Kartini dan Kedekatan Ayah-Anak Perempuannya

Analisa

by Rizka Nurul

Sosok Kartini dianggap sebagai tokoh emansipasi perempuan di Indonesia. Pemikirannya mungkin telah dipikirkan oleh perempuan-perempuan sebelumnya. Namun perempuan kelahiran 21 April 1879 itu berhasil memberikan jejak melalui tulisannya yang dimuat di media Belanda dan surat-surat yang ia kirim kepada Estella Zeehanderlaar.

Surat dan tulisannya kemudian dielaborasi dan direfleksikan kembali oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku, Panggil Aku Kartini Saja. Buku setebal 290 halaman tersebut memang mungkin belum patut jadi rujukan sejarah seorang Raden Ajeng Kartini Djojoadiningrat. Apalagi Pramoedya dikenal sebagai novelis bukan ahli sejarah meski ia mengkategorikan buku ini sebagai biografi.

Ada sub-bab menarik mengenai Kartini di buku ini yang dibahas khusus oleh Pram. Pram menuliskan "Kartini - Anak Bapa" pada halaman 63 di Bab kedua. Baik film Kartini yang disutradarai Hanung Bramantyo ataupun semua buku tentang Kartini selalu menyebutkan sang bapak sebagai aktor poligami. Kartini pun menentang poligami meski ia akhirnya merelakan diri dipersunting lelaki tiga istri. Padahal sebagai tokoh emansipasi perempuan, ia berkali-kali menyuarakan ketidakadilan, poligami sangatlah patriarki dan menentang hak perempuan. Bagaimana bisa Kartini menjadi anak yang mencintai Bapak sedangkan bapaknya berpoligami?

Surat pada Nyonya Abendanon menggambarkan bagaimana Kartini kecil bertanya jadi apa ia kelak kepada ayahnya setelah ditanya oleh guru di sekolah. Ia menjadikan ayahnya sebagai tempat berpaling ketika ia tahu ibu kandungnya, ibu tuanya, abang-abangnya mungkin tak akan memuaskan hatinya. Pram memperhatikan betul bagaimana sentimennya seorang Kartini ketika berbicara tentang ayahnya.

Kartini mengangungkan sang Ayah sebagai pujaan hatinya. Raden Mas Adipati Sosroningrat, ayah Kartini selalu mendukung gagasannya, cita-citanya dan impian Kartini. Bahkan sang Bupati itu sempat berniat menyetujui Kartini meneruskan sekolah ke Belanda, hal yang sangat tabu dalam adat istiadat saat itu. Banyak yang mengira hal itu juga yang membuat ayah Kartini tetap menjadi good father but not good husband.

Misalnya dalam suratnya kepada Estella, Kartini sempat menceritakan mengenai adat istiadat yang membelenggunnya namun secara bersamaan, banyak orang menyerang ayahnya atas apa yang ia lakukan. Ia tak ingin Estella menyalahkan ayahnya.

Semua saja tahu dan mengerti betapa gentingnya kedaan kami, orang pun mengatakan, bahwa Ayah bersalah telah berikan kepadaku pendidikan ini. Tidak! Tidak! Jangan lemparkan kesalahan itu pada Ayah tercinta! Jangan! Sekali lagi jangan! Ayah tak dapat berbuat sesuatu pun, tak dapat meneropong sebelumnya, bahwa pendidikan yang ia berikan kepada semua anaknya, telah mengakibatkan kepadanya sedemikian rupa


Beberapa sumber menunjukkan bahwa Raden Mas Adipati Sosroningrat merupakan 4 dari puluhan bupati yang merupakan lulusan Belanda. Pendidikan yang mumpuni bisa jadi yang melatarbelakangi keterbukaan pemikiran terhadap perkembangan Kartini. Ibu kandung Kartini, Ngasirah, bukanlah gundik ataupun selir, melainkan istri pertama sah sang Bupati. Status yang bukan raden ayu membuatnya tak berhak tinggal di pendopo kabupaten. Sosroningrat kemudian menikah lagi dengan seorang anak bangsawan untuk mempertahankan status bupati turunan ayahnya.

Dampak Positif Hubungan Baik Anak Perempuan dan Ayah


Psikolog Michael Austin dari Eastern Kentucky University mengatakan bahwa anak perempuan belajar lebih banyak kepada ayahnya. Ia akan belajar mengenai kepercayaan diri, citra diri dan sosok pria pilihan dari ayahnya. Sehingga hubungan baik antara ayah dan anak perempuan berdampak pada jangka panjang.

Integritas dan kejujuran seorang ayah juga menjadi penting dalam menjalin hubungan terhadap anak perempuannya. Austin percaya bahwa anak perempuan akan lebih dalam merasakan cinta sang ayah dibanding anak laki-laki. Ini yang mungkin juga dirasakan oleh Kartini.

Ibu kandung selalu percaya bahwa ayahnya adalah seorang yang baik sehingga tak pernah sekalipun Ngasirah menjelekkan ayahnya. Belum lagi perhatian sang ayah yang tak pernah luntur kepada semua anak-anaknya membuat Kartini bergantung kepada ayahnya. Bahkan dalam suratnya kepada Nyonya Nellie van Kol tahun 1896, Kartini berkata hanya ayahnya dan kakaknya (Raden Mas Panji Sostrokartono) yang memahami isi pikirannya.

Pernikahan Kartini juga didasari oleh permintaan ayahnya. Dalam buku Gelap Terang Hidup Kartini terbitan Tempo, ayah Kartini yakin bahwa anaknya itu berhak mengenyam pendidikan tinggi. Namun, ia terpaksa mengurungkan niatnya karena alasan adat. Sang Bupati pun membalas dosanya dengan membiarkan anaknya bergaul, membaca, bahkan berkontribusi luas dan menunda pernikahannya. Banyak cibiran datang yang tak terbendung hingga ia mengalami psikosomatik dan jatuh sakit. Kartini mengalah dan menikah di usia 24 tahun yang kemudian meninggal 17 September 1904. Dan ayahnya meninggal empat bulan kemudian.

Komentar

Tulis Komentar