Persoalan Nama yang Bikin Pusing Kepala

Other

by Eka Setiawan

Persoalan nama kadang bikin pusing kepala. Tapi tak sedikit pula dari nama, akhirnya jadi suatu perkumpulan, menyambung persaudaraan. Sebut saja Paguyuban Sugeng, yang isinya orang-orang bernama Sugeng atau mengandung kata Sugeng dalam namanya.

Di Indonesia, nama Sugeng jadi paling populer, setidaknya versi MURI (sebab ketika itu Paguyuban Sugeng dapat rekor MURI), pada 2012 lalu jumlahnya 4.500 orang, tersebar sampai ke Australia anggotanya.

Sugeng ini tentu merujuk nama manusia ya, bukan bahasa Jawa, seperti sugeng tindak (selamat jalan), sugeng enjing (selamat pagi), sugeng ndalu (selamat malam), ataupun sugeng rawuh (selamat datang) seperti yang biasa terpampang di acara-acara mantenan atau sunatan.

Kira-kira sugeng itu artinya selamat. Nah, kalau ada orang dinamai sugeng, artinya kira-kira agar orang itu selamat. Nama adalah doa.

Setahu saya, sependek yang saya tahu, di Jawa erat sekali nama-nama diberikan orangtua sebagai doa, agar kelak perjalanan hidupnya selalu dikelilingi hal-hal baik. Jadi wajar kalau ada nama-nama macam: Slamet, Tulus, Budi hingga Joko.

Orang punya nama (hampir saya pastikan 100 persen) tentu pemberian orangtua. Wong mau lahir di mana, dari rahim siapa, kita nggak bisa request kok. Tetiba saja brojol ke dunia. Memang ada beberapa orang yang namanya hasil pemberian, misalnya dari tokoh terpandang, dari kyai, orang yang dianggap alim. Bahkan dari orang-orang yang dipandang “sakti” kaya di film-film kolosal.

Tapi semuanya tentu saja merujuk pada yang baik-baik. Di Jawa, misalnya, ada kepercayaan, kalau anak kecil sakit-sakitan, kadang sampai diganti namanya. Ada keyakinan tertentu penamaan seseorang berkaitan erat dengan perjalanan hidupnya..

Ini ternyata tak hanya di Jawa, di Indonesia, di luar negeri juga ada “pelarangan” nama-nama tertentu, ada juga beberapa kasusnya. Misalnya di Rusia, ada anak yang mau dinamai Viagra, ini sampai pemerintah setempat turun tangan, cepat-cepat melarangnya. Di Jerman, orang tidak boleh dinamai Adolf Hitler, ini berkaitan dengan sejarah mereka. Masih banyak lagi soal nama-nama dan larangannya di berbagai belahan dunia.

Ngomong-ngomong soal nama, ya namanya manusia, kadang “enggak bersyukur”. Sudah dikasih nama bagus-bagus, eh diganti sendiri. Alasannya beragam; tapi menurut teropong saya, lebih pada anggapan naiknya status sosial tertentu.

Misal ada orang namanya Wati, eh ditulisnya Watty, Susi jadi Sussy, Joko dan Jack. Tak hanya ejaan, tulisan pun diubahnya. Jadi ingat pelajaran Bahasa Indonesia tentang homonim, homograf dan homofon hehehe.

Soal nama ini, tak jarang seseorang lebih populer karena julukannya. Kadang ditempatkan di belakang nama aslinya. Selain sebagai pengingat, kadang juga merujuk pada sifat, tempat tinggal, kebiasaan atau sebab lain.

Di kalangan jurnalis kriminal di Kota Semarang, ada salah satu pejabat polisi yang populer dipanggil Budi Longsor. Sebabnya, rumah beliau sempat longsor taludnya, menimpa rumah-rumah kecil di bawahnya. Ketika meliput di sana, sampai bersitegang. Akhirnya kawan-kawan “sepakat” menjulukinya Budi Longsor.

Ternyata, soal nama ini, juga ada yang bikin pusing kepala. Sebut saja, pada konteks terorisme, seorang teroris (eks narapidana teroris ataupun pelaku yang kini mendekam di penjara ataupun sudah meninggal) kerap punya banyak nama.

Nama aliasnya banyak sekali. Sampai-sampai untuk mendata, menghafalnya kerepotan. Tentu mereka punya alasan sendiri-sendiri soal banyaknya nama mereka. Ini juga berkaitan dengan “cita-cita” hingga idola. Jadi jangan heran kalau ada nama Abu Jihad sampai julukan Rambo yang disandang mereka-mereka itu.

Alasan agar tak mudah terdeteksi juga diungkapkan salah satu eks narapidana terorisme di Jawa Tengah, lewat sebuah obrolan di Kota Semarang, beberapa waktu lalu.

“Agar tak mudah tercium aparat keamanan, saya lari dari satu tempat ke tempat lain bersembunyi, di situ juga saya ganti nama baru, sampai-sampai punya KTP banyak sekali,” kata dia yang enggak perlu saya sebutkan namanya.

Sampai akhirnya tercium juga pelariannya, masuk penjara. Beberapa tahun kemudian dia bebas. Ternyata, persoalan eks napiter ini tak selesai. Kadang mereka (jangankan eks napiter, eks narapidana umum lain) juga kerap susah diterima kembali oleh masyarakat, sampai untuk diterima kerja.

Nah, eks napiter ini, yang dulunya punya banyak nama itu ternyata mendapat persoalan tambahan. Sekarang dia lagi bingung, kerepotan ketika hendak menikahkan anaknya. Kantor Urusan Agama (KUA) setempat dibuat ikut bingung.

Pasalnya, nama yang tertera di KTPnya berbeda dengan yang tertera di buku nikah. Bedanya jauuuuh. Alhasil, dia harus menjelaskan panjang lebar kepada para petugas itu, soal punya banyak nama itu. Sekarang dia lagi berusaha mengurus dokumen-dokumen itu, diperbaiki seperti sediakala, terutama soal namanya.

Ahh...jadi repot kan. Mungkin betul juga Shakespeare bilang “apalah arti sebuah nama”...

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar