Radikalisasi Online (10-habis)

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Akhir-akhir ini banyak orang yang resah terhadap maraknya orang-orang yang menjalani proses ‘hijrah’ yang sebagiannya ada yang cenderung eksklusif. Sebagian masyarakat awam dan keluarga terdekat ada yang kemudian khawatir mereka akan jadi radikal, dan itu wajar sebagai bentuk kewaspadaan.

Tetapi seharusnya yang paling ’wajib’ untuk khawatir adalah para ustaz dan dai yang ada di tengah masyarakat. Karena merekalah yang paling berkewajiban untuk mendidik dan membimbing umat.

Merekalah yang menjadi tumpuan harapan dari masyarakat dan keluarga terdekat dari orang-orang yang ‘hijrah’ itu. Masyarakat dan keluarga dari orang-orang yang ‘hijrah’ itu wajar jika mereka khawatir bila orang yang hijrah itu terpapar pemahaman radikal. Tetapi mereka tidak tahu bagaimana cara mencegah atau mengatasinya.

Energi kekhawatiran dari keluarga dan masyarakat itu seharusnya diubah menjadi dorongan bagi para ustaz, ulama, dan dai yang ada di masyarakat untuk lebih aktif dan meningkatkan kapasitas dakwahnya.

Jangan hanya khawatir, cemas, dan was-was tetapi pada saat yang sama para ulama, ustaz, dan dai justru stagnan pada dakwah atau pembinaan yang sedang dilakukannya. Kepada para ulama’, ustaz, dai, bertindaklah proaktif mendatangi orang-orang yang sedang dalam proses ‘hijrah’ itu dan membimbing mereka.

Ingat, mengabaikan mereka adalah kesalahan kita. Sedangkan mendapatkan guru dan komunitas yang 'salah' adalah kesalahan mereka. Tetapi jika mereka kemudian mendapatkan guru dan komunitas yang salah karena pengabaian kita, maka sedikit atau banyak, diakui atau tidak, kita punya andil dalam membuat mereka 'tersesat'.

***

Pertanyaan selanjutnya: Mengapa aktivis gerakan Islam yang tidak sabar dan kecewa dengan metode atau jalan perjuangan yang ditempuh kelompoknya juga rawan terpengaruh radikalisasi online?

Di kalangan para aktivis pergerakan Islam dari semua kelompok pergerakan yang ada di dunia ini, ada fenomena yang sama dan tidak dapat dipungkiri yaitu tentang adanya sebagian dari aktivis mereka terutama anak-anak muda yang bosan atau jenuh dengan kondisi yang ada.

Kondisi yang dimaksud adalah kondisi yang tidak ideal dengan ideologi perjuangan yang konon semuanya adalah untuk menegakkan syariat Islam di muka bumi; tetapi kenyataannya malah banyak penyimpangan dan tak kunjung terwujud.

Anak-anak muda itu sangat rindu dengan contoh kongkrit praktik-praktik ideal dari apa yang telah mereka pelajari dan mereka yakini. Sebagaimana tabiat anak muda yang banyak tidak sabarnya, mulai timbul pemberontakan dalam diri mereka untuk mencari suatu jalan perjuangan yang baru yang revolusioner, yang dirasa lebih menjanjikan dalam mewujudkan apa yang mereka cita-citakan.

Fakta kerinduan ummat Islam pada praktek penerapan syariat Islam dan kembalinya kejayaan Islam itu pasti kita akui kebenarannya; tetapi jalan untuk mewujudkannya itu berbeda-beda antara satu kelompok dan kelompok lainnya. Nah, di antara para aktivis dari masing-masing kelompok itu ada orang-orang yang tidak sabar dengan proses yang sedang ditempuh kelompoknya, ada yang kecewa dengan apa yang dilakukan kelompoknya, ada yang ingin mencari jalan perjuangan yang baru yang lebih revolusioner, dsb.

ISIS menyadari dan memanfaatkan potensi orang-orang seperti ini. Mulailah mereka (ISIS) merancang sebuah sistem perekrutan berbasis propaganda yang provokatif. Mereka mulai menyusun narasi-narasi yang mengutip ayat Alquran, Hadits-hadits, perkataan ulama, merangkai beberapa kepingan fakta sejarah dan kejadian-kejadian, dan segala hal yang mendukung akan hadirnya kelompok mereka di tengah umat Islam. Mereka juga belajar dari propaganda-propaganda kelompok jihad sebelumnya seperti Al Qaeda dan Taliban.

Propaganda mereka itu dibuat agar mudah diterima oleh orang-orang yang berpikiran sempit. Bukan hanya mudah diterima oleh orang-orang berfaham radikal, tetapi juga oleh orang-orang awam yang sangat merindukan sebuah potret kehidupan baru yang lebih menjanjikan. Dan setelah ada yang terpengaruh oleh propaganda itu, mereka menjaga agar para pengikut baru itu tetap berpikiran sempit.

Apalagi jika para anak-anak muda atau aktivis gerakan Islam yang tidak sabar dan kecewa dengan metode atau jalan perjuangan yang ditempuh kelompoknya itu belum belajar Sirah Nabawiyah yang menyeluruh dan sangat terobsesi dengan slogan ‘Isy Kariman au Mut Syahidan yang mereka kenal sejak awal bergabung dengan kelompok pergerakan itu, mereka akan cenderung lebih mudah untuk terpengaruh oleh radikalisasi ala para pendukung ISIS.

Contoh yang pas untuk kasus ini adalah sosok Bahrun Naim yang dulunya merupakan aktivis HTI tapi kemudian terpapar paham radikal dan akhirnya bergabung dengan ISIS serta kemudian menjadi salah satu tokoh yang berpengaruh dalam rangkaian aksi teror di Indonesia akhir-akhir ini.

Contoh yang lai adalah seperti yang terjadi pada sosok Ganna Pryadharizal Anaedi Putra, seorang mantan jurnalis salah satu majalah Islam dan sempat pernah bergabung di Sindo (MNC Group), serta pernah mengenyam pendidikan tinggi di Mesir, bisa menjadi salah satu tokoh penting ISIS dari Indonesia. (Lihat: https://tirto.id/ustaz-ganna-pryadharizal-algojo-isis-eks-wartawan-sindo-dD86?fbclid=IwAR3PMLzeosSvJxzWipq9xITbXb52NeBnHK5z_QsP6f7D_bOuIYTo56bZr9A )

Menurut saya mereka adalah contoh orang-orang yang tidak sabar dengan metode perjuangan yang ditempuh kelompoknya dan kemudian terpesona dengan propaganda ISIS yang sedemikian hebatnya.

Jadi, jika orang sekaliber Ganna Pryadharizal Anaedi Putra yang berpendidikan tinggi dan punya banyak pengalaman pergerakan saja bisa terpengaruh, maka bagaimana dengan para ‘pencari ilmu’ di ranah online yang tidak memiliki guru pembimbing yang kredibel?

ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar