Toleransi dan Demokrasi : Sebuah Refleksi

Other

by Febri Ramdani

Secara etimologi, toleransi berasal dari bahasa latin, 'tolerare' yang artinya sabar dan menahan diri.  Sedangkan secara terminologi, toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati, menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada antarsesama manusia yang bertentangan dengan diri sendiri.

Dengan adanya sikap toleransi, konflik dan perpecahan antarindividu maupun kelompok tidak akan terjadi. Banyak orang menyebut toleransi sebagai kunci utama perdamaian yang patut dijaga. Hal tersebut penting untuk diperhatikan mengingat bangsa Indonesia mempunyai latar belakang perbedaan yang beragam, mulai keyakian, suku, ras, hingga warna kulit.

Berbicara masalah toleransi, sebenarnya sedari dulu saya dibesarkan dalam sebuah keluarga besar yang cukup menjunjung tinggi sikap toleran antar sesama. Hal tersebut terlaksana dengan baik di kedua belah pihak, Keluarga Ayah dan Ibu saya.

Contoh nyata dan cukup banyak hal yang bisa diambil adalah cerita dari keluarga Ayah saya. Kakek saya adalah seorang praktisi Nahdlatul Ulama (NU) yang aktif dan taat. Dia sempat menikah dengan seorang wanita etnis Tionghoa beragama Kristen, namun berubah keyakinan menjadi penganut Islam. Beberapa keturunannya juga ada yang berpindah keyakinan dari yang awalnya memeluk agama Islam menjadi Kristen. Hal tersebut sama sekali tidak menjadi masalah bagi keluarga Ayah saya. Mereka tetap bisa berhubungan baik dengan semua anggota keluarga dan saling menghargai kepercayaan masing-masing.

Bahkan anak-anak dari Kakek, termasuk Ayah saya mengenyam pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga menengah atas di sekolah Kristen. Alasannya, tingkat kedisiplinan dan sistem pendidikan di sekolah tersebut jauh lebih baik dibandingkan sekolah-sekolah negeri yang ada pada saat itu.

Dalam menjalani asas-asas atau norma dalam agama Islam sendiri pun pihak keluarga juga sangat mengedepankan toleransi. Seperti yang telah saya uraikan diatas, keluarga Ayah saya merupakan praktisi NU. Sedangkan keluarga Ibu saya lebih cenderung ke arah Muhammadiyah walaupun tidak terlalu fanatik. Hal paling umum mengenai perbedaan keyakinan antara NU dan Muhammadiyah adalah tradisi tahlilan. Sebuah tradisi mendoakan orang yang sudah meninggal dengan hitungan 7 hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000 hari.

Tahlilan telah menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat yang bercorak NU. Tradisi tersebut cenderung tidak sejalan dengan masyarakat yang bercorak Muhammadiyah. Meskipun demikian, Ibu saya dan keluarganya yang Muhammadiyah menyikapi tradisi tersebut dengan baik. Jika tidak menyetujui, penolakan pun dilakukan dengan baik tanpa ada embel-embel hujatan apalagi kekerasan.

Toleransi Keluarga Kami


Indahnya toleransi dalam keluarga saya ini pada suatu waktu menjadi redup. Sebuah cara pandang mendorong terjadinya perubahan dalam pola pikir serta perspektif di keluarga Ibu saya. Pola hitam putih justru semakin tampak, dan mereka cenderung menolak dengan keras ajaran yang tidak sejalan. Hal ini semakin rumit dengan tekanan-tekanan internal maupun eksternal. Cara pandang di keluarga saya menjadi semakin bias. Saya yang awalnya memiliki keraguan mendalam terhadap cara berpikir itu pun ikut tergelincir dan akhirnya terperangkap.

Ketika itu kami dikelilingi sebuah kelompok yang bahkan tidak mengakui demokrasi dan toleransi. Bagi mereka, orang-orang yang berpaham “Takfiri” (sebuah tuduhan yang diberikan seorang Muslim kepada Muslim lainnya sebagai kafir dan murtad), demokrasi adalah barang haram. Sebab, hal tersebut tidak ada dalam ajaran Islam. Sedangkan toleransi dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam. Islam disini tentu saja versi pemahaman mereka. Berbaik-baik dan memiliki kecenderungan kepada orang-orang Muslim/Non-Muslim yang menjadi aparat pemerintah akan dianggap fasik dan munafik. Bahkan, cap yang sama juga diberikan pada para pendukung pemerintah.

Padahal, saya ingat sekali bahwa sahabat Nabi Muhammad SAW, Umar bin Khattab RA, sudah mencontohkan toleransi dan demokrasi. Pada masa pemerintahannya, Kaum Yahudi serta Nasrani bisa bebas berniaga di wilayah kekuasaan Umar bin Khattab RA dengan tetap berlaku adil dalam setiap hal. Umar tidak memaksa mereka untuk mengubah keyakinan menjadi penganut agama Islam. Selain itu, saat ia sedang sekarat, beliau memerintahkan beberapa orang utusannya untuk mengunjungi tiap-tiap rumah di Madinah. Tujuannya menanyakan siapa khalifah yang layak menggantikan beliau. Hingga hasil pemungutan suara terbanyak ada di Usman bin Affan. Ini adalah salah satu bentuk demokrasi.

Al Quran dan Toleransi


Lebih lanjut, jika kita mengkaji dan memahami Islam dengan sepenuhnya, soal kebebasan beragama, toleransi, ini sebenarnya sudah dituliskan dalam Al-Qur’an. Terutama pada surat Al-Baqarah (2) ayat 256, serta Surat Yunus (10) ayat 40-41. Begitu juga pada Surat Al-Hujurat (49) ayat 1 yang menyebutkan bahwa Tuhan pun memang menciptakan umat manusia dengan berbagai macam ragam rupanya. Suku, ras, agama, dan etnis agar setiap manusia saling mengenal dan menghargai keyakinan masing-masing.

Pada titik ini, saya meresa beruntung, karena pahitnya hidup sudah memberi kami pelajaran. Sempat terbuai oleh narasi-narasi indah hidup berlandaskan agama di negeri nun-jauh disana, kami yang beruntung dapat kembali ini pun banyak mengintrospeksi diri. Sekarang ini, Ibu, saya, dan anggota keluarga lain sedang berusaha menjalani agama Islam dengan benar dan sungguh-sungguh. Kami kembali merangkul toleransi, demokrasi, serta aturan-aturan lain buatan manusia yang sebenarnya tidak bertentangan dengan norma-norma agama.

Saya akui bahwa kembali memiliki pemikiran terbuka ini baru saya dapatkan lagi ketika telah berada di Indonesia lagi. Pada kondisi yang sedang berusaha berubah ini, segala hikmah dan pemahaman yang Insya Allah benar mulai di “doktrin” ke dalam diri saya. Menjalin hubungan baik dengan teman, kerabat, hingga anggota keluarga yang sempat lama putus membuat saya bersyukur. Saat ini, perbedaan pendapat dan keyakinan tidak menjadi halangan bagi saya untuk bisa berhubungan baik dengan mereka.

Cara pandang saya saat ini, jika dianalogikan maka akan seperti, air dan minyak yang dimasukkan ke dalam sebuah gelas.

"Tidak bisa bersatu, namun tetap bersama dalam satu tempat untuk memenuhi kekosongan di gelas tersebut."


Komentar

Tulis Komentar