Modus Perekrutan dan Penguatan Jaringan Pendukung ISIS di Penjara

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Beberapa hari yang lalu dalam sebuah sesi diskusi online, ada salah satu audiens yang bertanya kepada saya: apakah benar penjara bisa menjadi tempat yang bagus untuk perekrutan jaringan (pendukung radikalisme/terorisme) yang baru atau memperkuat level radikal seorang narapidana terorisme (napiter)?

Sebuah pertanyaan yang bagus. Mengingat adanya beberapa kasus pelaku aksi terorisme yang berasal dari mantan narapidana kriminal umum dan juga mantan napiter yang semakin tinggi levelnya.

Mantan narapidana kriminal umum yang tersangkut kasus terorisme yang terbaru adalah yang baru-baru ini ditangkap di Surabaya. Dia diduga terpapar ketika di penjara bersama beberapa napiter di sebuah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Madura Jawa Timur.

Mantan napiter yang beraksi lagi dengan level yang lebih tinggi salah satu contohnya adalah Sunakim, pelaku serangan di Jl. Thamrin bulan Januari 2016 yang lalu. Ia dulunya adalah terpidana terorisme kasus pelatihan Aceh. Ia masih belum puas. Setelah bebas ia kemudian melakukan aksi ‘istimata’ (meminjam istilah Imam Samudra yang berarti mencari mati) dengan melakukan penyerangan di Jl. Thamrin. Dan masih banyak lagi kasus residivisme di kalangan mantan napiter yang lain.

Hal inilah yang kemudian memicu timbulnya pertanyaan di awal tulisan. Apakah benar penjara bisa menjadi tempat yang bagus untuk perekrutan jaringan (pendukung radikalisme/terorisme) yang baru atau memperkuat level radikal seorang napiter?

Jawaban singkatnya adalah: Benar. Itu sangat mungkin terjadi. Setidaknya di masa lalu di mana saya pernah berada di tengah-tengah mereka. Lalu bagaimana modusnya? Inilah yang memerlukan jawaban yang panjang.

Saya akan mulai dari bagaimana seorang napiter bisa semakin meningkat levelnya. Seperti biasa, penjelasan saya berupa cerita yang saya saksikan.

Pengaruh Ustaz

Dahulu ketika masih di Rumah Tahanan Mako Brimob saya bertemu dengan banyak tahanan sesama napiter dari berbagai daerah. Mulai Sumatera, Jawa, Bima, sampai yang dari Poso Sulawesi Tengah.

Kualitas intelektual atau kelimuan masing-masing mereka tentu berbeda-beda. Ada yang baru ikut ngaji sebentar, ada yang sudah lama ngaji tapi statusnya hanyalah pengikut, dan ada pula yang berilmu dengan status ustaz.

Jika Sang Ustaz adalah seorang ustaz yang bijak, biasanya juga akan membuat para pengikutnya semakin dewasa atau bijak. Misalnya, ia berkata kepada para pengikutnya: “Kita ini sedang berada di penjara, tidak usah memikirkan apapun selain agar bagaimana kita bisa melalui ujian penjara ini dengan baik dan bisa segera kembali ke keluarga. Urusan setelah bebas mau ngapain itu pikir nanti jika sudah bebas”.

Namun jika sosok Sang Ustaz adalah orang yang belum puas dengan apa yang telah dilakukannya sehingga dirinya dipenjara, ia justru akan semakin giat mendakwahkan pemahamannya kepada orang-orang di sekitarnya. Ia menganggap penjara tak ubahnya pesantren di mana ia bisa mendapatkan santri-santri potensial tanpa harus melakukan ‘safari dakwah’ seperti ketika dirinya masih di luar.

Bantuan Sosial di Penjara

Apalagi jika Sang Ustaz bisa memberikan sedikit bantuan sosial kepada para pengikutnya. Maka akan semakin solidlah ikatan antara si ustaz dan para pengikutnya. Bantuan sosial itu biasanya didapat dari lembaga-lembaga pengumpul sedekah dari para simpatisan mereka, di mana si ustaz adalah orang yang ditokohkan oleh para pengurus lembaga itu. (Saya akan menuliskan tentang fenomena lembaga pengumpul sedekah ini pada kesempatan yang lain).

Saya masih ingat bagaimana dulu ketika ISIS sudah mendeklarasikan diri kepada dunia, tiba-tiba ikhwan-ikhwan yang tadinya mendapat santunan dari sebuah lembaga amal dicoret dari daftar penerima karena disebut tidak mau berbaiat kepada ISIS.

Jadi para ustaz yang belum puas itu memanfaatkan bantuan sosial itu untuk meningkatkan loyalitas para pengikutnya.

Bantuan sosial itu juga dimanfaatkan oleh para napiter pengikut ISIS di lapas untuk menjaring anggota baru. Hal ini saya saksikan sendiri ketika sudah berada di lapas bersama beberapa orang yang pro ISIS.

Awalnya para napiter pro ISIS itu membuat sebuah pengajian untuk napi umum. Peserta kajian itu datang dengan berbagai motivasi. Ada yang benar-benar karena ingin belajar agama, namun tak sedikit pula yang karena ingin merasa aman dengan mendekat kepada para napi teroris.

Napi teroris itu kalau di lapas paling disegani oleh para napi umum karena mendapat perlakuan khusus dari para petugas lapas.

Nah, setelah beberapa lama mengikuti kajian, mulailah para napiter pro ISIS itu memberi reward pada pengikut mereka. Setiap kali para napiter pro ISIS itu mendapat pasokan logistik dari para simpatisannya di luar, para pengikutnya itu juga dikasih bagiannya. Hal ini membuat ikatan di antara mereka semakin kuat.

Meskipun untuk di Lapas Salemba program perekrutan mereka bisa dibilang tidak berhasil karena kesigapan petugas lapas dalam mengantisipasinya, tetapi cara itu cukup ampuh untuk merekrut anggota baru. Dan saya yakin modus yang seperti itu juga terjadi di lapas-lapas yang lain.

Mau tahu apa yang dilakukan pihak Lapas Salemba pada para pengikut napiter pro ISIS? Biasanya mereka kemudian dipindahkan ke lapas lain atau diancam tidak bisa mengurus Pembebasan Bersyarat (PB) .

ilustrasi:pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar