Gaya Obrolan Nyeleneh Orang-Orang Tajir

Analisa

by Kharis Hadirin

Sebagai orang yang lahir dan besar di lingkungan jelata yang hidup dalam warisan kemiskinan, mendengar gaya obrolan orang-orang tajir dan keyong-reyong memang sering bikin “ambekan sesek”.

Misalnya beberapa waktu lalu, sebut saja si A dan si B. Si A yang seorang seniman tulen dan kebetulan kerja di Jakarta, hendak pindah ke kantor baru di daerah Yogyakarta. Karena si A suka dengan ketenangan, maka dia memilih tempat untuk kantor barunya sebagai rumah komunitas yang lokasinya di desa dan di kelilingi sawah.

Si B yang tahu lokasinya, langsung nyeletuk “Aku mau nanya harga sawahnya berapa yang depan rumah komunitas? Mau tak borong semuanya.

Hehhh, asem tenan!! Beli sawah dipikir kayak beli kerupuk, mau diborong semua. Itu stadion GBK saja kalau ditaruh disana masih muat plus jogging tracknya.

Lalu ada lagi, ceritanya seorang pengusaha mau beli jam tangan di pusat koleksi jam mewah. Dan terjadilah obrolan antara si penjual dan pembeli.

Penjual : Kamu pake jam tangan apaan?

Pembeli : Rolex

Penjual : Kamu nggak malu?

Beh, padahal harga jam tangan rolex yang paling murah lihat di situs Blibli itu 115 juta. Duit 115 juta buat acara kawinan di Lamongan itu sudah bisa ngundang orang sekampung. Edann edan!

Melihat gaya hidup orang-orang kaya, terkadang memang sangat menjengkelkan. Sebab di saat kita sebagai rakyak jelata yang bergantung pada gaji UMR untuk menopang sendi-sendi kehidupan, orang-orang ini justru dengan begitu mudahnya menghamburkan rupiah.

Saya pernah beberapa kali mendengar cerita orang-orang yang terpaksa harus menunda untuk berumah tangga meski umur sudah masuk kepala tiga. Umumnya, karena terkendala soal dana. Alasan ini cukup klise memang, tapi seperti itulah realitanya. Dan ketika melihat ada artis atau orang-orang yang pamer habis belanja mobil mewah atau jam yang harganya bisa sampe miliaran rupiah, disitulah jiwa misqinque meronta-ronta.

Bagaimana tidak, saya yang belanja baju 200 ribu saja untuk makan sudah merasa tidak enak dan tidur tidak nyaman.

Mungkin kita iri melihat gaya hidup orang-orang tajir ini, hidup bergelimang harta dan dikepung oleh berbagai kenikmatan dan fasilitas mewah. Lepas dari itu semua, berpangku pada nasib dan menyerah pada keadaan juga tidak akan menyelesaikan persoalan. Karenanya, cara terbaik agar kita tetap merasa “gagah” adalah dengan mensyukuri apa yang sudah kita punya dan terus bekerja keras tanpa kenal lelah.

Komentar

Tulis Komentar