Bonsai Sampah Plastik: Karya Sepenuh Hati dari Balik Jeruji

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Bagaimana pendapat Anda terhadap gambar ‘bonsai’ di atas? Cantik bukan? Siapa sangka jika itu terbuat dari sampah plastik yang kita anggap sebagai sumber pencemaran lingkungan. Untuk mengurangi sampah plastik, banyak orang yang berupaya membuat benda-benda bernilai ekonomis dari mengolah sampah plastik. Tetapi untuk menjadi bonsai seperti di atas masih banyak yang belum mengetahuinya. Termasuk saya.

Adalah Wisnu Dwi Putranto (37 tahun) seorang mantan narapidana teroris (napiter) asal Kota Probolinggo, Jawa Timur yang membuatnya. Ia yang baru bebas pada 26 Agustus 2020 yang lalu menunjukkan karya itu ketika saya datang berkunjung ke rumahnya. Karya seperti pada gambar itu bisa laku Rp200ribu hingga Rp300ribuan.

Untuk membuat karya seperti itu dibutuhkan ketelatenan dan waktu yang lumayan lama. Bisa sampai seminggu untuk jenis yang agak rumit. Ia harus melelehkan plastik-plastik bekas dengan membakarnya dan meneteskannya sedikit demi sedikit pada rangka bonsai yang dibuat dari lilitan kawat. Hingga akhirnya membentuk batang bonsai seperti yang diinginkan. Barulah kemudian ia menempelkan daun dan bunganya yang juga terbuat dari plastik dengan warna yang dibutuhkan. Semakin besar bonsai yang ingin dibuat, semakin besar pula tingkat kesulitannya.

Kegiatan membuat bonsai itu menurutnya cukup membantu meringankan bebannya ketika menjalani pidana di Lapas. Meringankan beban psikis dan ekonomi.

Dari sisi psikis kegiatan itu bisa membantunya menghabiskan waktu dengan membuat sebuah karya. Dengan begitu ia bisa merasa terhibur dan termotivasi. Ini sama persis dengan yang saya alami dulu. Hidup di tempat yang serba susah akan terasa lebih ringan ketika masih bisa bermanfaat bagi yang lain. Merawat tanaman, hewan piaraan, berternak, membuat kerajinan tangan, membuat karya seni, dan lain-lain adalah hal-hal yang biasa dilakukan oleh para narapidana untuk menjaga agar tetap berpikir positif.

Melihat potensi nilai ekonomis dari bonsai buatannya itu, saya mengusulkan bagaimana jika keahlian itu diajarkan kepada banyak orang? Itu sebuah keahlian yang langka. Di saat orang-orang sedang mencari ide bagaimana mengurangi sampah plastik, ide mengolah sampah plastik menjadi bonsai yang cantik itu pasti akan laku.

Saya kemudian pertama kali menawarkan ide itu kepada Kepala Desa Pegalangan Kidul. Sebagai kades yang sedang getol mewujudkan desa yang maju karena program cinta lingkungan, ia menyambut baik ide itu. Pengolahan sampah plastik memang sedang digalakkan di desa itu selain pengolahan limbah peternakan sapi dan pembuatan kompos dari sampah organik.

Apalagi itu menyangkut membantu mantan napiter yang sedang membangun reputasi pasca bebas dari penjara. Beliau sangat bersemangat menyambut ide itu. Tinggal membuat kesepakatan terkait pelaksanaan pelatihan itu. Kalau soal peserta pelatihan, masih banyak ibu-ibu di desa Pegalangan Kidul yang butuh aktivitas tambahan. Ini adalah sebuah respon yang bagus.

Bagi seorang mantan napiter yang baru bebas, tanggapan atau sambutan positif dari masyarakat seperti itu adalah sesuatu yang sangat berarti. Ia menjadi merasa dihargai dan bukan ditakuti. Merasa diterima dan tidak dijauhi. Itu penting sekali untuk membangun kepercayaan diri dalam meniti kehidupan baru pasca bebas dari penjara.

Dan semua itu bisa diawali dengan menunjukkan sebuah karya. Meskipun karya itu bisa jadi sederhana, tapi sarat makna. Karya itu adalah bukti bahwa si mantan napiter itu ingin berubah menjadi lebih baik.

Seperti bonsai karya Wisnu Dwi Putranto itu. Dalam proses membuatnya itu melibatkan seluruh perasaannya. Ia membuatnya sambil menahan rasa rindu pada keluarganya, rasa penyesalan akan kesalahan yang diperbuatnya, dan rasa cintanya pada keluarganya sehingga ia perlu untuk tetap berpikir positif dalam keadaan apapun.

(Sumber Foto : Dok. Pribadi Wisnu Dwi Putranto)

Komentar

Tulis Komentar