Radikalisasi Online (8)

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Pada tulisan sebelumnya sudah saya sebutkan dua poin tentang siapa saja yang termasuk kelompok masyarakat awam yang rentan terpapar radikalisme online, yaitu : pertama adalah para korban kezaliman, kedua adalah mantan kriminal yang ingin bertaubat.

Sekarang, kita lanjutkan lagi yang ketiga. Adalah para Buruh Migran Indonesia (BMI) perempuan yang kesepian dan galau di luar negeri.

Mohon maaf untuk poin ini saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Saya merekomendasikan Anda untuk membaca artikel yang dimuat oleh detik.com di sini https://news.detik.com/abc-australia/d-3585957/kisah-tkw-yang-dukung-isis-di-hong-kong .

Di situ sudah cukup menjelaskan fenomena bagaimana para BMI perempuan  sangat rentan terhadap radikalisasi online.

Selanjutnya, ada lagi yang keempat. Yakni; orang-orang yang sedang kesusahan, baik secara ekonomi, fisik maupun psikisnya.

Saya memiliki kisah salah seorang kawan saya di masa lalu yang sangat pas untuk menjadi contoh dalam menjelaskan poin ini.

Sebut saja kawan saya ini dengan nama Ali (bukan nama asli). Dia ini menderita penyakit ‘aneh dan langka’ sejak usia remaja sehingga fisiknya lemah dan tidak bisa bekerja sebagaimana kebanyakan orang-orang. Ia hanya bisa melakukan pekerjaan seperti menjaga warnet, penterjemahan, pengetikan, dan editing video.

Dengan kondisi fisik yang seperti itu membuat dirinya susah dalam mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya, dan hal ini cukup membuatnya sering depresi.

Singkat cerita, ia kemudian mengenal dunia forum jihadi di internet. Di situlah ia menemukan solusi mengatasi depresi yang ia alami. Yaitu berkontribusi di dunia pergerakan jihad dengan menjadi penterjemah dan editor video rilisan-rilisan mujahidin luar negeri.

Dia memang menguasai bahasa Arab dengan baik dan memiiliki keahlian editing video.

Ia merasa menjadi sangat berarti dan berguna dengan berkontribusi seperti itu. Jadi meskipun secara ekonomi susah dan menderita sakit, ia masih bisa berguna. Apalagi sambutan yang ia terima dari sesama pegiat forum sangat menghargai pekerjaannya.

Hingga pada suatu ketika ia direkrut oleh kelompok pelaku amaliyah yang membutuhkan keahliannya mengedit video untuk mengedit video propaganda dari aksi amaliyah yang mereka rancang.

Mendapat tantangan dan tawaran seperti semakin membuat dirinya melambung. Ia semakin senang karena bisa lebih berarti lagi bagi kepentingan jihad.

Tetapi konsekwensinya ketika para pelaku amaliyah itu di kemudian hari tertangkap sementara dirinya memegang file video yang akan ia olah sebagai propaganda kelompok tsb, ia pun harus berpindah-pindah meninggalkan keluarganya untuk menyelamatkan diri. Keluarga yang ia tinggalkan pun semakin terlunta-lunta.

Dalam pelariannya sakitnya semakin sering kambuh. Sementara anak istrinya hidup terlunta-lunta. Anda bisa bayangkan bagaimana rasanya.

Akhirnya setelah merasa aman, ia pun kembali hidup bersama anak istrinya. Dengan statusnya sebagai DPO membuat teman-teman lama seperjuangannya jadi enggan mendekat. Hanya ada sebagian kecil yang masih mau mengunjungi dan membantu urusannya.

Usahanya sudah hancur karena ditinggal menyelamatkan diri. Sakitnya sering kambuh. Ditambah anak istri yang butuh makan. Sementara pekerjaannya hanya freelance menerima pekerjaan editing video yang datang jarang-jarang. Dia semakin depresi.

Di tengah depresinya itu ada yang menawarkan jalan untuk kembali terlibat dalam proyek amaliyah jihad. Dan ia menyatakan siap untuk bergabung namun menyatakan keinginannya untuk melakukan bom bunuh diri kepada kelompok yang mengajaknya itu. Ia ingin sekalian total mengorbankan dirinya.

Tetapi di kemudian hari sang komandan amaliyah menolak keinginannya itu karena mengetahui bahwa dirinya mengajukan sebagai pelaku bom bunuh diri itu ada unsur karena depresi yang ia alami. Akhirnya ia hanya dipercaya membantu urusan media dan propaganda.

Sekarang coba Anda fikirkan. Kawan saya itu bisa jadi seperti itu di era di mana propaganda radikalisme baru sebatas forum-forum jihadi dan blog-blog pribadi para jihadis. Bagaimana dengan era media sosial dan akses internet yang semakin luas dan murah?

Bukankah orang-orang dengan kondisi seperti kawan saya itu sangat rentan terpapar ideologi radikal?

ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar