu bebas dan kembali ke NKRI.

Dalam fase ini, terutama pascapembebasan, para eks napiter tidak hanya dibina dalam pengembangan diri dan ekonomi namun juga harus dirangkul dan diajak untuk berperan aktif yang nyata dalam berbagai kegiatan bertema kemanusiaan, perdamaian dan pembangunan masyarakat. Sehingga tidak hanya ekonominya saja yang bertumbuh namun keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan nyata tersebut akan menjaga diri mereka dari keinginan untuk kembali ke dunia lamanya dan keberadaan mereka dalam kegiatan tersebut akan membuat mereka tidak akan lagi dilirik oleh ‘para teman lamanya’.

 

Penulis: Munir Kartono

Ilustrasi: Pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar