Cerita Diskusi Bersama Aktivis Dakwah JI yang Kini Menjadi Terduga Teroris

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Pada bulan Maret 2019 yang lalu saya menemui seorang kawan lama. Berbekal nomor kontak yang saya peroleh dari seorang pengurus masjid, saya kemudian membangun komunikasi hingga akhirnya bisa bertemu.

Terakhir saya bertemu dengannya di tahun 2005, waktu itu kami masih sama-sama sebagai aktivis pengajian dan statusnya masih sebagai binaan para ustaz JI (Jamaah Islamiyah) sama dengan saya.

Pada pertemuan yang terakhir itu dia telah menjadi salah satu ustaz pembina beberapa komunitas yang sudah cukup terkenal di Surabaya. Saya kaget begitu tahu dia sudah jadi sedemikian masyhur di kalangan aktivis kajian keislaman. Dan dia pun kaget begitu tahu saya pernah dipenjara karena kasus terorisme.

Dan hari Sabtu 27 Februari 2021 kemarin saya mendapat kabar yang valid bahwa kawan lama itu termasuk salah satu dari 12 orang terduga teroris yang ditangkap oleh Densus 88 di Surabaya dan Sidoarjo pada hari Jumat. (Lihat beritanya di sini)

Sangat mengejutkan. Seorang aktivis dakwah yang sangat menjaga agar tidak bersentuhan dengan para ‘aktivis klandestin’ atau ‘jihadis lapangan’ sebagaimana seperti yang akan saya ceritakan berikut, tapi akhirnya bersentuhan dengan delik terorisme. Meskipun saya pribadi yakin keterlibatannya adalah tidak sengaja. Tidak sengaja karena tidak tahu bahwa ada salah satu aktivitasnya yang sekarang masuk delik terorisme di bawah UU Pencegahan Tindak Pidana Terorisme yang baru.

*****

Kedatangan saya menemuinya waktu itu selain untuk silaturahmi, saya juga ingin berdiskusi dan melakukan test bagaimana reaksi atau sikap orang-orang seperti dirinya kepada mantan napiter seperti saya. Sebelum diskusi saya menyampaikan bahwa saya pernah menjadi klien pendampingan dari LSM Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP) dan alasan mengapa saya mau menjadi klien pendampingan dari YPP, yaitu karena tidak ada komunitas yang bisa menerima saya untuk kembali berkarya untuk umat.

Kami pun sepakat untuk mulai diskusi seputar dinamika perkembangan dakwah, khususnya di kalangan JI. Beliau tampak bersemangat untuk berdiskusi setelah saya bertanya apa saja dampak yang dirasakan oleh JI dengan adanya fitnah terorisme dan radikalisme terutama pasca kemunculan para ‘jihadis takfiri’, dan apa yang dilakukan oleh JI untuk menanggulanginya.

Saya juga menyampaikan sebagai orang yang pernah punya andil merusak tatanan yang dibuat oleh JI, ingin tahu seberapa jauh dampaknya dan apa yang dilakukan oleh JI untuk menanggulanginya, karena saya ingin ikut andil dalam menanggulangi dan memperbaiki kerusakan yang ada sebagai bentuk taubat saya.

Dia kemudian memulai diskusi dengan bercerita tentang bagaimana dirinya dan teman-temannya yang merupakan aktivis dakwah sosial sempat beberapa kali bersinggungan dengan orang-orang dari kelompok jihadis lapangan.

Ada dua cerita yang ia sebutkan untuk mengawali diskusi, dan cerita itu dia anggap sudah mewakili cerita-cerita serupa di tempat lain.

Pertama :

Ketika ada orang yang datang membawa kabar bahwa ada pelatihan militer di Poso yang sudah punya basis yang bagus di hutan/gunung dan menawarkan untuk ikut andil dalam pendanaan atau mengirimkan personel untuk ikut pelatihan di sana.

Sebagai orang dakwah yang bergerak di permukaan, tentu saja ia dan teman-temannya harus berhati-hati bersinggungan dengan gerakan yang seharusnya bersifat klandestin. Orang yang datang itu tidak diketahui asal-usulnya yang jelas, maksudnya harus ada ‘sanad’ dan track record yang bisa diketahui. Tiba-tiba datang membawa berita ‘rahasia’ dan meminta bantuan dana atau untuk ikut terlibat dalam kegiatan rahasia itu.

Hal itu menurutnya adalah sebuah tindakan yang sembrono bagi sebuah gerakan klandestin. Dengan mudahnya mendatangi orang yang sebelumnya belum dikenal dengan baik dan menawarkan kerjasama untuk kegiatan klandestin yang berisiko tinggi. Ini menunjukkan kualitas orang-orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut yang rawan terbongkar dan sangat berpeluang untuk gagal.

Tentu saja dirinya dan orang-orang seperti dirinya akan menolak dan menasehati. Tapi kemudian dirinya dan orang-orang seperti dirinya dianggap sebagai orang yang hanya duduk-duduk, mujahid mimbar, penggembos jihad, diragukan perjuangannya, dst…dst oleh orang itu.

Itulah dilemanya. Tetapi dia yakin dan tetap teguh dengan jalan yang diambilnya. Dakwah dan sistem yang sedang dibangun tidak boleh goyah oleh gangguan seperti itu. Biar saja mereka mencela, mencaci, dsb. Dakwah harus tetap jalan, karena perjuangan ini masih panjang sehingga itu menjadi prioritas pertama untuk kondisi seperti saat ini.

Saya menanggapi cerita itu dengan menyampaikan refleksi saya tekait hal tersebut. Ketika kami meminta dana kepada ummat dan ummat menolaknya dengan berbagai alasan, itu sebenarnya menunjukkan bahwa ummat belum membutuhkan jihad. Dan seharusnya kami hanya perlu menghentikan proyek itu, bukannya malah mencela orang-orang yang menolak membantu kami dan melanjutkan proyek itu dengan mencari ‘jalur alternatif’ pendanaan melalui perampokan atas nama fa’i dan sejenisnya.

Dia membenarkan refleksi saya itu dan memujinya.

Kedua :

Pernah pula ia didatangi oleh seseorang yang datang bersama istri dan anaknya yang masih kecil dan mengaku merupakan DPO (daftar pencarian orang) kasus pelatihan di Poso. Orang itu butuh tempat tinggal dan perlindungan sementara.

Pada saat itu ada ikhwan lain yang berada di tempat itu yang langsung bersimpati dan mengarahkannya agar tinggal di sebuah rumah di suatu kota sambil membantu mengurus yayasan sosial yang ada di kota itu.

Tetapi beberapa waktu kemudian si DPO itu tiba-tiba menghilang bersama keluarganya dengan posisi sedang memegang dana amanah dari para donatur untuk dipergunakan oleh yayasan tempat ia berlindung itu.

Sebenarnya pada saat ikhwan penolong itu memutuskan untuk menempatkannya untuk membantu urusan yayasan sosial di kota itu, ikhwan-ikhwan yang lain sudah ada yang mengingatkan tentang resiko misalnya si DPO itu ditangkap di kantor yayasan. Bukankah itu bisa mengurangi kredibilitas yayasan di mata ummat ?

Jadi, dengan menghilangnya Si DPO itu ada hikmahnya juga meski yayasan harus kehilangan sebagian dana miliknya. Itu dianggap lebih baik daripada jika sampai si DPO itu ditangkap pas ada di yayasan.

Menurutnya, cerita itu menunjukkan betapa para pelaku proyek klandestin itu belum siap jika menghadapi kegagalan. Kedatangan mereka ketika jadi DPO untuk meminta bantuan orang-orang yang bergerak di bidang dakwah/sosial adalah buktinya.

Berbeda dengan orang-orang yang bergerak di bidang dakwah/sosial, mereka lebih siap untuk menghadapi kegagalan. Termasuk membelotnya salah satu kader atau binaan mereka ke dalam kelompok klandestin yang tidak jelas adalah salah satu kegagalan. Tapi mereka telah mengantisipasinya, yaitu dengan mengunci agar yang sudah kotor itu tidak mengotori yang lain. Meskipun pada prakteknya tidak bisa 100% tegas dan tuntas.

Menanggapi cerita ini saya kemudian bertanya : “Bagaimana dengan para mantan napiter yang ingin kembali untuk beraktivitas bersama para aktivis dakwah seperti antum? Apakah bisa diterima kembali dengan baik?”

Dia kemudian menjelaskan bahwa posisi para mantan napiter itu adalah orang yang akan masih terus diawasi gerak-geriknya. Jadi ketika ia bergabung dengan salah satu kelompok atau komunitas aktivis, otomatis aktivitas kelompok atau komunitas yang diikutinya itu akan ikut diawasi. Dan hal ini bagi sebagian aktivis akan membuat mereka tidak nyaman.

Ia lalu menambahkan, sebaiknya para mantan napiter memilih untuk mengikuti kegiatan yang lebih umum seperti bergabung di komunitas hijrah, Bikers Muslim, komunitas hobi, dll, yang ada kegiatan dakwah atau kegiatan sosialnya. Itu menurutnya lebih aman sebagai tahap awal untuk membuktikan kepada umat bahwa ia sudah berubah. Sebelum nanti akhirnya bisa diterima di komunitas yang lebih ‘serius’.

Terkait apa yang dilakukan oleh JI dalam menghadapi fitnah terorisme dan radikalisme, ia hanya menjelaskan secara singkat. Yaitu JI saat ini berusaha untuk menyertai umat dalam menghadapi setiap persoalan yang dihadapinya dan mencoba mencarikan solusi bersama. Mulai di bidang sosial, pendidikan, pembinaan, sampai pemberdayaan.

Terakhir dia menasehati saya terkait posisi saya sebagai mantan napiter yang menjadi klien pendampingan dari LSM :

“BNPT dan LSM-LSM yang membina orang-orang seperti antum itu tidak akan pernah menganggap antum telah sepenuhnya 100% tidak menimbulkan ancaman. Betapa pun baiknya mereka melihat dan mengapresiasi perubahan positif antum, mereka tetap menganggap antum sebagai ancaman. Dan itu tidak akan pernah mencapai level nol.

Antum pun harus bersikap demikian kepada mereka. Sebaik apapun perlakuan mereka pada antum saat ini, mereka tetaplah pihak yang selalu mencari celah kelemahan kita dan potensi ancaman dari kita. Jika antum bisa melakukan hal ini, in sya Allah masih ada kebaikan yang bisa diperoleh”.

Menanggapi nasehat itu, saya hanya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena itu adalah bukti bahwa ia masih sayang dan mengharapkan kebaikan bagi diri saya meskipun saya tidak sepenuhnya sepakat dengannya. Pelajaran terpenting yang saya dapat dari diskusi itu adalah tentang sikap para aktivis dakwah terhadap ‘eksperimen jihad’ dan mantan pelaku ‘eksperimen jihad’ itu.

*****

Dari kisah ini, Anda mungkin jadi mengetahui bahwa ketika seorang mantan napiter ingin kembali terlibat dalam aktivitas dakwah dan pemberdayaan umat pada sebuah kelompok pergerakan, tidak serta merta akan langsung diterima. Itulah salah satu alasan mengapa para mantan napiter perlu alternative engagement agar tidak galau jika ditolak oleh komunitas di mana ia sebenarnya ingin bergabung.

Dan juga yang terakhir adalah bahwa para aktivis dakwah/sosial itu berpeluang melakukan salah satu delik kasus terorisme tanpa sengaja. Misalnya seperti dalam cerita di atas. Ada DPO yang datang meminta bantuan. Atau ada dana yang ia kumpulkan namun ketika sampai level di atasnya dana itu disalurkan untuk kepentingan terkait perencanaan aksi teror.

Yang jelas, berdasarkan pengalaman pribadi, pihak aparat keamanan tidak akan melakukan penangkapan pada terduga teroris sebelum ditemukan bukti awal yang kuat. Ada gelar perkara dulu sebelum dilakukan tindakan.

ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar