Anak Muda dan Terorisme: Bom Bali hingga Bom Polrestabes Medan

Analisa

by Eka Setiawan

Sejumlah kasus terorisme yang terjadi di Indonesia, melibatkan anak-anak muda, melihat klasifikasinya dari remaja awal hingga dewasa awal. Meskipun bukan dalam kapasitas mentor atau ideolog, mereka jadi pelaku aktif.

Tengok saja kasus Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Kedubes Australia alias Bom Kuningan, Bom Gereja Injil Sepenuh Solo dan berbagai kasus lainnya. Mereka teradikal sejak usia muda.

Dihimpun dari berbagai sumber; Abdul Azis misalnya, alias Imam Samudra, di umur 21 tahun (kelahiran 1969) berangkat ke Afghanistan untuk ikut berperang. Transit Malaysia, Pakistan sebelum masuk Afghanistan yang ketika itu perang dengan Uni Soviet. Ketika itu tahun 1990. Ongkos ke sana didapat dari menjual perhiasan ibunya. Dua belas tahun kemudian, tepatnya usia 33 tahun, dia terlibat aksi besar yakni Bom Bali I (tahun 2002).

Heri Kurniawan alias Heri Golun alias Igun, asal Sukabumi Jawa Barat, pelaku bom Kedubes Australia (bom bunuh diri mobil boks 2004), usianya ketika itu 26 tahun. Rois, salah satu terpidana kasus itu, juga ketika ditangkap usianya 28 tahun.

Eksekutor Bom Bali II (2005), salah satunya yakni Ayip Hidayat (kelahiran Ciamis Jawa Barat) ketika itu didentifikasi Polri berusia 25 tahun. Pelaku lainnya: Salik Firdaus usianya 23 tahun (asal Majalengka Jawa Barat), Salik adalah tamatan madrasah di Cikijing Majalengka sebelum mondok di Pesantren Darusyahadah Boyolali. Setelah itu dia mengajar jadi guru agama di pondok Al Muttaqin Cirebon dan di As Salam Majalengka. Pelaku ke-3 Bom Bali II, bernama Wisnu alias Misno asal Cilacap, ussianya ketika itu 23 tahun.

Bom di Gerja Sepenuh Solo (2011) pelakunya Ahmad Yosefa alias Hayat, yang punya nama asli Pino Damayanto usianya 31 tahun ketika melakukan bom bunuh diri itu. Pino lahir di Losari Cirebon 19 Oktober 1980, dia juga oleh keluarga kerap dipanggil Ahmad Urip karena sering sakit-sakitan.

Percobaan bom bunuh diri di Gereja Katholik Santo Yosep Medan, Sumatera Utara (Minggu 28 Agustus 2016 pukul 08.00 WIB), juga dilakukan oleh anak muda. Pelakunya Ivan Ahmadi Hasugian (18), yang belakangan divonis 5 tahun 2 bulan di PN Jakarta Timur. Saat kejadian bom dalam ranselnya tak meledak, Ivan lalu menggunakan senjata tajam menyerang Pastor Albert Pandingan yang ketika itu sedang memimpin Misa.

Keterlibatan usia muda dalam terorisme juga bisa dilihat dari  ditangkapnya tersangka Barkah Nawa Saputra di Solo akhir September 2012, usianya ketika itu 24 tahun. Salah satu nama aliasnya adalah Robot, karena dia pintar elektro dan soal robotik.

Sabtu 8 April 2017 terjadi insiden penembakan kepada polisi lalu lintas di Tuban, Jawa Timur. Salah satu penyerangnya juga berusia belia, bernama Satria Aditama (19 tahun) warga Ngaliyan Semarang, yang tewas dalam kontak tembak dengan aparat tak lama setelah beraksi.

Kasus bom Pos Mudik Lebaran 2019 di Sukoharjo, dengan pelaku Rofiq Ahsarudin juga memperpanjang kasus terorisme di Indonesia dengan pelaku usia belia. Bomber gagal itu ketika beraksi masih berusia 22 tahun.

Anak muda jadi pelaku aktif terorisme di Indonesia, teranyar juga ada di kasus bom bunuh diri di Polrestabes Medan (Rabu 13 November 2019), pelakunya anak muda, yakni Rabbial Muslim Nasution warga asli Medan, seorang YouTuber (yang salah satu kontennya mengejek pemerintahan Jokowi), usianya saat insiden adalah 24 tahun.

Di 2020 ini, juga ada penangkapan anak muda oleh Densus 88. Sebut saja Taufik Rahmadani, usianya 23 tahun ketika ciduk aparat pada April 2020 di Kota Semarang. Sama seperti Barkah yang di Solo itu, Taufik juga pintar elektro.

Berbagai alasan keterlibatan mereka yang sudah tersebut di atas itu dalam kasus terorisme, termasuk perannya masing-masing. Ada yang menjadi eksekutor, ikut merakit bom ataupun terlibat dalam kelompok teroris sebagai pendukung saja.

Melihat umurnya, mereka masuk dalam kategori anak muda hingga dewasa awal. Ini merujuk Departemen Kesehatan RI (2009), untuk anak muda atau remaja bisa diklasifikasikan: remaja awal (12-16 tahun), remaja akhir (17-25 tahun), sementara usia 26 hingga 35 tahun adalah masa dewasa awal.

Sementara, batasan usia anak sendiri sesuai Konvensi Hak Anak yang disetujui Majelis Umum PBB (20 November 1989) adalah di bawah 18 tahun. Berdasar UU nomor 35/2014 tentang Perubahan Atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak terhitung dari dalam kandungan hingga usianya 18 tahun kurang 1 hari.

Hak-hak mereka tentu masih didapat, termasuk ketika berhadapan dengan hukum. Ivan Ahmadi Hasugian pelaku teror bom dan penyerangan pendeta di Gereja Katholik Santo Yosep Medan, saat disidang digelar tertutup, merujuk sistem peradilan anak. Ketika itu belum genap 18 tahun usianya.

Di usia belia itu, dia terinsipirasi pimpinan ISIS Abu Bakr Al Baghdadi, ini dilihat dari sejumlah barang bukti yang ditemukan polisi, di antaranya; video unduhan berisi cuplikan aksi radikal ISIS, video itu diunduh dari warnet milik kakaknya, selain itu di tas ranselnya pun terdapat tulisan I Love Baghdadi.

Propaganda-propaganda kelompok teroris nampaknya tertancap kuat di pikiran anak-anak muda itu, hingga akhirnya tergelincir ke kelompok teroris ataupun tak masuk kelompok namun beraksi sendiri. Bertindak atasnama “agama” yakni menghalalkan penyerangan hingga kekerasan kepada orang-orang yang berbeda keyakinan atau dianggap musuhnya juga jadi salah satu motif para pelaku melakukan aksi teror.

 

ilustrasi: Pixabay.com

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar