Puri Brata: Melepas Penat di Selatan Yogyakarta

Review

by Eka Setiawan

Selasa 21 Juli 2020 pukul 10.15 WIB, setelah sekira 45 menit berkendara dari sekitaran Malioboro Yogyakarta ke selatan, sampailah kami ke sebuah tempat di selatan Yogyakarta. Namanya Puri Brata Resort & Galery. Lokasi tepatnya di Jalan Samas Kuwaru, Dukuh Kalimundu, Desa Gadingharjo, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Seorang perempuan berjilbab, yang belakangan kami ketahui sebagai salah satu pekerja di sana, ramah menyambut. Menyilakan untuk cuci tangan di sebuah wastafel berbahan batu sebelum mempersilakan masuk. Diarahkan naik tangga menuju ke sebuah pendopo.

Tak lama, si pemilik yakni RM. Cahyo Bandhono datang menemui kami. Lelaki berusia 48 tahun itu mengenakan baju warna putih, celana warna abu-abu dan bersandal jepit. Seperti ketika sempat kami temui 2 pekan sebelumnya di Yogyakarta, Cahyo tetap ramah.

R.M. Cahyo Bandhono
 

Senyum ramah dari si pemilik resort termasuk para pekerjanya di sana, membuat suasana makin adem. Selain tentu saja karena resort itu memang penuh pepohonan.

Di pendopo, kami duduk di meja dan kursi kayu. Tak lama, sepiring sukun goreng yang masih panas dan seteko air putih sudah tersaji di meja tempat kami duduk berhadapan untuk mengobrol. Tersaji juga camilan rempeyek kacang dan gorengan intip di wadah toples kaca.

“Ini sukun kami tanam sendiri, itu pohonnya. Jadi tinggal metik saja. Air putihnya juga kami mengolah sendiri,” kata Cahyo membuka obrolan.

Kami langsung mengarahkan mata ke sekeliling pendopo. Memang penuh pohon-pohon. Aneka macam. Di antaranya; mulai dari kamboja, pule, pepaya, srigading, kelapa, hingga nangka. Tanaman palawija dan obat juga ditanam di sini. Semuanya membuat suasana Puri Brata jadi rindang, padahal lokasinya hanya beberapa kilometer saja dari pantai.

“Kami memang sengaja menanam sendiri, jadi dari pohon langsung bisa dimasak dihidangkan, nggak usah lewat pasar. Itu konsep yang diterapkan di sini,” lanjutnya.
Tempat bersantai di luar pendopo

 

Mereka yang menanam dan merawat, selain Cahyo sendiri, juga pekerja-pekerja di sana. Para pekerja adalah penduduk lokal sekitaran resort, mulai dari tamatan SMP, SMA ada juga janda. Semuanya dipekerjakan, selain tentu saja dilatih untuk jadi profesional mengurus resort. Total karyawan di resort itu ada 15 orang.

Mereka dilatih menanam, merawat pohon dan sayuran yang bisa diolah jadi komoditi dagang, itu jadi cara tersendiri untuk tetap bertahan, terutama di tengah pandemi ini.

Secara swadaya Cahyo dan para pekerjanya mengolah buah-buahan, membuat teh dari bunga srigading, membuat tempe, tahu, merawat lahan, produksi air minum, termasuk makanan pokok. Itu disajikan di resto resort, dikonsumsi sendiri ataupun diolah untuk dijual. Soal air minum, di Puri Brata bisa produksi mandiri 50 hingga 100 galon per hari. Diproduksi dengan standar kesehatan yang ketat.

“Jadi saat pandemi ini tidak ada yang diliburkan atau dirumahkan, aktivitas saja seperti biasa. Hanya memang saat pandemi ini, penginapan belum bisa buka, menyesuaikan kebijakan dari kecamatan di sini,” sambungnya.

Di sela-sela obrolan, seorang perempuan pekerja di sana yang lain, menghidangkan makan siang. Menunya; tahu dan tempe bacem, sayur oyok-oyok, pelas buluk ditambah kerupuk nasi. Sewadah nasi putih panas plus seteko teh srigading juga tersaji. Sepiring buah pepaya juga tersaji.

Semua makanan itu, sebut Cahyo, juga produksi sendiri, mulai dari bahan-bahannya termasuk memasaknya. Mengambil dari resort maupun bahan-bahan dari hasil penduduk lokal.

“Bumbunya juga alami. Jadi kalau soal ketahanan pangan kami sudah memulai,” kata Cahyo.

Tak menunggu lama, kami makan lahap sekali. Rasanya benar-benar lezat.

Pulang

Puri Brata Resort & Galery terdiri dari beberapa bangunan, baik berbentuk joglo maupun limasan. Untuk bangunan penginapan ada 12 unit terdiri 15 kamar, model limasan. Tiap kamar diberi nama tembang Jawa, seperti: Pangkur, Asmaradana, Gambuh hingga Kinanti.

Bangunan yang berdiri di atas tanah seluas setengah hektar itu juga dilengkapi mini kapel ruang meditasi, perpustakaan, hingga ruang pertemuan yang bisa menampung 100 orang.

Hiasannya juga punya cerita tersendiri, di antaranya; mesin ketik lawas yang punya cerita pertemuan Akbar dan Nina Tandjung ketika masih jadi wartawan, wayang Bima dan Wisanggeni yang punya filosofi pemimpin harus mendengar –hadiah dari Hamengku Buwono VII-, punakawan, sepeda motor lawas milik Sampoerna hingga sebuah becak.

Karyawan menyiram tanaman

 

Puri Brata ini mulai digarap tahun 1998, dari awalnya untuk menginap teman-teman Cahyo maupun keluarganya, dari tak bertarif hingga mulai tahun 2010 bertarif. Dipasarkan dari mulut ke mulut sampai akhirnya melalui online sejak tahun 2019.

Setiap bangunan di sana, memiliki ciri tersendiri yang berbeda satu sama lain, termasuk tiap jengkal jalan antarbangunan. Pun dengan hiasannya, serupa mesin waktu, orang-orang akan dibawa ke kenangannya tentang desa, rumah dan atmosfir suasananya.

Di Puri Brata, pengunjung juga bisa belajar membatik, menari, membuat minuman olahan, membuat jamu, hingga bersepeda ke pantai.

Meskipun para karyawan di sana tak ada satupun yang lulusan perhotelan, standar penginapan tetap nomor satu; kenyamanan, kebersihan dan keramahan.

“Ketika di sini, ketika jenuh dengan suasana perkotaan dan rutinitas kerja, maka serasa pulang. Jauh dari hiruk pikuk. Setiap unit dibangun berbeda juga punya filosofi tersendiri bahwa ketidakberagaman itu bagus,” tandas Cahyo yang juga seorang arsitek profesional itu.

 

FOTO-FOTO: RUANGOBROL.ID/EKA SETIAWAN

 

 

Komentar

Tulis Komentar